Rabu, 19 Desember 2007

Fiqhulislam-masailfiqhiyyah1

Rabu, 29 April 2003 - 01:48:57, Penulis : Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq Zulfa Husein

SURAT TERBUKA : DARI UMMU ‘ABDILLAH AL-WADI’IYYAH

Sepucuk surat terlayang dari negeri Yaman, dari seorang ‘alimah muhadditsah yang dikenal dengan nama Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyyah. Putri seorang muhaddits zaman ini, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, sebagai lecutan semangat bagi para muslimah di Indonesia untuk menuntut ilmu syar’i.

Dari Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyah,
untuk saudaraku di jalan Allah Ummu Ishaq Al Atsariyah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Setelah memuji Allah Subhanahu wata’ala, aku kabarkan padamu, wahai Ummu Ishaq, bahwa telah sampai padaku dua pucuk surat darimu, semoga Allah menjagamu dan aku doakan semoga Allah mencintaimu, yang Dia telah menjadikanmu cinta kepadaku karena-Nya.

Adapun mengenai permintaanmu agar aku menulis risalah kepada akhwat salafiyat di Indonesia, aku jawab bahwa aku telah menulis kitab Nashihati lin-Nisaa (Nasihatku untuk Wanita) yang sekarang sedang dicetak. Bila kitab itu telah terbit, Insya Allah akan kami kirimkan kepadamu, semoga Allah memudahkannya.

Adapun nasihatku dalam thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu agama) bagi wanita, maka aku katakan: Hendaklah wanita memulai dari perkara yang Allah wajibkan atasnya, seperti mulai dengan belajar ilmu tauhid yang merupakan pokok agama ini, karena Allah tidak akan menerima amalan apa pun dari seorang hamba jika ia tidak mentauhidkan-Nya dalam ibadah tersebut. Sebagaimana Allah berfirman dalam hadits qudsi :
“Aku paling tidak butuh kepada sekutu-sekutu dari perbuatan syirik. Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang dalam amalan tersebut dia menyekutukan Aku dengan yang lain maka aku tinggalkan dia dan sekutunya.”

Juga mempelajari thaharah, cara bersuci dari haid, nifas dan setiap yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur/kemaluan depan dan belakang), dan mempelajari tata cara shalat, syarat-syarat dan kewajiban-kewajibannya.

Demikian pula mempelajari tata cara haji jika ia ingin menunaikan ibadah ini, dan seterusnya…
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”

Setelah itu, jika wanita tersebut termasuk orang-orang yang berkesinambungan dalam menuntut ilmu, maka hendaklah ia menghafal al-Qur’an bila memang itu mudah baginya dan juga menghafal hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, tentunya disertai pemahaman dengan memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian merujuk kitab tafsir kalau ada masalah yang berkaitan dengan Al Qur’an, seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Jarir. Jika masalahnya berkaitan dengan Sunnah, maka merujuklah kepada kitab-kitab syarah dan fiqih seperti Fathul Bari, Syarhun Nawawi li Shahih Muslim, Nailul Authar, Subulus Salam, al-Muhalla oleh Ibnu Hazm.

Dan perkara yang sangat penting dan tak bisa diabaikan dalam hal ini adalah doa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena doa termasuk sebab yang menolong untuk memahami ilmu. Oleh karena itu, hendaknya seorang insan memohon kepada Allah agar menganugerahkan pemahaman kepadanya.

Jika ada para pengajar wanita (guru/ustadzah) yang mengetahui al-Qur’an dan as-Sunnah, maka berguru kepada mereka merupakan perkara yang baik, karena seorang guru akan mengarahkan penuntut ilmu (murid) dan menjelaskan kepadanya kesalahan-kesalahan yang ada. Terkadang seorang penuntut ilmu menyangka sesuatu itu haq (benar), namun dengan perantaraan seorang guru ia bisa mendapatkan penjelasan bahwa hal itu ternyata salah, sedangkan al-haq (kebenaran) itu menyelisihi apa yang ada dalam prasangkanya.

Tidak menjadi masalah bagi seorang wanita untuk belajar pada seorang syaikh, akan tetapi dengan syarat selama aman dari fitnah dan harus di belakang hijab (ada tabir pemisah), karena selamatnya hati tidak bisa ditandingi dengan sesuatu.

Jangan engkau menganggap sulit urusan menuntut ilmu karena Alhamdulillah menuntut ilmu itu mudah bagi siapa yang Allah Subhanahu wa ta’ala mudahkan, sebagaimana firman-Nya:
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an itu untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (Al-Qamar: 17)

Dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:

Aku diutus dengan membawa agama yang hanif (lurus) dan mudah.

Akan tetapi, ingatlah bahwa ilmu itu memerlukan ketekunan dan kesungguh-sungguhan sebagaimana dikatakan : Berilah kepada ilmu semua yang ada padamu, maka ilmu itu akan memberimu sebagiannya
.
Juga sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair :
Wahai saudaraku, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara.
Aku akan beritahukan kepadamu perinciannya.
Kepandaian, ketamakan (dalam mencari ilmu), kesungguhan dan memiliki bekal.
Berteman dengan guru dan masa yang panjang.”


Maksud ucapan sya’ir “bulghah” adalah sesuatu yang bisa dimakan, karena termasuk perkara yang dapat menegakkan badan adalah makanan.

Berhati-hatilah wahai saudariku –semoga Allah menjagamu– dari bersikap taklid (mengikuti tanpa ilmu) dalam masalah-masalah agama, karena sikap taklid itu adalah kebutaan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan akal kepada manusia dan memberi nikmat dengan akal tersebut sehingga manusia unggul dengannya.

Adapun pertanyaanmu “Bagaimana caranya agar seorang wanita bisa menjadi pembahas/peneliti yang kuat (dalam ilmu din)?” Maka jawabnya –semoga Allah menjagamu- : Masalah-masalah ilmu itu beragam dan sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala telah mendatangkan untuk agamanya ini orang-orang yang berkhidmat padanya. Maka mereka memberikan setiap macam ilmu itu haknya, sebagai permisalan:

Jika suatu masalah itu berkaitan dengan hadits, maka hendaknya engkau merujuk kepada kitab-kitab takhrij seperti kitab Nashbur Rayah oleh az-Zaila’i, at-Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani dan kitab-kitabnya Syaikh al-Albani hafidhahullah yang padanya ada takhrij seperti Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah dan Silsilah al-Ahadits ad-Dha’ifah.

Jika masalahnya berkaitan dengan fiqih, maka hendaklah engkau merujuk kepada kitab-kitab yang memang ditulis untuk membahas fiqih, seperti kitab-kitab yang telah aku sebutkan sebelum ini, demikian seterusnya….

Saudariku, semoga Allah menjaga dan memeliharamu…
Sanjunglah Allah ‘Azza wa Jalla karena Dia telah menjadikanmu mengenal bahasa Arab. Aku katakan kepadamu bahwa bahasa Arab saat ini telah banyak mengalami penyimpangan (pembelokan dari bahasa Arab yang fasih) dan telah masuk pada bahasa ini kebengkokan yang memalingkan dari kefasihan. Akan tetapi, masih ada kitab-kitab bahasa Arab yang bisa engkau pelajari dan engkau baca serta engkau pergunakan agar lisan menjadi lurus (fasih dalam berbahasa Arab). Kitab-kitab yang dimaksud adalah kitab-kitab nahwu. Bagi pelajar pemula hendaknya mulai dengan mempelajari kitab Tuhfatus Saniyah, setelah itu kitab Mutammimah al-Ajurumiyah, lalu kitab Qatrun Nada dan Syarhu ibnu ‘Aqil. Dan sepertinya kitab-kitab ini sudah mencukupi bagi penuntut ilmu yang ingin mempelajari ilmu nahwu.

Demikianlah wahai saudariku, jangan lupa untuk menyertakan aku dalam doa kebaikanmu karena doa seseorang untuk saudaranya yang muslim yang jauh dari dirinya itu mustajab (diterima Allah Subhanahu wa ta’ala).

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Ditulis oleh saudarimu fillah
Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyah
Sabtu, 20 Ramadlan 1418 H
(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq Zulfa Husein dari surat aslinya)

========================================================================

APAKAH MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDLU ? (1)

Selasa, 27 April 2003 - 20:18:09, Penulis : Ustadz Abu Ishaq Muslim

Ustadz yang saya hormati, saya ingin menanyakan satu permasalahan. Di daerah saya banyak orang yang mengaku mengikuti madzhab Syafi'iyah, dan saya lihat mereka ini sangat fanatik memegangi madzhab tersebut. Sampai-sampai dalam permasalahan batalnya wudhu' seseorang yang menyentuh wanita. Mereka sangat berkeras dalam hal ini. Sementara saya mendengar dari ta'lim-ta'lim yang saya ikuti bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu'. Saya jadi bingung, Ustadz. Oleh karena itu, saya mohon penjelasan yang gamblang dan rinci mengenai hal ini, dan saya ingin mengetahui fatwa dari kalangan ahlul ilmi tentang permasalahan ini. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(Abdullah di Salatiga)

Jawab:
Masalah batal atau tidaknya wudhu' seorang laki-laki yang menyentuh wanita memang diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada diantara mereka yang berpendapat membatalkan wudhu' seperti Imam Az-Zuhri, Asy-Sya'bi, dan yang lainnya. Akan tetapi pendapat sebagian besar ahlul ilmi, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini, tidak batal wudhu' seseorang yang menyentuh wanita. Wallahu ta'ala a'lam bish-shawab.

Syaikh Muqbil rahimahullahu ta'ala pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan walhamdulillah beliau memberikan jawaban yang gamblang. Sebagaimana yang Saudara harapkan untuk mengetahui fatwa ahlul ilmi tentang permasalahan ini, kami paparkan jawaban Syaikh sebagai jawaban pertanyaan Saudara. Namun, di sana ada tambahan penjelasan dari beliau yang Insya Allah akan memberikan tambahan faidah bagi Saudara. Kami nukilkan ucapan beliau dalam Ijabatus Sa-il hal. 32-33 yang nashnya sebagai berikut :

Beliau ditanya: "Apakah menyentuh wanita membatalkan wudlu', baik itu menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahram), istrinya ataupun selainnya?" Maka beliau menjawab: "Menyentuh wanita ajnabiyah adalah perkara yang haram, dan telah diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam Mu'jamnya dari Ma'qal bin Yasar radliyallahu 'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan.

Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tanpa keperluan tidak diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi dokter atau wanita itu sendiri adalah dokter, yang tidak didapati dokter lain selain dia, dan untuk suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang sangat dari fitnah.

APAKAH MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDHU (2)
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apakah menyentuh
wanita membatalkan wudhu?".

Jawaban.
Yang benar adalah bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu
kecuali jika keluar sesuatu dari kemaluannya, hal ini berdasarkan
riwayat shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya :

"Rasullah mencium salah seorang istrinya lalu beliau melaksanakan
shalat tanpa mengulang wudhu beliau".

Karena pada dasarnya tidak ada sesuatu apapun yang membatalkan wudhu
hingga terdapat dalil yang jelas dan shahih yang menyatakan bahwa hal
itu membatalkan wudhu, dan karena si pria dianggap telah menyempurnakan
wudhunya sesuai dengan dalil syar'i. Sesuatu yang telah ditetapkan
dalil syar'i tidak bisa dibantah kecuali dengan dalil syar'i pula.

Jika ditanyakan bagaimana dengan firman Allah yang berbunyi :

"aw-laamastumu an-nisaa'a" artinya : "atau menyentuh perempuan" [An-
Nisaa : 45, Al-Ma'idah : 6]

Maka jawabnya adalah : Yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat ini
adalah bersetubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih dari
Ibnu Abbas.

[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Utsaimin 4/201]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-1, hal 18-19 Darul Haq]

ADAB SIWAK [GOSOK GIGI] [1]
Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman

Pertanyaan.
Apa hukum bersiwak ? Apakah waktunya terbatas ?

Jawaban.
Bersiwak itu sunnah dilakukan pada setiap waktu berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : bersiwak itu sebagai pembersih mulut dan diridhai oleh Allah” [Hadits Riwayat Ahmad VI/47,62,124. An-Nasa’i no.5 dan Bukhari menyebutkannya secara ta’liq dalam bab As-Siwak Ar-Ruthbu wa Al-Yabisu Li Ash-Shaim II/682]

Dan hadits dari Amir bin Rubai’ah, dia berkata,

“Artinya : Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (berulang kali) –hingga aku tidak bisa menghitungnya- bersiwak padahal beliau sedang berpuasa” [Hadits Riwayat Ahmad III/445, Abu Dawud no. 2364 dan At-Tirmidzi no. 725 dan Bukhari menyebutkannya secara mu’allaq dalam Bab As-Siwak Ar-Rathbu Wa Al-Yabisu Li Ash-Shaim]

Pertanyaan.
Waktu-waktu kapan sajakah diutamakan bersiwak ? Sebutkan dengan jelas dan sertakan dalil-dalilnya!

Jawaban.
Waktu yang diutamakan untuk bersiwak adalah ketika bangun tidur, ketika berwudhu, ketika hendak masuk rumah, ketika hendak shalat, ketika hendak masuk masjid, ketika bau mulut berubah (tidak sedap) dan ketika hendak membaca Al-Qur’an.

Adapun dalil keutamaan bersiwak ketika bangun tidur adalah berdasarkan hadits Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun malam membersihkan mulutnya denga siwak” [Hadits Riwayat Bukhari no.42, 1085, Muslim no. 255. Abu Dawud no.55. An-Nasa’i no. 2, 1622 dan Ibnu Majah no. 286]

Dan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata.

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidur pada malam hari atau siang hari kemudian beliau bangun melainkan beliau pasti gosok gigi terlebih dahulu sebelum berwudhu” [Hadits Riwayat Abu Daud no. 57 dan Lihat Shahih Abu Dawud I/14 no. 51]

Adapun dalil ketika bau mulut berubah tidak sedap adalah karena memang disyariatkannya bersiwak itu untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Adapun dalil ketika hendak wudhu adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Kalaulah tidak akan memberatkan umtaku, tentulah kuperintahkan kepada mereka supaya gosok gigi pada tiap-tiap berwudhu” [Hadits Riwayat Malik, Ahmad, dan Nasa’i dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, sedang Imam Bukhari menyebutkan secara ta’liq] [2]

Adapun dalil ketika hendak shalat adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Kalaulah tidak akan memberatkan umatku, tentulah telah diperitahkan kepada mereka supaya bersiwak pada tiap-tiap akan shalat” [Hadits Riwayat Jama’ah] [3]

Adapun dalil ketika hendak masuk masjid dan rumah adalah berdasarkan hadits Al-Miqdad bin Syuraih yang diriwayatkan dari Syuraih, dia berkata, “ Aku bertanya kepada Aisyah, “Apa yang pertama kali dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika telah masuk rumah ?” Aisyah menjawab, ‘Bersiwak’ [Hadits Riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi] [4]. Dan Masjid lebih utama dari pada rumah.


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 04/I/Dzulqa’adah 1423H -2003M]
_________
Foote Note
[1] Asalnya gosok gigi dengan menggunakan kayu siwak (yaitu al-arok). Namun jika tidak ada, maka bisa dengan apa saja yang dapat membersihkan gigi dan mulut seperti sikat dan pasta gigi, sapu tangan dan semisalnya.
[2] Malik I/66. Ahmad II/460 dan lainnya. An-Nasa’i (As-Sunan Al-Kubro) no. 3037, 3043 dan Bukhari secara ta’liq dalam Bab As-Siwak Ar-Rathbu wa Al-Yabisu Li Ash-Shaim.
[3] Bukhari no.847. Muslim no. 252. Abu Daud no. 46. At-Tirmidzi no.23. An-Nasa’i no.7. Ibnu Majah no. 287.
[4] Muslim no. 253. Abu Daud no.51. An-Nasa’i no.8. Ibnu Majah no.290

FIQIH WUDHU BAB WUDHU (1)
Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman

Pertanyaan.
Apakah wudhu itu ? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu ? Dan apa (serta berapa macam) yang mewajibkan wudhu ?

Jawaban
Yang dimaksud wudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara yang khusus di empat anggota badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Adapun sebab yang mewajibkan wudhu adalah hadats, yaitu apa saja yang mewajibkan wudhu atau mandi [terbagi menjadi dua macam, (hadats besar) yaitu segala yang mewajibkan mandi dan (hadats kecil) yaitu semua yang mewajibkan wudhu]. Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” [Al-Maidah : 6]

Pertanyaan.
Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban tersebut kalau lupa atau tidak tahu ?

Jawaban
Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas wudhunya” [1]

Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapkan basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah hadits.

“Artinya : Dimaafkan untuk umatku, kesalahan dan kelupaan”.

Tempatnya adalah di lisan dengan mengucapkan bisamillah.

Pertanyaan.
Apa sajakah syarat-syarat wudhu itu ?

Jawaban
Syarat-syarat (sahnya) wudhu adalah sebagai berikut.

1. Islam, 2. Berakal, 3. Tamyiz, 4. Niat, 5.Istishhab hukum niat, 6. Tidak adanya yang mewajibkan wudhu, 7. Istinja dan Istijmar sebelumnya (bila setelah buang hajat), 8. Air yang thahur (suci lagi mensucikan), 9. Air yang mubah (bukan hasil curian misalnya), 10. Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap dalam pori-pori.

Pertanyaan.
Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu ? Dan apa saja ?

Jawaban
Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu : 1. Membasuh muka (termasuk berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan), 2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku, 3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mngusap kedua daun telinga), 4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki, 5. Tertib (berurutan). 6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 07/I/1424H -2003M]

Kategori : Fiqih Ibadah
FIQIH WUDHU BAB WUDHU (2)
Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman

Pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan muwalah dan apa dalilnya ?

Jawaban
Maksudnya adalah jangan mengakhirkan memabasuh anggota wudhu sampai mengering anggota sebelumnya setelah beberapa saat.

Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud [1] dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Bahwa beliau melihat seorang laki-laki di kakinya ada bagian sebesar mata uang logam yang tidak terkena air wudhu, maka beliau memerintahkan untuk mengulangi wudhunya”.

Imam Ahmad [2] meriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki berwudhu, tetapi meninggalkan satu bagian sebesar kuku di kakinya (tidak membasahinya dengan air wudhu). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meliahtnya maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.

“Artinya : Berwudhulah kembali, kemudian shalatlah”

Sedangkan dalam riwayat Muslim [3] tidak menyebutkan lafal, “Berwudhulah kembali”.

Pertanyaan.
Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna ? Dan apa yang dibasuh oleh orang yang buntung ketika berwudhu ?

Jawaban
Hendaknya berniat kemudian membaca basmalah dan membasuh tangannya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (lalu mengeluarkannya) sebanyak tiga kali dengan tiga kali cidukan. Kemudian membasuh mukanya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak tiga kali, kemudian mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga luar dengan kedua jempolnya, kemudian membasuh kedua kakinya beserta mata kakinya tiga kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-bagian yang wajib (dari anggota tubuhnya) yang tersisa. Jika yang bunting adalah persendiannya maka memulainya dari bagian lengan yang terputus. Demikian pula jika yang bunting adalah dari persendian tumit kaki, maka membasuh ujung betisnya.

Pertanyaan.
Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna ? Sebutkan dalil-dalil tersebut secara lengkap ?

Jawaban
Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan dalilnya diatas

Dan dalam riwayat Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu tentang tata cara wudhu (terdapat lafal).

“Artinya : Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangannya kemudian berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung dengan satu tangan sebanyak tiga kali” [Hadts Riwayat Bukhari 189, 196. Muslim 235]

Dan dari Humran bahwa Utsman Radhiyallahu ‘anhu pernah meminta dibawakan air wudhu, maka ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, … kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali, kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula, kemudian berkata, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini. [Hadits Riwayat Bukhari 1832. Muslim 226]

Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim Radhiyallahu ‘anhu dalam tata cara wudhu, ia berkata.

“Artinya : Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya menyapukaannya ke belakang dan ke depan” [Hadits Riwayat Bukhari 189. Muslim 235]

Dan lafadz yang lain

“Artinya : (Beliau) memulai dari bagian depan kepalanya sampai ke tengkuk, kemudian menariknya lagi ke bagian depan tempat semula memuali” [Hadits Riwayat Bukhari 183. Muslim 235]

Dan dalam riwayat Ibnu Amr Radhiyallahu tentang tata cara berwudhu, katanya.

“Artinya : Kemudian (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengusap kepalanya dan memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya dan mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun telinganya” [Hadits Riwayat Abu Dawud, Nasai dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah]


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 07/I/1424H -2003M]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Ahmad III/424, Abu Dawud no. 175
[2]. Musnad I/121,123
[3]. Hadits No. 243

FIQIH WUDHU BAB WUDHU (3)
Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman

Pertanyaan.
Sampai dimana batasan wajah (muka) itu ? Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu yang tumbuh di (daerah) muka ketika berwudhu ?


Jawaban.
Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Wajib membasuh semua bagian muka bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya) beserta kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak lebat). Karena anda lihat sendiri, kalau rambut jenggotnya lebat maka wajib membasuh bagian luarnya dan disunnahkan menyela-nyelanya. Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan bagian bawah jenggot yang jarang bisa terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.

Pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan tertib (urut) ? Apa dalil yang mewajibkannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ?

Jawaban
Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang mulia. Yaitu membasuh wajah, kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki.

Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas (Al-Maidah : 6]. Di dalam ayat tersebut telah dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak melakukan hal ini melainkan untuk suatu faedah tertentu yang tidak lain adalah tertib (urut).

Kedua, Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya” [2]

Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Abasah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku tentang wudhu ?” Rasulullah berkata.

“Artinya : Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, kemudian berkumur-kumur, memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga hidungnya bersama air wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai ke siku, melainkan gugurlah dosa-dosa tangannya bersama air wudhu melallui jari-jari tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap kepalanya, melainkan gugur dosa-dosa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya, kemudian (tidaklah) ia memabasuh kedua kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya” [Hadits Riwayat Muslim No. 832]

Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu. Wallahu ‘Alam.

APAKAH BOLEH MEMBACA AL QUR’AN SECARA GHAIB/ HAFALAN DALAM KEADAAN JUNUB?
Senin, 29 Maret 04

Tanya :
Apakah boleh seseorang membaca AlQuran secara ghaib/hafalan dalam keadaan Junub atau bertayammum?

Jawab :

Jumhur Ulama berpendapat bahwasanya tidak boleh seorang Muslim membaca AlQuran dalam keadaan Junub meskipun secara hafalan dan tanpa menyentuh Mushaf; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan dari Ali radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"bahwasanya tidak ada sesuatupun yang menghalanginya membaca AlQuran selain Jinabah".*** Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata : "Isnadnya Hasan". Jika dia tidak mendapatkan air atau tidak dapat memakainya karena sakit maka dia boleh bertayammum. Wabillâhit taufîq. Washallallâhu 'ala nabiyyina Muhammad wa âlihi wa shahbihi wasallam. (Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhuts al-'Ilmiyyah wal Ifta', IV/107-108, NO. 3204) *** Lihat : Musnad Ahmad, I/84, 124 ; Sunan Abi Daud , no. hadits ; 229 ; Jami'ut Turmuzi, no. hadits ; 146 , dia (Imam at-Turmuzi) berkata : "Ini adalah hadits Hasan Shahih" ; al-Mujtaba karya Imam an-Nasai, I/144 serta Sunan Ibni Majah, no. hadits; 596. (Sabtu, 9/6/2001=17/3/1422)

HUKUM ORANG JUNUB MEMBACA ALQU’AN
Senin, 29 Maret 04

Tanya :

Semalam terjadi diskusi antara kami seputar boleh tidaknya seseorang membaca AlQuran secara ghaib/hafalan atau membacanya melalui sebuah buku yang berisi sebagian ayat-ayat AlQuran dalam keadaan dia tidak suci, padahal Allah berfirman :"tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" (Q.,s. 56/al-Waqi'ah:79), Bagaimana hukum sebenarnya mengenai hal ini ?

Jawab :

Sesungguhnya siapa saja dari kaum Muslimin yang hendak menyentuh Mushaf, maka hendaklah dia bersuci dari hadats kecil dan besar. Hadats kecil adalah sesuatu yang mewajibkan wudhu' sedangkan hadats besar adalah sesuatu yang mewajibkan mandi. Hal ini berdasarkan keumuman/makna umum dari firman Allah Ta'ala : "tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" (Q.,s. 56/al-Waqi'ah:79). Begitu juga sebagaimana yang terdapat dalam surat yang dibawa oleh 'Amru bin Hazm (yang berbunyi) : "Tidak menyentuh AlQuran kecuali orang yang suci ".** Sedangkan membacanya secara ghaib/hafalan boleh hukumnya bagi orang yang tidak dalam keadaan berhadats besar. Adapun orang yang sedang Junub, misalnya, tidak boleh membaca AlQuran baik secara ghaib/hafalan ataupun dengan melihat. Wabillâhit taufîq. Washallallâhu 'ala nabiyyina Muhammad wa âlihi wa shahbihi wasallam. (Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhuts al-'Ilmiyyah wal Ifta', IV/106-107, NO. 2217) ** Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata (berkaitan dengan penafsiran terhadap ayat : "tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" (Q.,s. 56/al-Waqi'ah:79): " Ulama-Ulama (para Mufassirin) yang lain berkata : "tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" : maksudnya (….hamba-hamba yang disucikan-penj) dari jinabah dan hadats. Mereka berkomentar : " lafaz ayat tersebut kedudukannya adalah sebagai khabar/berita yang maknanya; suatu tuntutan (melakukan/meninggalkan perbuatan-penj)". Mereka berkomentar lagi : "maksud dari kata AlQuran (dalam hadits 'Amru diatas-penj) disini adalah Mushaf, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar : bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk membawa pergi AlQuran ke negeri musuh karena ditakutkan mereka akan melecehkannya". Dalam hal ini, mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab "Muwaththa'nya" dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amru bin Hazm: bahwa dalam kitab/surat yang kirim oleh Rasulullah kepada 'Amru bin Hazm: "tidak menyentuh AlQuran kecuali orang yang suci". Imam Abu Daud dalam kitabnya "al-Marâsîl" meriwayatkan dari hadits az-Zuhri, dia berkata : aku telah membaca dalam shahifah/lembaran Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amru bin Hazm bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"dan tidaklah menyentuh AlQuran kecuali orang yang suci". Ini adalah bentuk wijadah (suatu bentuk metode periwayatan hadits-penj) yang baik yang telah dibacakan oleh az-Zuhri dan selainnya. Periwayatan seperti ini perlu untuk dijadikan pegangan. Dalam pada itu, ad-Dâru Quthni telah mengisnadkannya dari 'Amru bin Hazm dan Abdullah bin Umar serta Utsman bin Abil 'Ash, namun dalam pengisnadan masing-masing dari mereka berdua (ad-Dâru Quthni dan Abu Daud) terdapat catatan yang perlu dikaji lagi". (demikian ucapan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya : IV/299, penerbit dan distributor ; percetakan "Darul Fikri".

HUKUM WANITA HAIDL MEMBACA ALQUR’AN
Senin, 29 Maret 04

Tanya :

Mohon kami diberi fatwa mengenai hukum wanita yang sedang haidh menyentuh Mushaf dan membacanya begitu juga hukum dia masuk masjid, apakah dia boleh duduk didalamnya atau tidak ?

Jawab :

Pertama : Wanita yang sedang haidh tidak boleh menyentuh Mushaf menurut Jumhur Ulama, berdasarkan firman Allah Ta'ala : :"tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" (Q.,s. 56/al-Waqi'ah:79) dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suratnya kepada kepada 'Amru bin Hazm : "tidak menyentuh AlQuran kecuali orang yang suci". Sedangkan bila wanita yang sedang haidh atau nifas membacanya tanpa menyentuh Mushaf maka hal itu tidak apa-apa menurut pedapat yang paling shahih dari dua pendapat dari para Ulama ; sebab tidak terdapat hadits yang shahih yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang hal itu. Kedua : Wanita yang sedang haidh begitu juga orang yang sedang Junub tidak boleh duduk-duduk di masjid ataupun berdiam didalamnya menurut pendapat Jumhur Fuqaha', berdasarkan perkataan 'Aisyah radhiallahu 'anhu : Rasulullah ketika dating, beranda muka/pintu-pintu depan rumah-rumah para shahabat (posisinya) menghadap ke Masjid lalu beliau bersabda : " pindahkan kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk sementara para shahabat beliau belum juga melakukan apa-apa (sesuai perintah beliau), hal itu mereka lakukan dengan harapan mendapatkan rukhshah/dispensasi, lantas beliau menemui mereka sembari bersabda :"pindahkan beranda muka/pintu-pintu rumah-rumah ini ke arah selain masjid sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang sedang haidh, juga orang yang sedang Junub". (H.R. Abu Daud). Perintah dalam hadits tersebut bersifat umum terhadap pengharaman bagi wanita yang sedang haidh dan orang yang sedang Junub duduk-duduk di masjid ataupun sekedar melewati/melintasinya, tetapi kemudian dikhususkan lagi dengan firman Allah Ta'ala : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehinggga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi…".(Q.,s. 4/an-Nisa' : 43), Sesungguhnya makna ayat tersebut adalah : wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati tempat-tempat shalat (masjid-masjid) dalam keadaan mabuk hingga kalian sadar dari mabuk tersebut, dan janganlah kalian mendekatinya dalam keadaan Junub hingga kalian mandi Jinabah kecuali bila kalian memasukinya hanya sekedar melintasi dan melewati/berlalu saja maka hal itu tidak apa-apa. Jadi, wanita yang sedang haidh sama hukumnya dengan orang yang sedang junub tersebut. Terdapat hadits lain yang menunjukkan pengecualian yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dalam Sunannya dari Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhuma, bahwasanya (dia berkata): "dulu salah seorang dari kami yang sedang Junub ada yang melintasi/melewati masjid". Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnul Munzir dari Zaid bin Aslam, dia berkata : " Dulu para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berjalan/ berlalu di masjid padahal mereka dalam keadaan Junub". . Wabillâhit taufîq. Washallallâhu 'ala nabiyyina Muhammad wa âlihi wa shahbihi wasallam. (Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhuts al-'Ilmiyyah wal Ifta', IV/109, NO. 3713).

HUKUM NON MUSLIM MEMBACA ALQUR’AN
Senin, 29 Maret 04

Tanya :

Apakah boleh kami membiarkan salah seorang yang beragama Kristen membaca terjemahan AlQuran padahal dia tidak suci (tetapi) hal itu dilakukan dengan maksud/keinginan agar dia diberi Hidayah oleh Allah?

Jawab :

Berdakwah kepada Allah merupakan jalan para Rasul. Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang Musyrik"(Q.,s. 12/Yusuf :108) . Jadi, menyerahkan (sebagai hadiah-penj) sebuah AlQuran al-Karim dan terjemahan maknanya kepada orang tersebut tidak apa-apa karena termasuk salah satu bentuk berdakwah kepada Allah. Wabillâhit taufîq. Washallallâhu 'ala nabiyyina Muhammad wa âlihi wa shahbihi wasallam. (Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhuts al-'Ilmiyyah wal Ifta', IV/61-62, NO. 2358).

MUSHAF AL QUR’AN YANG SUDAH RUSAK
Sabtu, 27 Maret 04

Tanya :

Bolehkah membakar mushhaf al-Qur'an yang sudah sobek-sobek atau yang ada kesalahannya kemudian memendamnya ?

Jawab :

Apabila lembaran-lembaran tulisan al-Qur'an sudah rusak dan sobek karena sering dibaca, atau sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi atau ada tulisan yang salah dan tidak dapat diperbaiki, maka boleh dipendam tanpa dibakar dan boleh juga dibakar terlebih dahulu kemudian dipendam ditempat yang jauh dari kotoran dan pijakan kaki manusia untuk menjaga lembaran tulisan al-Qur'an tersebut dari buang begitu saja dan agar tidak terjadi perubahan atau perselisihan dengan tersebarnya mushhaf yang ada kesalahan dalam penulisannya atau pencetakkannya, berdasarkan apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam bab Pengumpulkan al-Qur'an bahwa Utsman bin Uffan radhiyallahu 'anhu memerintahkan empat orang dari para shahabat yang terbaik hapalan dan bacaan al-Qur'an-nya memindahkan kumpulan-kumpulan al-Qur'an yang dikumpulkan berdasarkan perintah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu dan ketika mereka telah selesai memindahkannya, Utsman mengirimkan mushhaf tersebut keseluruh kota-kota Islam dan memerintahkan untuk membakar mushhaf-mushhaf selain mushhaf yang dikirim olehnya dan tidak ada dari para shahabat yang mengingkari pembakaran tersebut kecuali apa yang diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu tidak menyetujui mewajibkan kaum muslimin untuk hanya menggunakan mushhaf yang dikirim oleh Utsman radhiyallahu 'anhu dan dia tidak mengingkari pembakaran mushhaf. Fatwa Lajnah Daimah, Jilid IV hal. 100.

Apa Betul Syaikh Ibnu Utsaimin Berpendapat Bahwa Cairan Tidak Membatalkan Wudhu ?
Jumat, 02 April 04

Tanya :

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Seseorang berkata bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa cairan itu tidak membatalkan wudhu, benarkah ini?

Jawab :

Yang mengatakan bahwa saya berpendapat seperti ini adalah tidak benar, tampaknya ia memahami pendapat saya bahwa cairan itu suci tidak membatalkan wudhu.
( Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/287. )

Saya Mengeluarkan Cairan Putih dan Terkadang Cairan Itu Keluar Ketika Saya Sedang Shalat
Jumat, 02 April 04

Tanya :

Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ ditanya: Pada saat-saat tertentu keluar cairan putih dari saya dan terkadang cairan tersebut keluar saat saya melakukan shalat. Apakah saya harus menghentikan shalat lalu berwudhu atau menyempurnakan shalat tersebut? Apakah cairan tersebut najis dan wajib bagi saya untuk mandi karenanya, atau cukup membersihkan diri saya, sebab terkadang itu keluar hingga mengenai pakaian saya, apakah saya harus menggantinya atau tidak? Apakah cairan itu berbahaya bagi diri saya, sebab cairan itu kadang keluar ketika saya sedang menuju masjid, padahal saya sudah mandi Jum’at, ketika itu saya menuju masjid untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba cairan itu keluar. Apa yang harus saya lakukan, apakah saya meneruskan masuk ke masjid dan shalat, atau saya sekadar masuk dan mendengarkan khutbah tapi tidak shalat. Apa fatwa Anda kepada saya sehubungan dengan cairan putih tersebut?

Jawab :

Cairan putih ini adalah najis yang sama hukumnya dengan hukum air kencing, maka hendaknya Anda berwudhu karenanya setelah Anda membersihkan najis tersebut dan tidak diwajibkan bagi Anda untuk mandi jika keluarnya cairan putih ini tidak disertai dengan syahwat, walau-pun demikian Anda tetap diharuskan membersihkan badan dan pakaian yang terkena itu. Dan dibolehkan bagi Anda untuk masuk ke dalam Masjid serta mendengarkan khutbah akan tetapi Anda tidak boleh melaksanakan shalat bersama orang-orang sebelum beristinja’ dan berwudhu serta membersihkan badan dan pakaian yang terkena oleh itu.
( Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/258. )

Hukum Membaca Kitab Tafsir Bagi Wanita Haidh
Jumat, 08 Oktober 04

Pertanyaan :

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Saya pernah membaca buku-buku tafsir Al-Qur’an seperti Tafsir Sofwatut Tafaasir dalam keadaan tidak suci karena sedang haidh. Bolehkah hal itu? Berdosakan saya karena perbuatan itu?

Jawaban :
Tidak apa-apa bagi wanita haidh dan nifas untuk membaca kitab-kitab tafsir juga membaca mushaf asal tidak menyentuhnya menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama. Sedangkan orang yang junub tidak diperbolehkan secara mutlak untuk membacanya hingga ia bersuci dengan mandi. Ia diperbolehkan untuk membacakitab-kitab tafsir, hadits atau lainnya tapi tidak boleh membaca isinya yang berupa ayat Al-Qur’an, berdasarkan hadits Nabi saw bahwa beliau tidak terhalang dari membaca Al-Qur’an kecuali oleh janabat. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad bagus beliau bersabda:

(( فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلاَ وَلاَ آيَةً ))

“Adapun orang yang dalam keadaan junub tidak diperbolehkan membaca meskipun hanya satu ayat.”( Kitab Fatawad Da’wah, Syaikh Ibn Baz, 1/43.)

Bolehkah Melakukan Shalat Tahajud Dengan Wudhu Shalat Isya Bagi Wanita yang Terus Mengeluarkan Cairan?
Jumat, 02 April 04

Tanya :

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Apakah boleh bagi wanita yang terus mengeluarkan cairan untuk melaksanakan shalat Tahajud setelah melewati tengah malam dengan wudhu shalat Isya?

Jawab :

Masalah ini menjadi ajang perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian di antara mereka berpendapat: Bahwa jika shalat Tahajud itu dilakukan setelah pertengahan malam maka wajib bagi wanita itu untuk memperbaharui wudhu, ada juga yang berpendapat: Bahwa tidak wajib baginya berwudhu, walaupun shalat Tahajud itu dilakukan setelah perte-ngahan malam, dan ini adalah pendapat yang kuat.
( Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/287. )

Thaharah (bersuci) Bagi Orang Sakit
Sabtu, 05 Juni 04

§ Orang sakit wajib bersuci dengan air, wudhu untuk hadats kecil dan mandi untuk hadats besar.

§ Apabila dia tidak dapat bersuci dengan air karena sakit, atau khawatir sakitnya akan bertambah parah dan lama sembuhnya bila terkena air, maka dia dapat bertayammun.

§ Cara bertayammum adalah: menepuk tanah dengan kedua tapak tangannya lalu diusapkan ke seluruh wajah, kemudian tangan yang satu mengusap yang lain sampai pergelangan tangan.

§ Apabila orang yang sedang sakit tidak bisa melakukan sendiri bersuci, maka dapat diwudhukan atau ditayammumkan orang lain.

§ Apabila di beberapa bagian anggota bersuci terdapat luka, maka cukup dibasuh dengan air. Tetapi apabila basuhan itu membahayakan, maka cukup diusap dengan tangan yang basah. Apabila usapan itu juga membahayakan, maka bertayammum.

§ Apabila pada bagian anggota badan ada yang patah, yang dibalut dengan kain pembalut atau digips, maka bagian tersebut cukup diusap dengan air (tidak usah dibasuh), dan tidak perlu tayammum karena usapan itu pengganti dari basuhan.

§ Boleh bertayammum pada tembok atau apa saja yang suci yang berdebu. Apabila tembok itu dilapisi dengan sesuatu yang tidak sejenis tanah (misalnya, cat), maka tidak boleh dijadikan sebagai media tayammum, kecuali jika tembok itu berdebu.

§ Jika tidak mungkin bertayammum di atas tanah, tembok atau apapun yang berdebu, maka boleh meletakkan tanah di sebuah tempat atau di sapu tangan untuk tayammum.

§ Apabila tayammum untuk suatu shalat dan masih suci sampai waktu shalat yang lain, maka tidak perlu bertayammum lagi untuk shalat yang keduanya, karena dia masih suci dan tidak ada yang mem-batalkan tayammumnya.

§ Orang sakit diwajibkan membersihkan badan dari najis. Apabila tidak mampu, maka shalat apa adanya. Shalatnya tersebut sah dan tidak perlu mengulang.

§ Orang sakit diwajibkan shalat dengan pakaian yang suci. Apabila pakaiannya terkena najis, maka pakaian tersebut wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Namun apabila tidak mampu, maka shalat apa adanya. Shalatnya tersebut dinyatakan sah dan tidak perlu mengulang.

§ Orang sakit diwajibkan shalat di atas tempat yang suci. Apabila tempatnya terkena najis, maka alas tempatnya shalat itu wajib dicuci atau diganti dengan tempat lain atau dihampari dengan sesuatu yang suci. Namun apabila situasi tidak memungkinkan, maka shalatlah apa adanya. Shalatnya sah dan tidak harus mengulang.

§ Orang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya hanya karena tidak mampu bersuci. Ia harus bersuci sesuai dengan kemampuannya, kemudian shalat pada waktunya walaupun pada badannya, tempatnya atau pakaiannya terdapat najis yang tidak mampu dihilangkan.

CARA BERWUDLU
Selasa, 25 Mei 04

WUDHU

Wudhu adalah thaharah yang wajib dari hadats kecil, seperti buang air kecil, buang air besar, keluar angin (kentut), tidur nyenyak dan makan daging onta.

Tata Cara Berwudhu

§ Niat wudhu di dalam hati, tanpa diucapkan, karena Nabi tidak pernah melisankan niat dalam ber-wudhu, shalat dan ibadah apapun.
Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati tanpa pemberitaan kita.

§ Membaca “Bismillah”.

§ Membasuh kedua telapak tangan (3x).

§ Berkumur serta menghirup air ke dalam hidung (3x).

§ Membasuh seluruh muka (sampai batasan muka dengan telinga) dari tempat pertumbuhan rambut kepala sampai jenggot bagian bawah. (3x).

§ Membasuh kedua tangan, dari ujung jari sampai sikut, diawali dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri (3x).

§ Mengusap kepala, yaitu dengan membasahi tangan kemudian menjalankannya dari kepala bagian depan sampai bagian belakang, kemudian mengembalikan-nya (1x).

§ Mengusap kedua telinga dengan memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang telinga dan mengusap bagian luar (belakang) dengan ibu jari (1x)

§ Membasuh kedua kaki, yaitu dari ujung jari sampai mata kaki, diawali dengan kaki kanan, kemudian kaki kiri.(3 x)

§ Menghadap Kiblat dan membaca dzikir / do’a :

أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين

Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah,

Ya Allah jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang selalu bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu bersuci.

ADAB BERJALAN KE MASJID DAN BACAAN SEWAKTU MASUK DAN KELUARNYA
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Hadits Pertama

"Artinya : Dari Abu Qatadah, ia berkata : Tatkala kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara berisik orang-orang (yang datang). Maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai shalat, ia bertanya : "Ada apa dengan kamu tadi (berisik) ?". Mereka menjawab : "Kami terburu-buru untuk turut (jama'ah)", Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Janganlah kamu berbuat begitu !. Apabila kamu mendatangi shalat, hendaklah kamu berlaku tenang ! Apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah !" [Hadits Shahih Riwayat : Bukhari, Muslim dan Ahmad]

Hadits Kedua

"Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda : "Apabila kamu mendengar qamat, maka pergilah kamu ke tempat shalat itu, dan kamu haruslah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat, dan janganlah kamu tergesa-gesa, apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan sempurnakanlah". [Hadits Riwayat : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa'i dan Ahmad]

Kedua hadits ini mengandung beberapa hukum :

[1]. Kita diperintah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat apabila mendatangi tempat shalat (masjid).

[2]. Kita dilarang tergesa-gesa/terburu-buru apabila mendatangi tempat shalat, seperti berlari-lari, meskipun qamat telah dikumandangkan.

[3]. Kita dilarang berisik apabila sampai di tempat shalat, sedang shalat (jama'ah) telah didirikan. Ini dapat mengganggu orang-orang yang sedang shalat jama'ah.

[4]. Imam masjid perlu menegur (memberikan pelajaran/nasehat) kepada para jama'ah (ma'mum) yang kelakuannya tidak sopan di masjid, seperti berisik, mengganggu orang shalat, melewati orang yang sedang shalat, shaf tidak beres, berdzikir dengan suara keras, yang dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau belajar atau lain-lain.

[5]. Apa yang kita dapatkan dari shalatnya Imam, maka hendaklah langsung kita shalat sebagaimana keadaan shalat imam waktu itu.

[6]. Setelah imam selesai memberi salam ke kanan dan ke kiri, barulah kita sempurnakan apa-apa yang ketinggalan.

Diantara hikmahnya kita diperintahkan tenang dan sopan serta tidak boleh tergesa-gesa, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda.

"Artinya : Karena sesungguhnya salah seorang diantara kamu, apabila menuju shalat, maka berarti dia sudah dianggap dalam shalat". [Hadits Shahih Riwayat : Muslim].

Periksa : Shahih Muslim 2 : 99,100. Shahih Bukhari 1 : 156. Subulus Salam (Syarah Bulughul Maram) 2 : 33, 34. Nailul Authar (Terjemahan) 2 : 781. Koleksi Hadits Hukum, Ustadz Hasbi 4 : 27. Fiqih Sunnah.

Hadits Ketiga

".Artinya : ....Kemudian muadzin adzan (Shubuh), lalu Nabi keluar ke (tempat) shalat (masjid), dan beliau mengucapkan : "ALLAHUMMAJ 'AL FI QALBY NUURAN dan seterusnya (yang artinya) : "(Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan didalam ucapakanku cahaya, dan jadikanlah pada pendengaranku cahaya, dan jadikanlah pada penglihatanku cahaya, dan jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku cahaya, dan jadikanlah dari atasku cahaya, dan dari bawahku cahaya, ya Allah berikanlah kepadaku cahaya". [Hadits Riwayat : Muslim dan Abu Dawud]

Keterangan :
[1]. Hadits ini diriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas yang menerangkan tentang shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diwaktu malam (shalat lail).

[2]. Hadits ini menyatakan : Disukai kita mengucapkan do'a di atas di waktu pergi ke Masjid.

Periksa : Tuhfatudz Dzakirin halaman : 93, Imam Syaukani. Al-Adzkar halaman : 25, Imam Nawawi. Fat-hul Bari' 11 : 116, Ibnu Hajar. Aunul Ma'bud (Syarah Abu Dawud) 4 : 232. Syarah Shahih Muslim 5 : 51, Imam Nawawi.

Hadits Keempat

"Artinya : Dari Abi Humaid atau dari Abi Usaid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apabila salah seorang kamu masuk masjid, maka ucapkanlah : "ALLAHUMMAF TAHLII ABWAABA RAHMATIKA (Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu)". Dan apabila keluar (dari masjid), maka ucapkanlah : "ALLAHUMMA INNI AS ALUKA MIN FADLIKA (Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepada-Mu dari karunia-Mu) ".[Hadits Shahih Riwayat : Muslim, Ahmad dan Nasa'i].

Hadits ini menyatakan : Disunatkan kita mengucapkan do'a di atas apabila masuk ke masjid dan keluar dari masjid.

Periksa : Shahih Muslim 2 : 155. Sunan Nasa'i 2: 41. Fat-hur Rabbani 3 : 51,52 Nomor hadits 314. Al-Adzkar hal : 25.

Hadits Kelima

"Artinya :Dari Abdullah bin Amr bin Ash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, apabila masuk masjid, beliau mengucapkan : "AUDZU BILLAHIL 'AZHIMI WABIWAJHIHIL KARIIMI WA SULTHANIHIL QADIIMI MINASY SYAITHANIR RAJIIM" (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung dan dengan wajah-Nya yang Mulia serta kekuasaan-Nya yang tiada yang mendahuluinya, dari (gangguan) syaithan yang terkutuk)". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : Apabila ia mengucapkan demikian (do'a di atas), syaithanpun berkata : Dipeliharalah ia dari padaku sisa harinya" [Hadits Shaih Riwayat Abu Dawud]

Hadits ini menyatakan : Disunatkan kita membaca do'a mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan apabila memasuki masjid.

Periksa : Sunan Abu Dawud Nomor hadits : 466, Aunul Ma'bud Nomor hadits : 462. Minhalul 'Adzbul Mauruud (Syarah Abu Dawud) 4 : 75, Tuhfatudz Dzakrin halman 94, Al-Kalimut Thayyib halaman 51,52, Ibnu Taimiyah. Al-Adzkar halman 26. Tafsir Ibnu Katsir 3 :294. [1]

[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M]
_________
Foote Note
[1]. Ditulis tanggal 28-1-1986

SUNNAH-SUNNAH DALAM ADZAN
Oleh
Syaikh Khalid al Husainan

Sunnah-sunnah yang berkaitan dengan adzan ada lima: seperti yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.

[1]. Sunnah Bagi Orang Yang Mendengar Adzan Untuk Menirukan Apa Yang Diucapkan Muadzin Kecuali Dalam lLfadz.

"Hayya 'alash-shollaah, Hayya 'alash-shollaah"

Maka ketika mendengar lafadz itu maka dijawab dengan lafad.

"Laa hawla walaa quwwata illa billahi"

“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah "[HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 385.]

Faedah Dari Sunnah Tersebut
‘Sesungguhnya (sunnah tersebut (yaitu menjawab adzan) akan menjadi sebab engkau masuk surga, seperti dalil yang tercantum dalam Shahih Muslim (no. 385. Pent)

[2]. Setelah Muadzin Selesai Mengumandangnkan Adzan, Maka Yang Mendengarnya Mengucapkan [1]

“Dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya. Aku ridho kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama(ku) dan Muhammad sebagai Rasul” [HR. Muslim 1/240 no. 386]

Faedah Dari Sunnah Tersebut
Dosa-dosa akan diampuni sebagaimana apa yang terkandung dalam makna hadits itu sendiri.

[3]. Membaca Shalawat Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa salam setelah selesai menjawab adzan dari muadzin dan menyempurnakan shalawatnya dengan membaca shalawat Ibrahimiyyah dan tidak ada shalawat yang lebih lengkap dari shalawat tersebut.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila kalian mendengar muadzin maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya lalu bershalawatlah untukku karena sesungguhnya orang yang bershalawat untukku satu kali, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali" [HR. Muslim 1/288 no. 384)]

Faedah Dari Sunnah Tersebut
Sesungguhnya Allah bershalawat atas hambaNya 10 kali

Makna bahwasanya Allah bershalawat atas hambaNya adalah Allah memuji hambaNya di hadapan para malaikat.

Sedangkan shalawat Ibrahimiyah adalah :

“Artinya : Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahamulia. Berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahamulia.” [HR. Bukhari dalam Fathul Baari 6/408, 4/118, 6/27; Muslim 2/16, Ibnu Majah no. 904 dan Ahmad 4/243-244 dan lain-lain dari Ka’ab bin Ujrah]

[4]. Mengucapkan Doa Adzan Setelah Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Ã"Artinya :Ya Allah, Tuhan Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang didirikan. Berilah al-Wasilah (derajat di Surga), dan al-fadhilah kepada Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallm. Dan bangkitkan beliau sehingga bisa menempati kedudukan terpuji yang Engkau janjikan.” [HR. Bukhary no. 614, Abu Dawud no. 529, At-Tirmidzi no. 211, an-Nasaa’I 2/26-27. Ibnu Majah no. 722). adapun tambahan "Sesungguhnya Engkau Tidak pernah menyalahi janji" Ttidak boleh diamalkan karena sanadnya lemah. Lihat Irwa’ul Ghalil 1/260,261]

Faedah Dari Doa Tersebut
Barangsiapa yang mengucapkannya (doa tersebut) maka dia akan memperoleh syafa’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

[5]. Berdoa Untuk Dirinya Sendiri, Dan Meminta Karunia Allah Karena Allah Pasti Mengabulkan Permintaannya.

Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

“Artinya : Ucapkanlah seperti apa yang mereka (para muadzdzin) ucapkan dan jika engkau telah selesai, mohonlah kepadaNya, niscaya permohonanmu akan diberikan.” [Lihat Shahihul Wabili Shayyib oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, hal: 183]

Apabila sunnah-sunnah ketika mendengar adzan dikumpulkan, maka seorang muslim telah melaksanakannya sebanyak 25 sunnah.

SUNNAH-SUNNAH DALAM IQAMAH

Sunnah-sunnah saat iqamah sama dengan sunnah-sunnah pada adzan yaitu pada empat point yang pertama. Hal ini sesuai dengan Fatawa Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’. Apabila dijumlah secara keseluruhan terdapat 20 sunnah iqamah pada setiap shalat wajib.

Faidah :
Merupakan sunnah bagi yang mendengar iqomah untuk menirukan orang yang iqamah kecuali pada lafadz

"Hayya 'alash-shollaah, Hayya 'alash-shollaah"

Ketika mendengar lafadz itu, dijawab dengan lafadz

"Laa hawla walaa quwwata illa billahi"

“Artinya : Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah" [HR. Muslim no. 385.]

Kemudian ketika ucapan

"Qod qoomatish shalah"

Hendaknya menirukannya dan tidak boleh mengucapkan

"Aqoomahaa Allahu wa adaamaha"

Karena ucapan itu berdasarkan hadits yang dhaif"
[Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’]


[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
_________
Foote Note
[1]. Ada yang berpendapat, dibaca sesudah muadzdzin membaca syahadat. Lihat Ats-Tsamarul Musthaahb fii Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal. 172-185 oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah

Jum'at, 24 Februari 2006 - 03:06:47, Penulis : Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

www. Asy Syariah

SEPUTAR HUKUM JANABAH (2)

Edisi lalu telah membahas sebagian hal yang berkaitan dengan orang junub. Berikut ini beberapa permasalahan yang masih tersisa tentang janabah.

4. Membaca Al-Qur`an
Ahlul ilmi berselisih pendapat tentang boleh tidaknya seorang yang junub membaca Al-Qur`an. Mayoritas ulama dari empat madzhab (jumhur ulama) berpendapat tidak boleh. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib dan selain keduanya. Diriwayatkan pula pendapat ini dari Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, An-Nakha’i dan selain mereka. Al-Imam Malik berpendapat, wanita haid boleh membaca Al-Qur`an sesuai keinginannya, dan orang yang junub dibolehkan membaca dua ayat dan semisalnya. Sementara Abu Hanifah berpandangan hanya dibolehkan bila membacanya tidak sempurna satu ayat.1 (Al-Muhalla, 1/95, Al-Majmu’ 2/182, Al-Mughni kitab Ath-Thaharah Fashl Yuhramu ‘alal Junub Qira‘ah Ayah, Nailul Authar 1/317, Fatwa Lajnah Ad-Da‘imah 4/106-108, Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz 10/208-211)


Mereka yang melarang juga berdalil dengan hadits:



“Orang yang haid dan junub tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Qur`an.”3
Namun hadits ini juga lemah. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no. 192 dan Al-Misykat no. 461 melemahkan hadits ini dan beliau katakan hadits ini mungkar dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dha’if Sunan Ibnu Majah.
Dengan demikian, tidak ada dalil shahih lagi jelas dari Rasulullah n yang melarang orang junub membaca Al-Qur`an. Al-Imam Ibnu Hazm berkata: “Membaca Al-Qur`an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah n semuanya boleh dilakukan dengan berwudhu dan tanpa berwudhu terlebih dahulu, dan boleh dilakukan oleh orang yang junub dan haid. Dalil tentang hal ini adalah bahwa membaca Al-Qur`an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah k merupakan amalan-amalan kebaikan yang disenangi (mandub) lagi diberi pahala bagi pelakunya. Dengan demikian, siapa saja yang mengklaim perbuatan tersebut dilarang pada keadaan tertentu, maka ia punya tanggung jawab untuk mendatangkan dalil/ keterangan.”
Beliau juga menyatakan: “Telah datang atsar yang berisi larangan membaca Al-Qur`an bagi orang junub dan orang yang tidak berwudhu. Namun tidak ada satupun yang shahih. Kami telah menerangkan kelemahan sanad-sanadnya lebih dari satu tempat.” (Al Muhalla, 1/94-95)
Di antara ahlul ilmi yang berpendapat bolehnya orang junub membaca Al-Qur`an adalah Ibnu Abbas c dari kalangan shahabat Rasulullah n. Beliau pernah membaca surat Al-Baqarah dalam keadaan junub. Demikian pula Sa’id ibnul Musayyab, Sa’id bin Jubair, dan ini merupakan pendapat Dawud Azh-Dhahiri beserta seluruh pengikutnya (Syarhus Sunnah 2/43, Al Muhalla 1/96). Dan pendapat inilah yang penulis pegangi. Wallahu ta’ala ‘alam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

Faedah



5. Menyentuh mushaf
Jumhur ulama termasuk madzhab imam yang empat melarang orang yang junub menyentuh Al-Qur`an. Sementara kalangan ahlul ilmi yang lain berpendapat bolehnya orang yang junub menyentuh mushaf Al-Qur`an. (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid hal. 45, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah 1/23)
Sebab perselisihan pendapat ini adalah perbedaan dalam menafsirkan ayat ke-79 dari surat Al-Waqi’ah:




Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah v dalam tafsirnya terhadap ayat dalam surat Al-Waqi’ah tersebut, menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan adalah shuhuf (lembaran) yang ada di tangan para malaikat.

Beliau menolak pendapat yang memaknakan al-muthahharun dengan kaum mukminin. Dengan alasan, bila yang dimaksud dalam ayat adalah kaum mukminin yang telah berwudhu (bersuci/ berthaharah), niscaya Allah k akan menyatakan dengan lafadz:



Asy-Syaikh Al-Albani v berkata: “Yang lebih dekat maknanya –wallahu a’lam– bahwasanya yang dimaksud dengan thahir dalam hadits ini adalah seorang mukmin, baik ia berhadats besar, kecil atau ia haid atau pada tubuhnya ada najis.


“Rasulullah n melarang safar/ bepergian ke negeri musuh dengan membawa Al-Qur`an.”7 (Tamamul Minnah, hal. 107)
Dan lebih utama bagi seseorang yang ingin menyentuh mushaf –apabila memudahkan baginya– untuk berwudhu terlebih dahulu, wallahu a’lam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 1/117)
Al-Imam Ishaq Al-Marwazi berkata dalam Masa`il Al-Imam Ahmad: “Aku pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad: Apakah boleh seseorang membaca Al-Qur`an dalam keadaan tidak berwudhu? Beliau menjawab: ‘Boleh, akan tetapi jangan ia membaca dari mushaf selama ia tidak berwudhu.’ Al-Imam Ishaq bin Rahawaih pun berkata sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Ahmad. Dan demikian pula perbuatan shahabat Nabi dan tabi’in, sebagaimana riwayat yang shahih dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata: ‘Aku memegang mushaf di sisi Sa’d, lalu aku menggaruk tubuhku. Melihat hal itu berkatalah Sa’d: ‘Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab: ‘Iya.’ Sa’d berkata: ‘Bangkit dan berwudhulah.’ Aku pun bangkit dan berwudhu, lalu aku kembali. (Asy-Syaikh Al-Albani v mengatakan: “Diriwayatkan oleh Malik dan Al-Baihaqi dengan sanad shahih.”) [dinukil dari Al-Irwa`, 1/161]
Faedah
Ibnu Hazm v berkata: “Adapun menyentuh mushaf maka atsar/ hadits yang dijadikan hujjah oleh mereka yang tidak membolehkan orang yang junub menyentuhnya, atsar/ haditsnya tidak ada satupun yang shahih. Karena haditsnya ada yang mursal, ataupun karena shahifah (lembaran yang berisi hadits-hadits) yang tidak bisa dijadikan sandaran, ataupun diriwayatkan dari rawi yang majhul, ataupun dha’if.” (Al-Muhalla 1/97)

Perkara yang Disenangi untuk Dilakukan Seorang yang Junub
1. Wudhu sebelum tidur dan sebelum makan. Bila seseorang yang junub belum sempat mandi atau ingin menunda mandinya sementara ia hendak tidur, maka disenangi baginya untuk berwudhu terlebih dahulu. Hal ini dipahami dari riwayat Ibnu ‘Umar z ketika ia mengisahkan tentang ayahnya ‘Umar ibnul Khaththab z yang junub pada suatu malam, lalu ‘Umar menyebutkan hal tersebut kepada Rasulullah n. Beliau pun bersabda:



2. Wudhu ketika hendak mengulangi jima’. Seseorang yang sudah ditimpa janabah karena usai “berhubungan intim” dengan istrinya, kemudian ia hendak mengulangi “hubungan” tersebut untuk kedua kalinya ataupun kesekian kalinya, maka disenangi baginya untuk berwudhu terlebih dahulu seperti wudhu untuk shalat dan mencuci kemaluannya. (Al-Majmu’ 2/178, Nailul Authar 1/305, Asy-Syarhul Mumti’ 1/240, Taudhihul Ahkam 1/392)





“Karena dengan berwudhu akan menyemangatkan pengulangan tersebut.”11
Dengan adanya lafadz ini, maka wudhu ketika hendak mengulangi jima’ tidaklah wajib. Namun ini hanyalah anjuran dan bimbingan agar menyemangatkan pengulangan tersebut. (Fathul Bari 1/486, Asy-Syarhul Mumti’ 1/240)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

1 Al-Imam Ibnu Hazm menyatakan bahwa semua pendapat ini salah, karena tidak didukung oleh dalil dari Al-Qur`an, tidak pula dari As-Sunnah baik yang shahih ataupun dhaif, tidak ada pula ijma’, ataupun ucapan shahabat ataupun dari qiyas. Karena sebagian ataupun satu ayat adalah bagian dari Al-Qur`an juga tanpa diragukan, lalu mengapa ada pembedaan satu ayat boleh sedangkan lebih dari satu ayat tidak boleh? Demikian pula pembedaan yang mereka lakukan antara wanita haid dengan orang junub. Wanita haid boleh membaca Al-Qur`an dengan alasan masa haid itu panjang. Perkara ini mustahil karena bila baca Al-Qur`an itu haram bagi wanita haid maka tidak dibolehkan baginya membacanya sepanjang masa haidnya. Sedangkan bila baca Al-Qur`an halal baginya maka tidak ada maknanya berhujjah dengan panjangnya masa haid. (Al-Muhalla 1/95)
2 HR. An-Nasa`i no. 260, Abu Dawud no. 229 dan yang lainnya.
3 HR. At-Tirmidzi no. 131 dan Ibnu Majah no. 595, 596.
4 HR. Abu Dawud no. 17. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani, Ash-Shahihah no. 834
5 Telah disebutkan haditsnya secara lengkap.
6 HR. Al-Atsram dan Ad-Daraquthni secara muttashil, dan Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` secara mursal. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 122.
7 HR. Al-Bukhari no. 2990 dan Muslim no. 4816.
8 HR. Al-Bukhari no. 290 dan Muslim no. 702.
9 HR. Muslim no. 689.
10 HR. Muslim no. 705.
11 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 263

Selasa, 30 Januari 2006 - 23:26:25, Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husen Al-Atsariyyah

Kategori : Wanita dalam Sorotan. www.Asysyariah

SHALAT JENAZAH

Bahasan selanjutnya setelah tatacara memandikan jenazah adalah shalat jenazah. Barangkali sebagian kita telah berulang kali mengamalkannya.
Namun kajian ini insya Allah tetap memiliki nuansa lain karena kita diajak untuk menyelami dalil-dalilnya.

Purna sudah tugas memandikan dan mengafani jenazah. Yang tertinggal sekarang adalah menshalati, mengantarkannya ke pekuburan dan memakamkannya. Untuk mengantarkan ke pekuburan dan memakamkannya merupakan tugas laki-laki, karena Rasulullah n telah melarang wanita untuk mengikuti jenazah sebagaimana diberitakan Ummu ‘Athiyyah x:


Sementara ulama Madinah membolehkannya, termasuk Al-Imam Malik v, namun untuk wanita yang masih muda/ remaja beliau memakruhkannya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi 7/5, Ihkamul Ahkam, kitab Al-Janaiz, hal. 200)
Dengan demikian, keutamaan mengikuti jenazah seperti ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah z3 hanya berlaku untuk lelaki secara khusus (Ahkamul Janaiz, Asy-Syaikh Al-Albani v, hal. 88,90).

Shalat Jenazah
Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu/ wajib kifayah4, karena adanya perintah Nabi n dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Abu Qatadah z, ia menceritakan:


“Ibrahim putra Nabi n meninggal dunia dalam usia 18 bulan, beliau n tidak menshalatinya.”6
2. Orang yang gugur fi sabilillah (syahid) karena Nabi n tidak menshalati syuhada perang Uhud dan selain mereka. Anas bin Malik z mengabarkan:


Sebagaimana Nabi n pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah:
“Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi n. Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabi n berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi n mendapatkan ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya.
“Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut.
“Bagian yang diberikan Nabi n untukmu,” jawab mereka.
A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi n, seraya bertanya: “Harta apa ini?”
“Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi n.
“Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.
Nabi n bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.”
Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi n, setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya.
“Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi n.
“Ya,“ jawab mereka yang ditanya.
“Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi n. Kemudian Nabi n mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi n dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu.”9
Ibnul Qayyim v berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad v. Dan pendapat inilah yang paling mencocoki ushul dan madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)

Apakah Disyariatkan Menshalati Janin yang Gugur?
Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud z secara marfu‘:



Shalat Jenazah Dilakukan Secara Berjamaah
Disyariatkan shalat jenazah secara berjamaah sebagaimana shalat lima waktu, dengan dalil:
1. Nabi n senantiasa melaksanakannya secara berjamaah.
2. Nabi n telah bersabda:


“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” 11
Namun bila mereka mengerjakannya sendiri-sendiri maka telah tertunaikan kewajiban, sebagaimana kata Al-Imam An-Nawawi v: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa shalat jenazah boleh dilakukan sendiri-sendiri. Namun yang sunnah, shalat jenazah itu dilakukan secara berjamaah. Karena demikianlah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits masyhur yang ada dalam kitab Ash-Shahih, bersamaan dengan adanya ijma’ kaum muslimin dalam masalah ini.” (Al-Majmu’, 5/172)
Semakin banyak jamaah yang menshalati jenazah tersebut, semakin afdhal dan bermanfaat bagi si mayat12, karena Nabi n bersabda:



“Tidak ada satu mayat pun yang dishalati oleh suatu umat dari kaum muslimin yang mencapai jumlah 100 orang, di mana mereka memberikan syafaat kepada si mayat, melainkan mayat tersebut disyafaati.”13
Bahkan jumlah yang kurang dari 100 pun bermanfaat bagi si mayat, dengan syarat mereka yang menshalatinya itu dari kalangan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid dengan tidak mencampurinya dengan kesyirikan sedikit pun). Seperti tersebut dalam sabda Nabi n:


Yang afdhal pelaksanaan shalat jenazah itu di luar masjid, di tempat yang memang khusus disiapkan untuk shalat jenazah, sebagaimana hal ini dilakukan di masa Nabi n (Ahkamul Jana`iz, hal. 135).

Masbuq dalam Shalat Jenazah
Ibnu Hazm v berkata: “Bila seseorang luput dari mendapatkan beberapa takbir dalam shalat jenazah (bersama imamnya), maka ia langsung bertakbir ketika tiba di tempat shalat tersebut tanpa menanti takbir imam yang berikutnya. Apabila imam telah salam, ia menyempurnakan apa yang luput dari takbirnya, dan berdoa di antara takbir yang satu dengan takbir yang lain sebagaimana yang ia perbuat bersama imam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah n terhadap orang yang (terlambat) mendatangi shalat berjamaah (masbuq) agar ia mengerjakan apa yang sempat ia dapatkan bersama imam dan ia sempurnakan apa yang tertinggal….” (Al-Muhalla, 3/410)

Posisi Berdiri Imam
Ketika jenazah diletakkan untuk dishalati, bila jenazahnya lelaki, imam berdiri di belakangnya pada posisi kepala. Adapun jika jenazahnya wanita maka imam berdiri pada posisi tengahnya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Samurah bin Jundab z yang dikelu-arkan dalam Shahihain17. Samurah berkata:
“Aku pernah menjadi makmum di belakang Nabi n ketika menshalati seorang wanita bernama Ummu Ka’ab yang meninggal karena melahirkan. Nabi n berdiri pada posisi tengah jenazah dan beliau bertakbir empat kali.”18
Abu Ghalib Al-Khayyath v berkisah: “Aku pernah menyaksikan Anas bin Malik z menshalati jenazah seorang lelaki, ia berdiri di bagian yang bersisian dengan kepala jenazah. Ketika jenazah tersebut telah diangkat, didatangkan jenazah seorang wanita dari Anshar, maka dikatakan kepada Anas: ‘Wahai Abu Hamzah (kunyah Anas), tolong shalatilah.’ Anas pun menshalatinya dan ia berdiri pada posisi tengah jenazah.
Di antara kami ketika itu ada Al-’Ala` bin Ziyad Al-’Adawi (seorang yang tsiqah dari kalangan tabi’in, termasuk ahli ibadah dan qurra` penduduk Bashrah). Ketika melihat perbedaan berdirinya Anas tersebut, ia berkata: ‘Wahai Abu Hamzah, apakah demikian Rasulullah n berdiri sebagaimana engkau berdiri ketika menshalati jenazah laki-laki dan ketika menshalati jenazah wanita?’ Anas menjawab: ‘Iya’.”19

Wanita Menshalati Jenazah
Al-Imam An-Nawawi v berkata: “Apabila tidak ada yang menghadiri jenazah kecuali para wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mereka menshalati jenazah tersebut. Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya ketika itu gugurlah kewajiban (menshalati jenazah) dengan apa yang mereka lakukan. Dan mereka menshalati jenazah tersebut secara sendiri-sendiri. Namun tidak apa-apa bila mereka mengerjakan secara berjamaah (dengan sesama mereka).” (Al-Majmu’, 5/169)

Tata Cara Shalat Jenazah
Shalat jenazah memiliki tata cara yang berbeda dengan shalat yang lain, karena shalat ini dilaksanakan tanpa ruku’, tanpa sujud, tanpa duduk, dan tanpa tasyahhud (Al-Muhalla, 3/345). Berikut perinciannya:
1. Bertakbir 4 kali20, demikian pendapat mayoritas shahabat, jumhur tabi‘in, dan madzhab fuqaha seluruhnya.
2. Takbir pertama dengan mengangkat tangan, lalu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (sedekap) sebagaimana hal ini dilakukan pada shalat-shalat lain. Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qaththan v berkata: “Ulama bersepakat bahwa orang yang menshalati jenazah, ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya pada takbir yang awal.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/186)
Ibnu Hazm v menyatakan: “Adapun mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat jenazah, maka tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi n melakukannya, kecuali hanya pada awal takbir saja.” (Al-Muhalla, 3/351)
Asy-Syaikh Al-Albani v berkata: “Tidak didapatkan dalam As-Sunnah adanya dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan pada selain takbir yang pertama. Sehingga kita memandang mengangkat tangan di selain takbir pertama tidaklah disyariatkan. Demikianlah pendapat madzhab Hanafiyyah dan selain mereka. Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaukani v 21 dan lainnya dari kalangan muhaqqiq.” (Ahkamul Jana`iz , hal.148)
3. Setelahnya, berta‘awwudz lalu membaca Al-Fatihah22 dan surah lain dari Al-Qur`an23. Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf berkata: “Aku pernah shalat jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas c, ia membaca Al-Fatihah dan surah lain. Ia mengeraskan (menjahrkan) bacaannya hingga terdengar oleh kami. Ketika selesai shalat, aku memegang tangannya seraya bertanya tentang jahr tersebut. Beliau menjawab: “Hanyalah aku menjahrkan bacaanku agar kalian mengetahui bahwa (membaca Al-Fatihah dan surah dalam shalat jenazah) itu adalah sunnah24 dan haq (kebenaran)25”.
Sebenarnya bacaan dalam shalat jenazah tidaklah dijahrkan namun dengan sirr (pelan), berdasarkan keterangan yang ada dalam hadits Abu Umamah bin Sahl, ia berkata: “Yang sunnah dalam shalat jenazah, pada takbir pertama membaca Al-Fatihah dengan perlahan kemudian bertakbir tiga kali dan mengucapkan salam setelah takbir yang akhir.”26
Ibnu Qudamah v berkata: “Bacaan (qira`ah) dan doa dalam shalat jenazah dibaca secara sirr. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ahlul ilmi. Adapun riwayat dari Ibnu ‘Abbas c di atas, maka kata Al-Imam Ahmad v: ‘Hanyalah beliau melakukan hal itu (men-jahrkan bacaan) untuk mengajari mereka’.” (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah)
Al-Imam Asy-Syaukani v berkata: “Jumhur ulama berpendapat tidak disunnahkan menjahrkan bacaan dalam shalat jenazah.” (Nailul Authar 4/81)
4. Takbir kedua, lalu bershalawat untuk Nabi n sebagaimana lafadz shalawat dalam tasyahhud. (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah, Asy-Syarhul Mumti’, 2/526)
5. Takbir ketiga, lalu berdoa secara khusus untuk si mayat secara sirr menurut pendapat jumhur ulama. (Al-Minhaj 7/34) Nabi n bersabda:


“Apabila kalian menshalati mayat, khususkanlah doa untuknya.”27
Kata Al-Munawi v menerangkan makna hadits di atas: “Yakni doakanlah si mayat dengan ikhlas dan menghadirkan hati karena maksud dari shalat jenazah tersebut adalah untuk memintakan ampun dan syafaat bagi si mayat. Diharapkan permintaan tersebut akan dikabulkan dengan terkumpulnya keikhlasan dan doa dengan sepenuh hati.” (Catatan kaki Ahkamul Janaiz, hal. 156)
Dalam hal ini, mengucapkan doa yang pernah diajarkan Nabi n lebih utama daripada mengamalkan yang selainnya. (Asy-Syarhul Mumti‘ 2/530, At-Ta‘liqat Ar Radhiyyah 1/444).
Di antara sekian doa yang pernah diucapkan Nabi n untuk jenazah adalah:


“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang sudah meninggal, orang yang sekarang ada (hadir) dan orang yang tidak hadir, anak kecil di antara kami dan orang besar, laki-laki dan wanita kami. Ya Allah siapa yang engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam dan siapa yang engkau wafatkan di antara kami maka wafatkanlah dia di atas iman. Ya Allah janganlah engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”30
Bila mayat itu anak kecil, maka disenangi untuk mendoakan kedua orang tuanya31 agar mendapatkan ampunan dan rahmah seperti tersebut dalam hadits Al-Mughirah bin Syu‘bah z.32
Ulama menganggap baik untuk mengucapkan doa berikut ini:


“Ya Allah jadikanlah anak ini (si mayat) sebagai pendahulu bagi kedua orang tuanya, tabungan/ simpanan dan pahala bagi keduanya. Ya Allah beratkanlah timbangan keduanya dengan kematian si anak, besarkanlah pahala keduanya. Ya Allah, jadikanlah anak ini dalam tanggungan Nabi Ibrahim33 dan gabungkanlah dia dengan pendahulu yang shalih dari kalangan (anak-anak kecil) kaum mukminin. Lepaskanlah dia dari adzab neraka Jahim dengan rahmat-Mu34. Gantikanlah untuknya rumah/ negeri yang lebih baik daripada rumah/ negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya. Ya Allah, ampunilah salaf kami, orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang mendahului kami dalam keimanan.”35 (Al-Mughni, fashl Ad-Du’a` li Walidayith Thifl Al-Mayyit)
6. Pada takbir terakhir, disyariatkan berdoa sebelum mengucapkan salam dengan dalil hadits Abu Ya‘fur dari Abdullah bin Abi Aufa z ia berkata: “Aku menyaksikan Nabi n (ketika shalat jenazah) beliau bertakbir empat kali, kemudian (setelah takbir keempat) beliau berdiri sesaat –untuk berdoa–.”36
Al-Imam Ahmad v berpendapat disunnahkan berdoa setelah takbir terakhir ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Masa`il Al-Imam Ahmad (153). Demikian pula pendapat dalam madzhab Asy-Syafi‘iyyah. (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)
7. Kemudian salam seperti salam dalam shalat lima waktu, dan yang sunnah diucapkan secara sirr (pelan), baik ia imam ataupun makmum. (Al-Hawil Kabir 3/55-57, Nailul Authar 4/82)
Demikian yang bisa kami susun untuk pembaca yang mulia. Semoga Allah k menjadikannya bermanfaat untuk kami pribadi dan orang yang membacanya. Amin.
Kebenaran itu datangnya dari Allah k. Adapun bila ada kesalahan dan kekeliruan maka hal itu semata karena kebodohan kami. Kami istighfar (memohon ampun) karenanya kepada At-Tawwabur Rahim (Dzat Yang Banyak Mengampuni hamba-hamba-Nya lagi Maha Penyayang).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba‘in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163, 2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘an Ittiba’il Jana`iz
2 Di antara yang memakruhkannya adalah Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, ‘Aisyah, Masruq, Al-Hasan, An-Nakha’i, Al-Auza’i, dan Ishaq. (Al-Mughni, kitab Al-Janaiz, fashl Yukrahu Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz)
3 Abu Hurairah z berkata: Aku mendengar Nabi n bersabda:



“Siapa yang menyaksikan jenazah sampai dishalatkan (mengikutinya dari tempat keluarga/ rumah si mayat sampai menshalatinya di tempat jenazah tersebut dishalatkan, -pent.), maka ia mendapatkan satu qirath. Dan siapa yang menyaksikan jenazah sampai dimakamkan (mengikutinya dari tempat keluarganya hingga selesai pemakamannya, -pent.), maka ia mendapat dua qirath.” Ditanyakan kepada beliau: “Apakah dua qirath itu?” Beliau menjawab: “Semisal dua gunung yang besar.” (HR. Al-Bukhari no. 1325, bab Man Intazhara hatta Tudfanu dan Muslim no. 2186 bab Fadhlush Shalah ‘alal Janazah wat Tiba`iha)
Dalam riwayat Muslim (no. 2192) disebutkan: “Siapa yang keluar bersama jenazah dari rumah jenazah tersebut dan menshalatinya, kemudian mengikutinya sampai dimakamkan maka ia mendapatkan dua qirath dari pahala. Masing-masing qirath semisal gunung Uhud. Dan siapa yang menshalatinya kemudian kembali/ pulang (tidak mengikutinya ke pemakaman) maka ia mendapat pahala semisal gunung Uhud.”
4 Al-Hawil Kabir 3/52, Al-Majmu’ 5/169, Al-Minhaj 7/22, At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah 1/439, Asy-Syarhul Mumti’ 2/523.
5 HR. An-Nasa`i no. 1960, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dainun. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih An-Nasa`i.
6 HR. Abu Dawud no. 3187, kitab Al-Jana`iz, bab Fish Shalah ‘alath Thifl, dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Abu Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 104, mengikuti Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani v dalam Al-Ishabah.
7 HR. Abu Dawud no. 3135, bab Fisy Syahid Yughassal. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan menurutku, di atas syarat Muslim.” (Ahkamul Jana`iz hal. 74)
8 HR. An-Nasa`i no. 1947, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘alash Shibyan, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih An-Nasa`i.
9 HR. Abdurrazzaq no. 6651, An-Nasa`i no. 1953, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar no. 2818 dan selainnya. Asy-Syaikh Al-Albani v berkata: “Isnadnya shahih, semua rijalnya di atas syarat Muslim kecuali Syaddad ibnul Had. Al-Imam Muslim v tidak mengeluarkan satu hadits pun darinya. Namun ini tidak menjadi masalah, karena Syaddad adalah shahabat Nabi yang dikenal. Adapun ucapan Asy-Syaukani v dalam Nailul Authar yang mengikuti Al-Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ bahwa Syaddad ini seorang tabi‘in, merupakan ucapan yang sangat keliru, maka jangan terkecoh dengannya.” (Ahkamul Jana`iz , hal. 81)
10 HR. Al-Bukhari no. 3208, kitab Bad’ul Khalq, bab Dzikrul Mala`ikah dan Muslim no. 6665, kitab Al-Qadar, bab Kaifiyyatul Khalq Al-’Adami fi Bathni Ummihi…
11 HR. Al-Bukhari no. 631, kitab Al-Adzan, bab Al-Adzan lil Musafirin Idza Kanu Jama‘atan wal Iqamah.
12 Al-Majmu’ 5/172, Al-Muhalla 3/389, Subulus Salam 2/162, Nailul Authar 4/73, Taudhihul Ahkam 3/194.
13 HR. Muslim no. 2195, kitab Al-Jana`iz, bab Man Shalla ‘alaihi Mi`ah Syuffi’u fihi.
14 HR. Muslim no. 2196, pada kitab dan bab yang sama dengan di atas.
15 Al-Majmu’ 5/172, Taudhihul Ahkam 3/195
16 HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (7785) dan Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (3/432), pada sanadnya ada Ibnu Lahi’ah, sementara beliau ini diperbincangkan. Namun kata Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Ahkamul Jana`iz (hal. 127-128) haditsnya bisa dijadikan syahid bagi hadits Malik bin Hubairah berikut ini:
Rasulullah n bersabda: “Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal lalu ia dishalati oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan ia diampuni.” (HR. Abu Dawud no. 3166 bab Fish Shufuf ‘alal Jana`iz, dll.)
17 HR. Al-Bukhari no. 1332, bab Aina Yaqumu minal Mar`ah war Rajul dan Muslim no. 2232, bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit lish Shalah ‘alaihi.
18 Al-Hawil Kabir 3/50, Al-Majmu’ 5/183, Al-Muhalla 3/345, 382, Fathul Bari 3/257, Asy-Syarhul Mumti’ 2/524, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam 1/372.
19 Kelengkapan haditsnya bisa dilihat dalam riwayat Abu Dawud no. 3194, kitab Al-Jana`iz, bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit idza Shalla ‘alaihi.
20 Boleh pula dilakukan 5-9 kali, semuanya ada keterangan dari Nabi n. Namun jumlah 4 kali takbir paling banyak disebutkan dalam hadits (Ahkamul Jana`iz , hal. 141). Adapun pernyataan adanya ijma’ ulama yang menetapkan takbir shalat jenazah hanya 4 kali dan tidak lebih, merupakan anggapan yang batil. Sebagaimana hal ini ditegaskan Ibnu Hazm v dalam Al-Muhalla (3/347, 348-351). Sedangkan hadits yang menyatakan:


yang dijadikan sebagai dalil pembatasan takbir hanya 4 kali adalah hadits yang dha’if. Al Hafizh Ibnu Hajar v berkata dalam At-Talkhish (2/677): “Hadits ini diriwayatkan lebih dari satu jalan, namun semua jalannya dhaif.”
21 Sebagaimana dalam Nailul Authar 4/83.
22 Tidak disyariatkan membaca doa istiftah, demikian pendapat madzhab Asy-Syafi‘iyyah dan selain mereka. (Catatan kaki Ahkamul Jana`iz, hal. 151)
23 Nailul Authar 4/82, At-Ta‘liqat Ar-Radhiyyah 1/443, Asy-Syarhul Mumti‘ 2/525, Taudhihul Ahkam 3/205.
24 Yakni Sunnah Nabi n dan jalan beliau, bukan sunnah dalam pengertian hukum fiqih yang lima (wajib, haram, makruh, sunnah, dan mubah).
25 HR. Al-Bukhari no. 1335, bab Qira`ati Fatihatil Kitab ‘alal Janazah, An-Nasa`i no. 1987, 1988 bab Ad-Du’a`, dishahihkan Asy-Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih An-Nasa`i.
26 HR. An-Nasa`i no. 1989 bab Ad-Du’a`, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Nasa’i.
27 HR. Abu Dawud no. 3199, bab Ad-Du’a lil Mayyit, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Abi Dawud.
28 Bila mayatnya seorang wanita maka semua dhamir (kata ganti)

29 HR. Muslim no. 2229, 2231, bab Ad-Du’a` lil Mayyit fish Shalah.
30 HR. Ibnu Majah no. 1498, bab Ma Ja`a fid Du’a` fish Shalah ‘alal Janazah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan Al-Misykat no. 1675.
31 Nailul Authar 4/85
32 HR. Abu Dawud no. 3180, bab Al-Masy-yu Amamal Janazah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud.
33 Nabi Muhammad n pernah bermimpi melihat Nabi Ibrahim p di sebuah taman yang besar lagi indah, di sekitar beliau ada anak-anak kecil yang meninggal di atas fithrah. (HR. Al-Bukhari no. 7047, kitab At-Ta’bir, bab Ta’birur Ru`ya ba‘da Shalatish Shubh)
34 Bagaimana anak yang belum baligh bisa diadzab sementara ia belum berdosa? Maka dijawab bahwa setiap hamba Allah pasti akan mendatangi neraka sebagaimana dalam ayat:



“Tidak ada seorang pun dari kalian melainkan pasti akan mendatangi neraka, yang demikian itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Maryam: 71)
Dengan demikian, doa seperti itu ditujukan untuk si anak agar Allah k menjaganya dari adzab neraka apabila nanti pada hari kiamat ia mendatanginya. (Asy-Syarhul Mumti‘ 2/538)
35 Doa ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Abu Hurairah z. Yang semisalnya juga diriwayatkan oleh Sufyan dari Al-Hasan. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan Al-Baihaqi tersebut isnadnya hasan, dan tidak apa-apa diamalkan dalam hal seperti ini, walaupun haditsnya mauquf. Namun tidak boleh dijadikan sebagai sunnah (yaitu) dengan menganggap bahwa doa itu datang dari Nabi n (padahal tidak demikian). Adapun doa yang aku pilih untuk dipanjatkan ketika menshalati anak kecil adalah doa yang kedua (yaitu doa yang diriwayatkan Ibnu Majah no. 1498, bab Ma Ja`a fid Du’a` fish Shalah ‘alal Janazah), karena di dalamnya ada lafadz:

“…anak kecil di antara kami … Ya Allah janganlah engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan engkau sesatkan kami sepeninggalnya.” (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)
36 Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (4/35) dengan sanad yang shahih, kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz, hal. 160.

SHALAT DENGAN MENGGUNAKAN SUTRAH [PEMBATAS]
Oleh
Syaikh Khalid al Husainan

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Apabila ada yang shalat diantara kalian maka sholatlah dengan menggunakan pembatasr dan hendaklah dia mendekati pembatas tersebut, janganlah membiarkan seorangpun lewat antara dirinya dan pembatas tersebut" [1]

Ini merupakan dalil/nash yang umum tentang sunnahnya mengambil sutrah ketika sholat baik di masjid maupun di rumah. Sutrah berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ada sebagian orang-orang yang mengerjakan sholat telah melarang dirinya dari sunnah (menggunakan sutrah) tersebut sehingga dijumpai ketika sholat, mereka tidak menggunakan sutrah.

Sunnah ini berulang kali berlaku bagi seorang muslim dalam kesehariannya. Hal (menggunakan sutrah) itu berlaku juga pada sunnah-sunnah yang Rawatib, pada Sholat Dhuha, Tahiyatul Masjid, Sholat Witir, dan sunnah tersebut juga berlaku bagi seorang perempuan yang sholat sendirian di rumahnya. Sedangkan ketika sholat berjamaah maka yang menjadi penghalang/tabir bagi para makmum adalah imam sholat.

Permasalahan-Permasalahan Seputar Sutrah

[a]. Sutrah ketika sholat dapat menggunakan apa-apa yang berada di arah kiblat seperti tembok, tongkat, atau tiang dan tidak ada pembatasan tentang bentangan/lebar sutrah.

[b]. Tinggi sutrah kira-kira setingggi mu’akhiraturr [2], yaitu yang ukurannya kira-kira satu jengkal tangan.

[c]. Jarak antara kedua kaki dan sutrah adalah kira-kira tiga hasta (siku sampai ujung jari tengah) dan diantara dia dengan sutrah masih ada tempat (ruang) untuk melakukan sujud.

[d]. Sesungguhnya sutrah (tabir penghalang) disyariatkan bagi imam dan orang-orang yang sholat secara munfarid (sendiri) baik sholat wajib lima waktu maupun shalat sunnat

[e]. Sutrah makmum mengikuti sutrah imam, maka diperbolehkan melewati makmum apabila ada hajat (kepentingan).

Faedah Menerapkan Sunnah Ini

[a]. Sesungguhnya sunnah tersebut (dengan menggunakan sutrah ketika sholat) menjaga sholat agar tidak terputus yang disebabkan oleh lalu lalangnya siapa saja yang bisa memutuskan/membatalkan sholat (yaitu perempuan, keledai, dan anjing yang hitam) atau mengurangi pahalanya.

[b]. Mencegah pandangan dari melihat orang-orang yang lalu lalang karena orang yang memakai sutrah secara umum pandangannya ke arah sutrah dan pikirannya terkonsentrasi pada makna-makna bacaan sholat.

[c]. Orang yang sholat memakai sutrah telah memberikan kesempatan bagi orang yang berlalu-lalang maka tidak perlu menjauhkan orang-orang yang berlalu lalang di depannya.


[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat. Abu Dawud no. 697 dan 698. Ibnu Majah no. 954 dan Ibnu Khuzaimah 1/93/1. [Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Al-Albany hal. 82.]
[2]. Sandaran pada bagian belakang pelana kuda yang ukurannya kira-kira dua pertiga dziraa’ (1 dziraa’= sepanjang siku-siku tangan sampai ujung jari tengah) [Lisaanul arab III/1495]

MEMBACA AL-FATIHAH DI BELAKANG IMAM [SHALAT JAHRIYAH]
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashidruddin Al-Albani ditanya : Anda menyebutkan dalam kitab Shalat Nabi, dari hadits Abu Hurairah, tentang di nasahkkannya (dihapuskannya) bacaan Al-Fatihah dibelakang Imam yang sedang shalat jahar. Kemudian anda mengeluarkan hadits ini, dan anda sebutkan bahwa hadits tersebut mempunyai penguat dan hadits Umar. Akan tetapi dalam kitab Al-I’tibar Fi An-Nasikh wa Al-Mansukh yang dikarang oleh Al-Hazimii disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang yang tidak dikenal (majhul), dimana tidak ada yang meriwayatkan dari si majhul ini kecuali hadits tersebut, dan seandainya hadits ini tsabit, yang berisi larangan untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam yang sedang membaca ayat, maka bagaimana pendapat anda tentang perkataan Al-Hazimi ?

Jawaban
Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama dengan perselisihan yang banyak. Dan perkataan Al-Hazimi ini mewakili para ulama yang berpendapat wajibnya membaca Al-Ftihah di belakang imam yang menjaharkan bacaannya.

Di dalam perkataannya ada dua sisi ; yang pertama, dari sisi hadits, yang kedua dari sisi fiqih

Adapun dari sisi hadits, ialah tuduhan cacat terhadap ke shahihan hadits tersebut dengan anggapan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat seorang yang majhul (tidak dikenal). Akan tetapi kemajhulan yang di maksud ternyata adalah seorang perawi yang riwayatnya diterima oleh Imam Az-Zuhri. Tentang perawi ini, memang terdapat banyak komentar mengenai dirinya, akan tetapi mereka menganggap tsiqah (terpercaya), disebabkan pentsiqohan Imam Az-Zuhri, bahkan beliau telah meriwayatkan hadits darinya.

Dan hadits ini ternyata mempunyai penguat-penguat lain yang mewajibkan kita untuk menguatkan pendapat para ulama yang tidak membolehkan membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca dengan jahar.

Yang paling pokok dalam hal ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah, dan diamlah, agar kalian mendapat rakhmat” [Al-A’raaf : 204]

Pendapat seperti ini merupakan pendapat Imam Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Setelah mengkompromikan semua dalil yang ada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa makmum wajib diam ketika imam menjaharkan bacaan, dan (makmum) wajib membaca ketika imam membaca perlahan.

Masalah sepelik ini tidak boleh disimpulkan hanya berdasarkan satu dua hadits saja. Tapi harus dilihat dari semua hadits yang berkaitan dengan masalah ini.

Maka seandainya kita berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah dii belakang imam ketika jahar, ini jelas-jelas bertentangan dengan berbagaii masalah dan dalil, dimana tidak mungkin bagi kita menentang dalil-dalill tersebut.

Dalil yang pertama kali kita tentang adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah dan diamlah”, darii perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Bahwasanya dijadikan imam itu untuk diikuti, jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan jika ia membaca, maka diamlah”

Termasuk juga satu pertanyaan bahwa jika seorang (makmum) mendapati imam dalah keadaan rukuk, maka ia telah mendapat satu rakaat, padahal dia ini belum membaca Al-Fatihah. Oleh karena itu hadits.

“Artinya : Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”

Dan hadits-hadits lain yang semakna adalah merupakan dalil khusus, bukan dalil secara umum. Dan satu hadits (dalil) jika telah bersifat khusus, maka keumumannya menjadi lemah, dan iapun siap dimasuki pengkhususan yang lain, atau dimasuki oleh dalil yang lebih kuat tingkat keumumannya dari hadits tadi.

Maka disini, hadits : “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah”. Menurut kami menjadi hadits umum yang terkhususkan, dan pada saat itu juga hadits-hadits lain yang mengandung arti umum tentang wajibnya diam dibelakang imam dalam shalat jahar menjadi lebih kuat (tingkat keumumannya) dari hadits di atas.

Adapun hadits Al-Alaa’.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak membaca Al-Fatihah maka shalatnya tidak sempurna”.

Maka hadits ini tidak marfu [1] kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia merupakan pendapat Abu Hurairah, ketika ia menjawab dengan jawaban.

”Artinya : Bacalah dalam hatimu”

Dan kalimat : “Bacalah dalam hatimu”, tidak bisa kita artikan membaca sebagaimana lazimnya, yaitu membaca dengan memperdengarkan untuk dirinya, dengan mengeluarkan huruf-huruf dari makhraj-makhraj (tempat-tempaty) huruf.

Dan kalaupun kita dianggap bahwa maksudnya adalah membaca dalam hatii sebagaimana bacaan imam dalam shalat sirriyah atau bacaan ketika shalat sendiri. Maka pendapat seperti ini yang merupakan pendapat Abu Hurairah, bertentangan dengan pendapat sebagian besar shahabat, dimana mereka telah berselisih pendapat masalah ini.

Perselisihan ini bukan hanya terjadi setelah zaman para shahabat, tapii perselisihan ini justru dimulai dari zaman mereka. Pendapat Abu Hurairah inii harus dihadapkan dengan seluruh dalil yang terdapat dalam masalah ini, tidak boleh hanya berdalil dengan pendapat beliau saja, karena bertentangan dengan sebagian atsar para shahabat yang justru melarang membaca Al-Fatihah di belakang imam yang shalat jahar.

Adapun hadits.

“Artinya : Janganlah kalian membaca di belakang imam kecuali dengan Al-Fatihah”.

Kami berpendapat bahwa pengecualian ini ia merupakan suatu tahapan, darii tahapan-tahapan syari’at.

Barangsiapa yang hanya berdalil dengan hadits ini, maka terdapat perkara-perkara yang harus dia ketahui bagaimana ia bersikap terhadap hadits-hadits tersebut. Diantaranya ialah perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian membaca”, adalah suatu larangan. Dan perkataan beliau : “Melainkan Al-Fatihah” adalah pengecualian dari larangan tersebut. Apakah ini secara bahasa pengecualian ini menjelaskan adanya kewajiban yang dikecualikan (dalam hal membaca Al-Fatihah), atau hanya sekedar bolehnya ? Masalah ini harus diteliti lebih dalam lagi. Pendapat yang kuat, bahwa boleh membaca Al-Fatihah, bukan wajib.

Disamping itu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri adalah bahwa orang yang mendapatkan ruku’nya imam berarti ia mendapatkan rakaat tersebut.

Bagaimanapun juga, dalam masalah ini kami mempunyai suatu pendapat, yang memperkuat pendapat jumhur, dan pendapat ini sama dengan pendapat Imam Malik dan Ahmad. Dan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling adil. Dan dalam hal ini kami tidak ta’ashub (fanatik).


[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
_________
Foote Note
[1]. Hadist Marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,-pent

SHALAT TARAWIH
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

[1]. Pensyari'atannya

Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda.

"Artinya : Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya"

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan 'illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.

Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]

[2]. Jumlah Raka'atnya

Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]

Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir[3]

Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [4]

Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at"

Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughit (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah sendainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.

Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"

Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.

Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.

Sedangkan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]

Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hapalan.

Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyatannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut.

[1]. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari
[2]. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
[3]. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
[4]. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
[5] Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]

Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]

Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.[5]


[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]. Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
[3]. Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.
[4] Furu' fajar : awalnya, permulaan
[5]. Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah :
[a] Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabun fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
[b] Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar'Ammar

UNTUK JAMA’AH SHALAT JUM’AH

Kesibukan dan tuntutan kehidupan yang semakin banyak dan bertambah dari waktu ke waktu dan ditambah dengan kurangnya perhatian terhadap ilmu pengetahuan agama (ilmu syar`i) telah banyak membuat orang muslim beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala secara asal-asalan dan tidak dilandasi dengan ilmu dan pengetahuan yang memadai. Akibatnya banyak kekeliruan dan kesalahan yang terjadi di dalam melaksanakan berbagai aktifitas ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala, yang sudah barang tentu kekeliruan dan kesalahan tersebut sangat bertentangan dengan dua syarat mutlaq yang harus dipenuhi oleh setiap muslim agar ibadahnya di terima di sisi Allah. Kedua syarat itu adalah: ikhlas yang berarti motivasi yang mendorong diri beribadah adalah murni keinginan dan kerinduan kepada keridhaan dan rahmat Allah subhanahu wata’ala semata. Dan yang kedua adalah mutâba`ah yang berarti bahwa ibadah yang dilakukan mencontoh dan mengikuti sunnah dan petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Salah satu contoh kekeliruan tersebut adalah berbagai kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan oleh para jama`ah di dalam melakukan shalat Jum`at. Adab atau etika dan hukum-hukum yang berkenaan dengan shalat Jum`at sudah diabaikan, dan petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad pun dicampakkan.

Berikut ini sejumlah kesalahan yang biasa dilakukan oleh para jama`ah di dalam melakukan shalat Jum`at:

§ Tidak ikhlas dalam melakukan shalat Jum'at, melainkan hanya ikut-ikutan. Hal ini tampak di dalam sikap-sikap sebagian jama`ah yang dapat kita lihat pada saat datang dan berada di masjid, yakni terkesan asal-asalan dan tidak sungguh-sungguh dalam melaksanakan adab-adab shalat Jum'at.

§ Tidak mandi dan tidak mengoles minyak wangi untuk datang ke masjid, bahkan ada yang baru mematikan rokoknya pada saat akan masuk ke dalam masjid. Padahal bau busuk rokok yang keluar dari mulut si perokok akan mengganggu kekhusyu`an shalat orang lain. Imam al-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim ketika menjelaskan hadits tentang larangan orang yang memakan bawang putih mendekati masjid, beliau berkata, "Para ulama berkata, "Termasuk dalam katagori bawang adalah segala sesuatu yang berbau tidak sedap. Ibnu al-Murabith mengatakan, "Termasuk juga orang yang mulutnya berbau busuk." (Lihat penjelasan hadits no. 870 pada kitab tersebut.

§ Tidak mengenakan pakaian khusus untuk shalat Jum`at. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, "Alangkah baiknya kalau seorang di antara kamu membeli pakaian khusus untuk hari Jum`at selain pakaian kerjanya." (Abu Daud dan Imam Malik). "Pakailah pakaian yang berwana putih, karena ia merupakan sebaik-baik pakaian kalian." (Imam Ahmad).

§ Berleha-leha untuk datang ke masjid, bahkan tidak masuk ke dalam masjid kecuali setelah imam naik mimbar. Jika berada di masjid ia sangat gelisah dan ingin cepat-cepat keluar, seperti burung di dalam sangkar. Ia lebih suka datang terakhir dan keluar dari masjid paling cepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan betapa besarnya pahala orang yang datang lebih dini ke masjid untuk shalat Jum`at, seraya bersabda,
"Apabila hari Jum`at, maka pada setiap pintu dari pintu-pintu masjid terdapat para malaikat yang mencatat orang yang masuk, secara berurutan. Lalu apabila imam sudah duduk di atas mimbar mereka pun menutup buku catatannya dan masuk (ke masjid) turut menyimak nasihat (khutbah). Perumpamaan (pahala) orang yang datang lebih awal adalah seperti (pahala) orang yang berkurban seekor unta, kemudian yang datang berikutnya seperti berkurban seekor sapi, dan yang datang berikutnya lagi seperti orang yang berkurban seekor domba, dan yang datang berikutnya seperti orang yang bersedekah seekor ayam, dan yang datang berikutnya seperti orang yang bersedekah sebutir telur". ( HR. Muslim dari Abu Hurairah)

§ Tidak berdo`a dan tidak mendahulu kan kaki kanan pada saat memasuki masjid dan mendahulukan kaki kiri pada saat keluar darinya.

§ Tidak shalat sunnat tahiyyatul masjid, akan tetapi langsung duduk pada saat datang di masjid. Bahkan duduk di barisan paling belakang dan mencari tempat bersandar, sekalipun barisan (shaff) yang di depan masih belum terisi. (kesalahan fatal)

Seharusnya, ketika seseorang masuk masjid langsung mengisi shaff yang masih kosong atau renggang, dengan melakukan shalat dua rakaat terlebuh dahulu, apalagi shaff (barisan) yang lebih depan itu banyak fadhilah dan besar pahalanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Kalau seandainya orang- orang mengetahui apa-apa (pahala, berkah dan keutamaan) yang terkandung pada adzan dan shaff yang pertama, kemudian mereka tidak menemukan jalan kecuali harus dengan undian, niscya mereka melakukan undian". (Muttafaq `alaih)

§ Mengisi waktu di dalam masjid dengan perbuatan sia-sia, terutama saat imam berkhutbah, seperti bercanda atau ngobrol. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, "Apabila anda berkata pada teman anda pada hari Jum`at, “Diamlah,” pada saat imam berkhutbah, maka sesungguhnya anda telah berbuat sia-sia".

Al-Syeikh al-Sindiy di dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Siapa yang berbuat sia-sia (saat imam berkhutbah) maka shalat Jum`atnya menjadi sia-sia, ia tidak mendapatkan pahala dan keutamaannya.”

Dan beliau bersabda, "Barangsiapa yang menyentuh (memainkan) batu kerikil maka ia telah berbuat sia-sia". Imam al-Nawawi dalam syarahnya mengatakan, "Hadits ini mengandung larang menyentuh kerikil atau berbuat sia-sia lainnya saat khutbah, dan hadits ini juga mengandung isyarat (perintah) agar sepenuh jiwa dan raga menyimak khutbah. Sedangkan yang dimaksud perbuatan sia-sia di sini adalah perbuatan batil, tercela dan ditolak"

Demikian pula mengedarkan kotak amal saat khatib sedang berkhutbah. Seharusnya kotak amal itu cukup diletakkan di pintu-pintu masjid, kemudian jama`ah dihimbau untuk memasukkan amalnya pada saat masuk atau keluar masjid.

§ Tidur pada saat berada di dalam masjid dan tidak berupaya untuk menghilangkan rasa kantuk (dengan berpindah tempat atau berwudhu`).

§ Membacakan pengumuman dan laporan-laporan sesaat sebelum imam naik mimbar. Sebaiknya laporan atau pun pengumuman ditempel di etalase masjid, sedangkan pengumuman yang sangat penting bisa disampaikan seusai shalat Jum`at.

§ Membaca bacaan tertentu secara bersama-sama, atau menghadiahkan bacaan surat tertentu kepada orang-orang tertentu saat menjelang khutbah, sehingga menjadi tradisi yang tidak boleh ditinggalkan. (Kesalahan fatal karena Rasulullah dan para shahabat tidak pernah melakukannya).

§ Tidak merapatkan shaff waktu melakukan shalat Jum`at. Masing-masing jama`ah menempati sajadahnya sendiri-sendiri sehingga terjadi kerenggangan yang sangat kentara, padahal dua sajadah bisa ditempati oleh tiga orang jama`ah. Ini menyebab kan shalat Jum`at tidak sempurna. (kesalahan fatal).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat perhatian dan serius dalam merapatkan dan meluruskan barisan shalat, hingga seakan-akan membidikkan anak panahnya kepada sasaran tembak.

Kesalahan-kesalahan di atas mengindikasikan tipisnya keikhlasan seseorang di dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, juga menunjukkan bahwa orang itu tidak mempunyai keinginan untuk mendapatkan keridhaan dan rahmat Allah, apa lagi merindukan-Nya. Sebab orang yang ikhlas dan sangat menginginkan keridhaan dan rahmat Allah subhanahu wata’ala pasti serius dan sungguh-sungguh di dalam melaksana kan perintah-Nya, apalagi kalau keutamaan-keutamaan ibadah itu telah diketahuinya. Ia pasti melakukannya dengan penuh kehati-hatian dan mengikuti seluruh aturan dan etikanya.

Hal-hal di atas juga membuktikan betapa sangat lemahnya kecintaan seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada sunnah dan tuntunannya di dalam melakukan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan dari sisi lain hal-hal di atas menunjukkan tidak adanya i`tikad baik dan keinginan untuk memperbaiki kualitas ibadah, yang menunjukkan bahwa hati orang tersebut sedang bermasalah, berpenyakit dan jauh dari Allah subhanahu wata’ala. Ibnul Qayyim di dalam bukunya Ighâtsat al-Lahfân: (1/72) menjelaskan bahwa di antara tanda-tanda hati seseorang itu selamat (tidak sakit) adalah perhatian kepada perbaikan kualitas amal-amalnya lebih besar dari pada amalnya itu sendiri. Maka ia berupaya keras untuk meluruskan niatnya dan keikhlasan nya, berupaya keras untuk mutâba`ah dan ihsân. Disamping itu ia selalu merasakan betapa besarnya karunia Allah kepada dirinya dan betapa lalainya ia di dalam menunaikan hak-hak Allah subhanahu wata’ala. Wallahu a’lam bish shawab.
(Musthafa Aini. Lc

KEDUDUKAN HADITS QUNUTH SHUBUH

SEMUA HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS-MENERUS ADALAH LEMAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertamar dari Enam Tulisan 1/6

MUQADDIMAH
Masalah qunut Shubuh terus-menerus adalah masalah yang sudah lama dan sudah sering dibicarakan orang, sejak dari zaman tabi’in sampai kini masalah ini masih saja ramai diperbincangkan oleh para ulama, ustadz, kyai dan orang-orang awam.

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa qunut Shubuh itu sunnah, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu bagian dari shalat, apabila tidak diker-jakan, maka shalatnya tidak sempurna, bahkan mereka katakan harus sujud sahwi.

Ada pula yang berpendapat bahwa qunut Shubuh itu tidak boleh dikerjakan, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa qunut Shubuh itu bid’ah. Masalah-masalah ini selalu dimuat di kitab-kitab fiqih dari sejak dahulu sampai hari ini.

Oleh karena itu, saya tertarik untuk membawakan hadits-hadits yang dijadikan dasar pegangan bagi mereka yang berpendapat qunut Shubuh itu sunnah atau bagian dari shalat, setelah saya bawakan pendapat para ulama-ulama yang melemahkannya dan keterangan dari para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim jami’an tentang masalah ini.

Sebelumnya, saya terangkan terlebih dahulu beberapa kaidah yang telah disepakati oleh para ulama:

[1]. Masalah ibadah, hak tasyri’ adalah hak Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2]. Pokok dasar dalam pelaksanaan syari’at Islam adalah al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah, menurut pemahaman para Shahabat radhi-yallahu ‘anhum.
[3]. Hadits-hadits dha’if tidak boleh dipakai untuk masalah ibadah atau untuk fadhaa-ilul a’maal, dan ini meru-pakan pendapat yang terkuat dari para ulama.
[4]. Pendapat para ulama dan Imam Madzhab hanyalah sekedar penguat dari nash-nash yang sudah sah, dan bukannya menjadi pokok.
[5]. Banyaknya manusia yang melakukan suatu amalan bukanlah sebagai ukuran kebenaran, maksudnya: Jangan menjadikan banyaknya orang sebagai standar kebenaran, karena ukuran kebenaran adalah al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah.

Di dalam al-Qur-an Allah berfirman:

“Artinya : Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah ber-dusta (terhadap Allah).” [Al-An’aam: 116]

“Artinya : Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[Ar-Ruum: 30]


HADITS-HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH DAN PENJELASANNYA

HADITS PERTAMA
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Senantiasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut pada shalat Shubuh sehingga beliau berpisah dari dunia (wafat).”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh: Imam Ahmad[1], ‘Abdurrazzaq[2], Ibnu Abi Syaibah[3], secara ringkas, ath-Thahawi[4], ad-Daruquthni[5], al-Hakim, dalam kitab al-Arba’iin, al-Baihaqi[6], al-Baghawi[7], Ibnul Jauzi[8].

Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari jalan Abu Ja’far ar-Razi (yang telah menerima hadits ini) dari Rubaiyyi’ bin Anas, ia berkata: ‘Aku pernah duduk di sisi Anas bin Malik, lalu ada (seseorang) yang bertanya: ‘Apakah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah qunut selama sebulan?’ Kemudian Anas bin Malik menjawab: ”...(Seperti lafazh hadits di atas).”

Keterangan:
Walaupun sebagian ulama ada yang meng-hasan-kan hadits di atas. Akan tetapi yang benar adalah bahwa hadits ini derajatnya dha’if (lemah), hadits ini telah dilemahkan oleh ulama para Ahli Hadits:

Imam Ibnu Turkamani yang memberikan ta’liq (ko-mentar) atas Sunan Baihaqi membantah pernyataan al-Baihaqi yang mengatakan hadits itu shahih. Ia berkata: “Bagaimana mungkin sanadnya shahih? Sedang perawi yang meriwayatkan dari Rubaiyyi’, yaitu ABU JA’FAR ‘ISA BIN MAHAN AR-RAZI masih dalam pembicaraan (para Ahli Hadits):

[1]. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam an-Nasa-i ber-kata: ‘Ia bukan orang yang kuat riwayatnya.’

[2]. Imam Abu Zur’ah berkata: ‘Ia banyak salah.’

[3]. Imam al-Fallas berkata: ‘Ia buruk hafalannya.’

[4]. Imam Ibnu Hibban menyatakan bahwa ia sering mem-bawakan hadits-hadits munkar dari orang-orang yang masyhur.”

[Lihat Sunan al-Baihaqi (I/202) dan periksa Mizaanul I’tidal III/319.] [9]

[5]. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Abu Ja’far ini telah dilemahkan oleh Imam Ahmad dan imam-imam yang lain… Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku, ‘Sanad hadits ini (hadits qunut Shubuh) sama dengan sanad hadits (yang ada dalam Mustadrak al-Hakim (II/ 323-324): Tentang ma-salah Ruh yang diambil perjanjian dalam surat 7 ayat 172, (yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala):

“Artinya : Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan (keturunan anak-anak Adam) dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Allah).’”[Al-A’raaf: 172]

(Yakni) hadits Ubay bin Ka’ab yang panjang yang di-sebutkan di dalamnya: Dan ruh Isa ‘alaihis salam termasuk dari (kumpulan) ruh-ruh yang diambil kesaksiannya pada zaman Adam, maka (Dia) kirimkan ruh tersebut kepada Maryam ‘alaihas salam ketika ia pergi ke arah Timur, maka Allah kirimkan dengan rupa seorang laki-laki yang tampan, maka dia pun hamil dengan orang yang mengajarkan bi-cara, maka masuklah (ruh tersebut) ke dalam mulutnya. Jadi, yang dimaksud adalah Isa dan yang mengajak bicara ibunya adalah ‘Isa, bukan Malaikat, padahal menurut ayat yang mengajak bicara adalah Malaikat, dalam surat Mar-yam ayat 19, Allah berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” [Maryam: 19]

Yang mengajak bicara bukan ‘Isa, sebab hal ini mus-tahil dan hal ini merupakan kesalahan yang jelas.
[Periksa: Zaadul Ma’aad (I/276), tahqiq: Syaikh Syu’aib al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H]

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim berkata: “Maksud dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ialah: Bahwa Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan ar-Razi adalah orang yang sering memba-wakan hadits-hadits munkar. Yang tidak ada seorang pun dari Ahli Hadits yang berhujjah dengannya ketika dia menyendiri (dalam periwayatannya).”

Saya katakan: “Dan di antara hadits-hadits itu ialah hadits qunut Shubuh terus-menerus.”

[6]. Al-Hafizh Ibnu Katsir ad-Damsyqiy asy-Syafi’i dalam kitab tafsirnya juga menyatakan bahwa riwayat Abu Ja’far ar-Razi itu mungkar.

[7]. Al-Hafizh az-Zaila’i dalam kitabnya Nashbur Raayah (II/132) sesudah membawakan hadits Anas di atas, ia berkata: “Hadits ini telah dilemahkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitabnya at-Tahqiq dan al-‘Ilalul Muta-nahiyah, ia berkata: Hadits ini tidak sah, karena se-sungguhnya Abu Ja’far ar-Razi, namanya adalah Isa bin Mahan, dinyatakan oleh Ibnul Madini: ‘Ia sering keliru.’”

[8]. Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah, seorang Ahli Hadits zaman ini berkata: “Hadits Anas munkar.” [10]

Kemudian al-Hafizh al-Baihaqi telah membawakan beberapa syawahid (penguat) bagi hadits Anas, sebagai-mana yang dikatakan oleh al-Hafizh al-Baihaqi sendiri dalam kitab Sunanul Kubra dan Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab. Dan riwayat-riwayatnya adalah sebagai berikut:

HADITS KEDUA
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut, begitu juga Abu bakar, Umar, Utsman sampai meninggal dunia.

Hadits ini telah diriwayatkan oleh: ad-Daruquthni[11], dan al-Baihaqi[12], kemudian ia berkata: “Kami tidak dapat berhujjah dengan Isma’il al-Makki dan ‘Amr bin Ubaid.”

Keduanya telah meriwayatkan hadits yang kedua ini dari jalan Isma’il bin Muslim al-Makki dan Ibnu Ubaid (yang keduanya telah terima hadits ini ) dari al-Hasan al-Bashri (yang telah terima hadits ini) dari Anas (bin Malik).

PENJELASAN PARA AHLIS HADITS TENTANG PARA PERAWI HADITS KEDUA DIATAS

[1]. Isma’il bin Muslim al-Makki, ia adalah seorang yang lemah haditsnya, berikut ini keterangan para ulama jarh wat ta’dil tentangnya:

a. Abu Zur’ah berkata: “Ia adalah seorang perawi yang lemah.”
b. Imam Ahmad dan yang lainnya berkata: “Ia adalah seorang munkarul hadits.”
c. Imam an-Nasa-i dan yang lainnya berkata: “Ia se-orang perawi yang matruk (seorang perawi yang ditinggalkan atau tidak dipakai, karena tertuduh dusta).”
d. Imam Ibnul Madini berkata: “Tidak boleh ditulis haditsnya ...".
[Periksa Mizanul I'tidal I/248 no. 945, Taqribut Tahdzib I/99 no. 485]

[2]. Amr bin Ubaid bin Bab (Abu ‘Utsman al-Bashri), adalah seorang Mu’tazilah yang selalu mengajak manusia untuk berbuat bid’ah.

1. Imam Ibnu Ma’in berkata, “Tidak boleh ditulis haditsnya.”
2. Imam an-Nasa-i berkata: “Ia matrukul hadits.”

[Periksa Miaznul I'tidal III/273 no. 6404, Taqribut Tahdzib I/740 no. 5087]

[3]. Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri, namanya yang sudah masyhur adalah Hasan al-Bashri.

1. Al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ia adalah seorang Tabi’in dan seorang yang mempunyai keutamaan, akan tetapi ia banyak me-mursal-kan hadits dan sering melakukan tadlis. Dan dalam hadits di atas, ia memakai sighat ‘an.”

[Periksa Mizaanul I’tidal (I/527), Tahdziibut Tahdzib (II/ 231), Taqriibut Tahdziib (I/202 no. 1231), cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah]

Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hadits yang kedua di atas itu derajatnya dha’ifun jiddan (sangat lemah).

Sehingga hadits tersebut tidak dapat dijadikan penguat (syahid) bagi hadits Anas yang pertama di atas. Dan seka-ligus tidak dapat juga untuk dijadikan sebagai hujjah.

Seandainya saja sanad hadits itu sah sampai kepada Hasan al-Bashri, itupun belum bisa dipakai hadits terse-but, apalagi telah meriwayatkan darinya dua orang perawi yang matruk!?

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Dalam kitab al-Musnad (III/162).
[2]. Dalam kitab al-Mushannaf (III/110).
[3]. Dalam kitab al-Mushannaf (II/312).
[4]. Dalam kitab Syarah Ma’anil Atsar (I/244).
[5]. Dalam kitab as-Sunan (II/39).
[6]. Dalam kitab Sunanul Kubra (II/201).
[7]. Dalam kitab Syarhus Sunnah (III/124).
[8]. Dalam kitab al-‘Ilalul Mutanahiyah (I/441) no.753, dengan lafazh se-bagai berikut: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut pada shalat Shubuh sampai beliau wafat.”
[9]. Lihat juga kitab Tarikh Baghdad XI/146, Tahdzibut Tahdzib XII/57.
[10]. Lihat kitab Silsilah Ahaadits adh-Dha’iifah no. 1238.
[11]. Dalam kitab as-Sunan: II/166-167 no. XIV/1679 cet. Darul Ma’rifah.
[12]. Dalam kitab Sunanul Kubra: II/201

=========================================================================

Sabtu, 16 April 2005 07:53:25 WIB

SEMUA HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS-MENERUS ADALAH LEMAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Kedua dari Enam Tulisan 2/6





HADITS KETIGA
“Artinya : Aku pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau qunut di belakang ‘Umar dan di belakang ‘Utsman, mereka semuanya qunut.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi. [1]

Imam Ibnu Turkamani berkata tentang hadits ini: “Kita harus lihat kepada seorang perawi Khulaid bin Da’laj, apakah ia bisa dipakai sebagai penguat hadits atau tidak?’

Karena Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Ma’in dan Daraquthni melemahkannya. Pernah sekali Ibnu Ma’in berkata: ‘Ia tidak ada apa-apanya (ia tidak bisa dipakai hujjah).’

Imam an-Nasa-i berkata: ‘Ia bukan orang yang bisa dipercaya. Dan di dalam Mizaanul I’tidal (I/663) disebut-kan bahwa Imam ad-Daraquthni memasukkannya dalam kelompok para perawi yang matruk.’”

Ada sesuatu hal yang aneh dalam membawakan ini yaitu mengapa riwayat Khulaid dijadikan penguat pada-hal di situ tidak ada sebutan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut terus-menerus pada shalat Shubuh. Dalam riwayat itu hanya disebut qunut. Kalau soal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut banyak haditsnya yang shahih, akan tetapi yang jadi persoalan adalah “Ada tidak hadits yang shahih yang menerangkan beliau terus-me-nerus qunut Shubuh?”[2]

HADITS KEEMPAT
Hadits lain yang dikatakan sebagai ‘syahid’ (penguat) ialah hadits:

“Artinya : Senantiasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut pada shalat Shubuh hingga beliau wafat.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam Kitaab al-Qunut.

Al-Hafizh Abul Faraj Ibnul Jauzi telah mencela al-Khathib (al-Baghdadi), mengapa ia memasukkan hadits ini di dalam kitabnya al-Qunut padahal di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Dinar bin ‘Abdillah.

Ibnu Hibban berkata: “Dinar bin ‘Abdillah banyak meriwayatkan Atsar yang maudhu’ (palsu) dengan meng-atasnamakan Anas, maka sudah sewajarnya hadits yang ia riwayatkan tidak halal untuk disebutkan (dimuat) di dalam berbagai kitab, kecuali bila ingin menerangkan cacatnya.”

Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia (Dinar) dha’if dzahib (sangat lemah).”
[Periksa: Mizaanul I’tidal (II/30-31).]

Dari sini dapatlah kita ketahui bersama bahwa perka-taan Imam an-Nawawi bahwa hadits Anas mempunyai penguat dari beberapa jalan yang shahih (?) yang diriwa-yatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni, ada-lah perkataan yang tidak benar dan sangat keliru sekali, karena semua jalan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi ada cacat dan celanya, sebagaimana yang sudah diterang-kan di atas. Kelemahan hadits-hadits di atas bukanlah kelemahan yang ringan yang dengannya, hadits Anas bisa terangkat menjadi hasan lighairihi, tidaklah demikian. Akan tetapi kelemahan hadits-hadits di atas adalah ke-lemahan yang sangat menyangkut masalah ‘adalatur rawi (keadilan seorang perawi).

Jadi, kesimpulannya hadist-hadits di atas sangat lemah dan tidak boleh dipakai sebagai hujjah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “Hadits-hadits Anas terjadi kegoncangan dan perselisihan, maka yang seperti ini tidak boleh dijadikan hujjah. (Yakni hadits Abu Ja’far tidak boleh dijadikan hujjah -pen.).
[Lihat Talkhisul Habir ma’asy Syarhil Muhadzdzab (III/418).]

Bila dilihat dari segi matan-nya (isi hadits), maka matan hadits (kedua dan keempat) bertentangan dengan matan hadits-hadits Anas yang lain dan bertentangan pula dengan hadits-hadits shahih yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut pada waktu ada nazilah (musibah).

HADITS KELIMA
Riwayat dari Anas yang membantah adanya qunut Shubuh terus-menerus:

"Artinya : Ashim bin Sulaiman berkata kepada Anas, “Sesungguh-nya orang-orang menyangka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa qunut dalam shalat Shubuh.” Jawab Anas bin Malik: “Mereka dusta! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut satu bulan mendo’akan kecelakaan atas satu qabilah dari qabilah-qabilah bangsa ‘Arab.”
[Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Khathib al-Bagh-dadi sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Allamah Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’aad (I/278)]

Derajat Hadits.
Derajat hadits ini tidak sampai kepada shahih, karena dalam sanadnya ada Qais bin Rabi’, ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya mengatakan ia tsiqah. Qais ini lebih tsiqah dari Abu Ja’far semestinya orang lebih con-dong memakai riwayat Qais ketimbang riwayat Abu Ja’far, dan lagi pula riwayat Qais ada penguatnya dari hadits-hadits yang sah dari Anas sendiri dan dari para Shahabat yang lainnya.

HADITS KEENAM
Dari Anas bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut melainkan apabila beliau mendo’a-kan kecelakaan bagi kaum (kafir).
[Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuza-imah dalam kitab Shahih-nya no. 620]

QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS ADALAH BID'AH!!!

Qunut Shubuh yang dilakukan oleh ummat Islam di Indonesia dan di tempat lain secara terus-menerus adalah ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabatnya dan tidak juga dilakukan oleh para tabi’in. Para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -mudah-mudahan Allah meridhai mereka-, mereka adalah orang-orang yang selalu shalat berjama’ah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menceritakan apa yang mereka lihat dari tata cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lima waktu dan lainnya. Mereka jelas-jelas mengatakan bahwa qunut Shubuh terus-menerus tidak ada Sunnahnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di antara mereka ada yang berkata : Qunut Shubuh adalah bid’ah, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat yang akan saya paparkan di bawah ini:

HADITS KETUJUH
Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di bela-kang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan di belakang ‘Ali di daerah Qufah sini kira-kira selama lima tahun, apakah qunut Shubuh terus-menerus?” Ia jawab: “Wahai anakku qunut Shubuh itu bid’ah!!
[Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi (no. 402), Ahmad (III/472, VI/394), Ibnu Majah (no. 1241), an-Nasa-i (II/204), ath-Thahawi (I/146), ath-Thayalisi (no. 1328) dan Baihaqi (II/213), dan ini adalah lafazh hadits Imam Ibnu Majah, dan Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Lihat pula kitab Shahih Sunan an-Nasa-i (I/233 no. 1035) dan Irwaa-ul Ghalil (II/182) keduanya karya Imam al-Albany.] [4]

Bid’ah yang dimaksud oleh Thariq bin Asyyam al-Asyja’i ini adalah bid’ah menurut syari’at, yaitu: Mengadakan suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan maksud bertaqarrub kepada Allah. Dan semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tiap-tiap kesesatan tempatnya di Neraka.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam an-Nasa-i dalam kitab Sunan-nya (III/188-189) dan al-Baihaqi dalam kitab al-Asma’ wash Shifat, lihat juga kitab Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346), karya Imam al-Albany.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Di dalam kitab Sunanul Kubra II/202
[2]. Lihat di dalam kitab Sunanul Kubra II/201-202
[3]. Nama lengkap beliau adalah : Ahmad bin Ali bin Muhammad Al-Kannani Al-Asqalani Abul Fadhl, dan beliau terkenal sebagai ulama dari kalangan madzhab Imam As-Syafi'i, lihat biografi lengkapnya di kitab Al-Jawaahir wad Durar Fii Tarjamati Syaikhil Islam Ibni Hajar oleh Syaikh As-Syakhawi dan kitab-kitab yang lainnya.
[4]. Lihat juga di kitab Bulughul Maram no. 289, karya Al-Hafidzh

========================================================================

SEMUA HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS-MENERUS ADALAH LEMAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Ketiga dari Enam Tulisan 3/6

HADITS KEDELAPAN
Dari Abi Mijlaz, ia berkata: “Aku pernah shalat Shubuh bersama Ibnu ‘Umar, tetapi ia tidak qunut.” Lalu aku ber-tanya kepadanya: ‘Aku tidak lihat engkau qunut Shubuh?’ Ia jawab: ‘Aku tidak dapati seorang Shahabat pun yang melakukan hal itu.’”

Atsar ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab Sunanul Kubra (II/213) dengan sanad yang hasan, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikh Syuaib al-Arnauth dalam tahqiq beliau atas kitab Zaadul Ma’ad (I/272).

Ibnu ‘Umar seorang Shahabat yang zuhud dan wara’ yang selalu menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau (Ibnu ‘Umar) mengatakan: “Tidak satu Shahabat yang melakukan qunut Shubuh terus-menerus. Para Shahabat yang sudah jelas mendapat pujian dari Allah tidak melakukan qunut Shubuh,…”

Namun mengapa ummat Islam yang datang sesudah para Shahabat malah berani melakukan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Seorang Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Thariq bin Asyyam bin Mas’ud al-Asyja’i ayahanda Abu Malik Sa’d al-Asyja’i dengan tegas dan tandas mengatakan: “Qunut Shubuh adalah bid’ah!”

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS

[1]. Imam Ibnul Mubarak berpendapat tidak ada qunut di shalat Shubuh.

[2]. Imam Abu Hanifah berkata: “Qunut Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.” [Lihat Subulus Salam (I/378).]

[3]. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi’i (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: “Mengapa demikian?” Beliau menjawab: “Tidak ada satu pun hadits yang shah tentang masalah qunut Shubuh!!” [Lihat Silsilatul Ahaadits adh-Dha’iifah wal Maudhu’ah (II/388).]

[4]. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qunut Shubuh terus-menerus. Jumhur ulama berkata: “Tidaklah qunut Shubuh ini dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak ada satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan demikian.” [Lihat Zaadul Ma’aad (I/271 & 283), tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth]

[5]. Syaikh Sayyid Sabiq berkata: “Qunut Shubuh tidak disyari’atkan kecuali bila ada nazilah (musibah) itu pun dilakukan di lima waktu shalat, dan bukan hanya di waktu shalat Shubuh. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq, mereka semua tidak melakukan qunut Shubuh.” [Lihat Fiqhus Sunnah (I/167-168)]

PENJELASAN TENTANG PENDAPAT MEREKA YANG MENYUNNAHKANNYA

Sebagian orang ada yang mengatakan: “Madzhab kami berpendapat sunnah berqunut pada shalat Shubuh, baik ada nazilah ataupun tidak ada nazilah.”

Apabila kita perhatikan, maka kita dapat mengetahui bahwa yang melatarbelakangi pendapat mereka adalah ‘anggapan’ mereka tentang ke-shahih-an hadits tentang qunut Shubuh secara terus-menerus.
Akan tetapi setelah pemeriksaan, kita mengetahui bahwa semua hadits tersebut ternyata dha’if (lemah) semuanya.

Kemungkinan besar, mereka belum mengetahui tentang kelemahan hadits-hadits tersebut. Karena ma-nusia tetaplah manusia, siapapun dia, dan sifat manusia itu bisa benar dan bisa juga salah. Dan Imam asy-Syafi’i sangat memahami hal ini, sehingga beliau berkata:

"Apabila kamu mendapati dalam kitabku pendapat-pen-dapatku yang menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka peganglah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku. Dalam riwayat lain beliau berkata: Ikutilah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jangan kamu menoleh kepada pendapat siapapun.”

Diriwayatkan oleh Imam al-Harawi, al-Khathib al-Baghdadi, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab [1]. Lihat kitab Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Imam al-Albany..

"Setiap masalah yang sudah sah haditsnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut para ulama-ulama hadits, akan tetapi pendapatku menyelisihi hadits yang shahih, maka aku akan rujuk dari pendapatku, dan aku akan ikut hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih baik ketika aku masih hidup, maupun setelah aku wafat.”[Diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashba-hani dan al-Harwi, lihat di kitab Sifat Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam al-Albany]

“Setiap pendapatku yang menyalahi hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang wajib diikuti, dan janganlah kamu taqlid kepadaku.” [Diriwayatkan oleh: Imam Ibnu Abi Hatim, al-Hafizh Abu Nu’aim dan al-Hafizh Ibnu ‘Asakir. Lihat kitab Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Imam al-Albani.]

QUNUT NAZILAH

Qunut Nazilah adalah do’a qunut ketika musibah atau kesulitan menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Qunut Nazilah, yaitu mendo’akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muk-minin dan mendo’akan kecelakaan atau kekalahan, ke-hancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musy-rikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin. Qunut Nazilah ini hukumnya sunnat, dilakukan sesudah ruku’ di raka’at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini dilakukan oleh Imam atau Ulil Amri.

Imam at-Tirmidzi berkata: “Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaq bin Rahawaih telah berkata: “Tidak ada qunut dalam shalat Fajar (Shubuh) kecuali bila terjadi Nazilah (musibah) yang menimpa kaum Muslimin. Maka, apabila telah ter-jadi sesuatu, hendaklah Imam (yakni Imam kaum Mus-limin atau Ulil Amri) mendo’akan kemenangan bagi ten-tara-tentara kaum Muslimin.” [2]

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mela-kukan qunut satu bulan berturut-turut pada shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, ‘Isya dan Shubuh di akhir setiap shalat, yakni apabila beliau telah membaca “Sami’allaahu liman hamidah” dari raka’at terakhir, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan atas mereka, satu kabilah dari Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah sedangkan orang-orang yang di belakang beliau mengaminkannya. [3]

Hadits-hadits tentang qunut Nazilah banyak sekali, dilakukan pada shalat lima waktu sesudah ruku’ di raka’at yang terakhir.

Imam an-Nawawi memberikan bab di dalam Syarah Muslim dari Kitabul Masaajid, bab 54: Istihbaabul Qunut fii Jami’ish Shalawat idzaa Nazalat bil Muslimin Nazilah (bab Disunnahkan Qunut pada Semua Shalat (yang Lima Waktu) apabila ada musibah yang menimpa kaum Muslimin) [4]


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Majmu’ Syarahil Muhadzdzab I/63.
[2]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah at-Tirmidzi II/434.
[3]. Abu Dawud no.1443, al-Hakim I/225 dan al-Baihaqi II/200 & 212, lihat Irwaa-ul ghaliil II/163.
[4]. Lihat juga masalah ini dalam Zaadul Ma’aad I/272-273, Nailul Authar II/374-375 –muhaqqaq.

SEMUA HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS-MENERUS ADALAH LEMAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Keempat dari Enam Tulisan 4/6


HADITS-HADITS SHAHIH TENTANG QUNUT NAZILAH

HADITS PERTAMA
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut selama satu bulan secara terus-menerus pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh di akhir setiap shalat, (yaitu) apabila ia mengucap Sami’Allahu liman hamidah di raka’at yang akhir, beliau mendo’akan kebinasaan atas kabilah Ri’lin, Dzakwan dan ‘Ushayyah yang ada pada perkampungan Bani Sulaim, dan orang-orang di belakang beliau mengucapkan amin.

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Dawud[1], Ibnul Jarud[2], Ahmad[3], al-Hakim dan al-Baihaqi[4]. Dan Imam al-Hakim menambahkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus para da’i agar mereka (kabilah-kabilah itu) masuk Islam, tapi malah mereka membunuh para da’i itu. ‘Ikrimah berkata: Inilah pertama kali qunut diadakan. [Lihat Irwaa-ul Ghalil II/163]

HADITS KEDUA
Dari Anas, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut selama satu bulan setelah bangkit dari ruku’, yakni mendo’a kebinasaan untuk satu kabilah dari kabilah-kabilah Arab, kemudian beliau meninggal-kannya (tidak melakukannya lagi).”

Diriwayatkan oleh Ahmad[5], Bukhari[6], Muslim[7], an-Nasaa-i[8], ath-Thahawi[9].

Dalam hadits Ibnu Abbas dan hadits Anas dan beberapa hadits yang lainnya menunjukkan bahwa pertama kali qunut dilakukan ialah ketika Bani Sulaim yang terdiri dari Kabilah Ri’lin, Hayyan, Dzakwan dan ‘Ushayyah meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mau mengajarkan mereka tentang Islam.

Maka, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kepada mereka tujuh puluh orang qurra’ (para penghafal al-Qur'an), sesampainya mereka di sumur Ma’unah, mereka (para qurra’) itu dibunuh semuanya. Pada saat itu, tidak ada kesedihan yang lebih menyedihkan yang menimpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain kejadian itu. Maka kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama satu bulan, yang kemudian beliau tinggalkan.

Di antaranya adalah hadits Ibnu ‘Umar dan Abu Hu-rairah di bawah ini:

Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ di raka’at yang terakhir ketika shalat Shubuh, ia membaca: “Allahummal ‘an fulanan wa fulanan wa fulanan (Ya Allah laknatlah si fulan dan si fulan dan si fulan) sesudah ia membaca Sami’allaahu liman hamidahu. Kemudian Allah menurunkan ayat (yang artinya): ‘Sama sekali soal (mereka) itu bukan menjadi urusanmu, apakah Allah akan menyiksa mereka atau akan mengampuni mereka. Maka sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang zhalim.’” [Ali ‘Imraan: 128]

Hadits shahih riwayat Ahmad (II/147)

Dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila hendak mendo’akan kecelakaan atas seseorang atau mendo’akan kebaikan untuk seseorang, beliau mengerjakan qunut sesudah ruku’, dan kemungkinan apabila ia membaca: Sami’allahu liman hamidah, (lalu) beliau membaca, ‘Allahumma… dan seterusnya (yang artinya: Ya Allah, selamatkanlah Walid bin Walid dan Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang tertindas dari orang-orang Mukmin. Ya Allah, keraskanlah siksa-Mu atas (kaum) Mudhar, Ya Allah, jadikanlah atas mereka musim kemarau seperti musim kemarau (yang terjadi pada zaman) Yusuf.’”

Abu Hurairah berkata, “Nabi keraskan bacaannya itu dan ia membaca dalam akhir shalatnya dalam shalat Shu-buh: Allahummal ‘an fulanan… dan seterusnya (Ya Allah, laknatlah si fulan dan si fulan) yaitu (dua orang) dari dua kabilah bangsa Arab, sehingga Allah menurunkan ayat: ‘Sama sekali urusan mereka itu bukan menjadi urusanmu... (dan seterusnya).’”

Hadits shahih riwayat Ahmad ii/255 dan al-Bukhari No 4560

Di dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya no. 1004 disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib.

Lafazhnya adalah sebagai berikut:

Dari Anas, ia berkata, “Qunut itu ada dalam shalat Maghrib dan Shubuh.”

Dan dalam hadits yang shahih pula disebutkan bahwa Abu Hurairah pernah qunut pada shalat Zhuhur dan ‘Isya sesudah mengucapkan Sami’allahu liman hamidahu (setelah bangkit dari ruku’ (di saat sedang i’tidal).), ia berdo’a untuk kebaikan/kemenangan kaum Mukminin dan melaknat orang-orang kafir. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Shalatku ini menyerupai shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Lafazh haditsnya secara lengkap adalah sebagai berikut:

Dan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sungguh aku akan mendekatkan kamu dengan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, Abu Hurairah kemudian qunut dalam raka’at yang akhir dari shalat Zuhur, ‘Isya dan shalat Shubuh, sesudah ia membaca: ‘Sami’allahu liman hamidah.’ Lalu ia mendo’akan kebaikan untuk orang-orang Mukmin dan melaknat orang-orang kafir.”

Hadits shahih riwayat Ahmad (II/255), al-Bukhari (no. 797) dan Muslim (no.676 (296), ad-Daraquthni (II/37 atau II/165) cet. Darul Ma’rifah.

Memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut pada shalat Shubuh, begitu juga Abu Hurairah, akan tetapi ingat, bahwa hal itu bukan semata-mata dilakukan pada shalat Shubuh saja! Sebab apabila dibatasi pada shalat Shubuh saja, maka hal ini akan berten-tangan dengan riwayat yang sangat banyak sekali yang menyebutkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada lima waktu shalat yang wajib. Menurut hadits yang keenam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak qunut melainkan apabila beliau hendak mendo’akan kebaikan atau mendo’akan kebinasaan atas suatu kaum. Maka apabila beliau qunut itu menunjukkan ada musibah yang menimpa ummat Islam dan dilakukan selama satu bulan[10]


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Dalam kitab al-Musnad (I/301-302).
[2]. Dalam kitab Mustadrak-nya (I/225-226).
[3]. Dalam kitab Sunanul Kubra (II/200 & II/212).
[4]. Dalam kitab al-Musnad III/115, 180, 217, 261 & III/191, 249.
[5]. Di dalam kitab Shahih-nya no. 4089.
[6]. Dalam kitab Shahih-nya no.677 (304), tanpa lafazh “ba’dar ruku’.”
[7]. Dalam kitab Sunan-nya II/203-204.
[8]. Dalam kitab Syarah Ma’anil Atsar (I/245).
[9]. Dan hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dalam Musnad-nya no.1989, Abu Dawud no.1445, sebagaimana juga telah disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram no.287, lihat juga kitab Irwaa-ul Ghalil II/163.
[10]. Sebelum ini telah disebutkan hadits-hadits yang menunjukkan adanya qunut pada shalat Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, dan ‘Isya, adapun yang menerangkan adanya qunut pada shalat Maghrib, adalah hadits Bara’ bin ‘Azib:
Dari Baraa’ bin ‘Azib, “Sesungguhnya Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut dalam shalat Shubuh dan Maghrib.”
Hadits shahih riwayat Ahmad IV/285, Muslim no.678 (306), Abu Dawud no.1441, at-Tirmidzi no.401, an-Nasaa-i II/202, ad-Dara-quthni II/36, al-Baihaqi II/198, ath-Thahawi II/242, Abu Dawud ath-Thayalisi dalam Musnad-nya no.737, lafazh ini milik Muslim.

SEMUA HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS-MENERUS ADALAH LEMAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Kelima dari Enam Tulisan 5/6

MAKNA QUNUT
Kata (Qunut): Secara bahasa memiliki banyak makna,[1] di antaranya adalah:

[1]. Berdiri lama, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : Seutama-utama shalat yaitu yang lama berdirinya" [HSR. Ahmad (III/302, 391), Muslim (no. 756), at-Tirmidzi (no. 387), dari Shahabat Jabir, Ibnu Majah (no. 1421) dan al-Baihaqi (III/8)]

[2]. Diam.[2]

[3].Selalu ta’at, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

"Artinya : Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?...” [Az-Zumar: 9]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Artinya : Dan (ingatlah) Maryam binti ‘Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabb-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang ta'at.” [At-Tahrim: 12]

[4].Tunduk menghinakan diri kepada Allah.

“Artinya : Dan kepunyaan-Nya lah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk.” [Ar- Rum: 26]

[5]. Do’a, sebagaimana yang dikenal saat ini, yaitu do’a qunut.

[6]. Khusyu’.

[7]. Tasbih[3]


MAKNA NAZILAH
Kata (an Nazilah)” artinya: Musibah, bencana, malapetaka.

Jadi, qunut Nazilah yaitu qunut untuk mendo’akan kebaikan (kemenangan) bagi kaum Muslimin dan mendo’akan kecelakaan (kebinasaan) bagi kaum Kafir atau Musyrik yang menjadi musuh Islam.

Qunut Nazilah ini hukumnya sunnat dan adanya di lima waktu shalat wajib; Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, Magh-rib dan Isya’. Tempatnya doa qunut ialah waktu berdiri sesudah ruku’ di raka’at yang akhir. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut sebelum ruku’ maksudnya: Lama berdiri dalam membaca ayat, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Artinya : Seutama-utama shalat yaitu yang lama berdirinya." [Lihat Zaadul Ma’aad (I/235)]


BEBERAPA MASALAH PENTING BERKENAAN DENGAN QUNUT

[1]. Bacaan do’a qunut yang biasa dipakai sebagian kaum Muslimin yang berbunyi:

“Artinya : Ya Allah berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang pernah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berikanlah berkah terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau telah takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan hukum, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Mahasuci Engkau, wahai Rabb kami Yang Mahatinggi.

Sebenarnya lafazh do’a ini adalah lafazh do’a untuk qunut witir, sebagaimana yang telah diriwayatkan dari al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma. [HR. Abu Dawud (no. 1425), at-Tirmidzi (no. 464), Ibnu Majah (no. 1178), an-Nasa-i (III/248), Ahmad (I/199, 200) dan al-Baihaqi (II/209, 497-498)]

Sedang do’a yang ada di dalam kurung menurut ri-wayat al-Baihaqi. Hadits ini diriwayatkan dari Shahabat Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir…” [Lihat Shahiih at-Tirmidzi (I/144), Shahih Ibni Majah (I/194), Irwaa-ul Ghalil, oleh Syaikh al-Albani (II/172) dan Shahiih Kitaab al-Adzkaar (I/176-177, no. 155/125). Hadits shahih. Lihat kepada kitab saya yang berjudul: “Do’a dan Wirid Mengobati Guna-guna dan Sihir Menu-rut al-Qur’an dan as-Sunnah” hal. 193-194, cet. IV]

Do’a qunut Witir dilakukan sebelum ruku’ pada raka’at terakhir dari shalat Witir, dengan dasar hadits Ubay bin Ka’ab: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut dalam shalat witir sebelum ruku’.[4]

Hukum qunut Witir ini adalah sunnah, disyari’atkan melakukan qunut Witir sepanjang tahun sebelum ruku’, sebagaimana hadits Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma, dan riwayat ini shahih dari ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum, bahkan diriwayatkan dari Jumhur Shahabat, sebagaimana yang diri-wayatkan dari Ibrahim, dari ‘Alqamah: “Sesungguhnya Ibnu Mas’ud dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (melakukan) qunut dalam shalat witir sebelum ruku’.” [5]

Dari Ibrahim an Nakha’i, ia berkata: ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tidak pernah qunut Shubuh sepanjang tahun dan ia qunut Witir setiap malam se-belum ruku’. [6]

Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah berkata: “Ini adalah atsar yang kami pegang.”
Ishaq bin Rahawaih memilih qunut (Witir) dilaksana-kan sepanjang tahun. [7]


QUNUT PADA PERTENGAHAN RAMADHAN SAMPAI AKHIR RAMADHAN

Disyari’atkan juga qunut pada pertengahan Ramadhan sampai akhir Ramadhan, berdasarkan riwayat Sahabat dan Tabi’in.

Dari ‘Amr bin Hasan, bahwasanya ‘Umar radhiyallahu anhu menyuruh Ubay radiyallahu ‘anhu mengimami shalat (Tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau menyuruh Ubay radhiyallahu ‘anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan Ramadhan yang dimulai pada malam 16 Ramadhan.[8]

Ma’mar berkata: “Sesungguhnya aku melaksanakan qunut Witir sepanjang tahun, kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan pertengahan (aku tidak qunut), demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, ia menyebutkan dari Qatadah dan lain-lain.[9]

Demikian juga dari Ibnu Sirin.[10]

Syaikh al-Albani berkata: “Boleh juga do’a qunut sesudah ruku’ dan ditambah dengan (do’a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendo’akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan bulan Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang Tarawihnya para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, Abdurrahman bin ‘Abdul Qari berkata: ‘Mereka (para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir) mulai pertengahan Ramadhan

“Artinya : Ya Allah, perangilah orang-orang kafir yang mencegah manusia dari jalan-Mu, yang mendustakan Rasul-Rasul-Mu dan tidak beriman kepada janji-Mu. (Ya Allah) perselisihkanlah, hancurkanlah persatuan mereka, timpakanlah rasa takut dalam hati mereka, timpakanlah kehinaan dan siksa-Mu atas mereka. (Ya Allah) Ilah Yang Haq.”

Kemudian membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendo’akan kebaikan bagi kaum Musli-min, kemudian memohon ampun bagi kaum Mukminin.

Setelah itu membaca:

"Artinya : Ya Allah, hanya kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat dan sujud, kepadamu kami berusaha dan bersegera, kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut siksaan-Mu. Sesungguhnya siksaan-Mu akan menimpa orang-orang yang memusuhi-Mu.”

Kemudian takbir, lalu melakukan sujud.[11]

Atau setelah membaca : "Allahummah diniy fiiman hadayt"

Kemudian membaca:

"Artinya : “Ya Allah, kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat dan sujud, kepada-Mu kami berusaha dan bersegera (melakukan ibadah). Kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut kepada siksaan-Mu. Sesungguh-nya siksaan-Mu akan menimpa pada orang-orang kafir. Ya Allah, kami minta pertolongan dan memohon ampun kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepada–Mu, kami tunduk kepada-Mu dan meninggalkan orang-orang yang kufur kepada-Mu.” [12]

Do’a di akhir shalat witir [13]

"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagai-mana yang Engkau sanjungkan pada Diri-Mu sendiri [14]

"Artinya : Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci. (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat suara dan memanjangkannya pada ucapan yang ketiga.)" [15]

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Muqaddimah Fathul Baari hal.176 dalam pasal-(Þ – ä).
[2]. Dalilnya adalah hadits Zaid bin Arqam:
"Artinya : Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: Ada seseorang di antara kami berbicara dengan orang di sampingnya ketika shalat, maka turunlah (firman Allah Ta’ala): Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. [Al-Baqarah: 238] Beliau memerintahkan kami untuk diam dan dilarang untuk berbicara. [Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 4534, Muslim no.539, at-Tirmidzi 405 & 2986, Abu Dawud no.949, an-Nasaa-i III/18.]
[3]. Semua makna ini telah dikenal dalam bahasa Arab, sebagaimana tertera dalam kitab-kitab kamus Bahasa Arab, seperti Lisanul ‘Arab XI/313-314, Mu’jamul Wasith hal.761 dan yang lainnya
[4]. HR. Abu Dawud no. 1427, Ibnu Majah no. 1182, sanad hadits ini shahih [lihat Irwaa-ul ghaliil I/167 hadits no.426 dan Shahih Sunan Abi Dawud no. 1266]
[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II/302 atau II/202 no. 12), di-katakan oleh al-Hafizh dalam ad-Diraayah: “Sanadnya hasan.” Syaikh al-Albani berkata: “Sanadnya jayyid, menurut syarat Muslim.” (Irwaa-ul ghaliil II/166).
[6]. HR. Ibnu Abi Syaibah II/305-306 atau II/205 cet. Darul Fikr.
[7]. Mukhtashar Qiyamul Lail hal. 125, lihat juga at-Tarjih Fii Masaa-ilith Thaharah Wash Shalah oleh DR.Muhammad bin Umar Bazmul hal. 362-385, cet. Daarul Hijrah th. 1423 H/2003 M.
[8]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II/205 no.10.
[9]. Mushannaf ‘Abdirrazzaq III/120 dengan sanad yang shahih.
[10]. Mushannaf ‘Abdirrazzaq III/120 dengan sanad yang shahih.
[11]. HR. Ibnu Khuzaiimah II/155-156 no.1100 sanadnya shahih.
[12]. HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra’ sanadnya menurut pendapat al-Baihaqi shahih (II/211). Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil II/170 berkata: “Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar radhiyallahu ‘anhu.” Lihat Shahih Kitab al-Adzkar I/179.
[13]. Ali bin Abi Thalib berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mem-baca di akhir witirnya: "Artinya : Yang dimaksud akhir witir bisa dibaca sebelum salam atau sesudah salam.” [Lihat Qiyaamur Ramadhaan hal. 32 oleh syaikh al-Albani]
[14]. HR. Abu Dawud no.1427, at-Tirmidzi no.3566, Ibnu Majah no.1179, an-Nasaa-i III/249 dan Ahmad I/98,118,150. Lihat Shahih at-Tirmidzi III/180, Shahih Ibni Majah I/194, Irwaa-ul ghaliil II/175 dan Shahih Kitab al-Adzkar I/255-256 no.246, 184
[15]. Abu Dawud no.1430, an-Nasaa-i III/245 dan Ahmad V/123, Ibnu Hibban no.677, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah IV/98 no.972 dan Ibnus Sunni no. 706 dan hadits ini shahih. (Lihat Shahih Kitab al-Adzkaar I/255 dan Zaadul Ma’aad I/337.)

SEMUA HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS-MENERUS ADALAH LEMAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terkahir dari Enam Tulisan 6/6

TENTANG MENGANGKAT TANGAN KETIKA MEMBACA DO’A QUNUT

Tentang mengangkat tangan, terdapat dalil berupa hadits-hadits yang sah, baik dalam qunut Nazilah maupun qunut witir, di antara dalilnya adalah:

“Artinya : Dari Tsabit, dari Anas bin Malik tentang peristiwa al-Qurra’ (pembaca al-Qur’an) dan terbunuhnya mereka, bahwasanya ia (Anas) berkata: “Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali shalat Shubuh, beliau mengangkat kedua tangannya mendo’akan kece-lakaan atas mereka, yakni orang-orang yang membunuh mereka.”

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (II/211), dan ia berkata: “Beberapa Shahabat mengangkat tangan mereka ketika Qunut, di samping yang kami riwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Beliau juga berkata : “Riwayat bahwa ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mengangkat tangan ketika Qunut adalah shahih.” [Al-Baihaqy, II/212]

TENTANG MENGUSAP WAJAH SETELAH QUNUT ATAU BERDO’A

Adapun mengusap wajah sesudah qunut atau do’a, maka perinciannya adalah sebagai berikut :

[1]. Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan telapak tangan setelah berdo’a. Semua hadits-haditsnya sangat lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah, jadi tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengusap.

[2]. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengamalkannya merupakan perbuatan bid’ah[1]

[3]. Begitu juga tidak ada satu pun riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga dari para Shahabatnya tentang mengusap muka sesudah qunut nazilah.

[4]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Adapun tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo’a, maka sesungguhnya telah datang hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak jumlahnya. Sedangkan tentang mengusap muka, tidak ada satu pun hadits yang shahih, ada satu dua hadits, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah[2]

[5]. Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam berkata: “Tidaklah (yang melakukan) mengusap muka melainkan orang yang bodoh.” [3]

[6]. Imam An-Nawawy berkata: “Tidak ada sunnahnya mengusap muka.”[4]

[6]. Imam Al-Baihaqi juga menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun dari ulama Salaf yang melakukan pengusapan wajah sesudah do’a qunut dalam shalat. [5]

TENTANG UCAPAN AMIN

Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma para Shahabat mengucapkan amin dalam do’a qunut. [6]

Do’a qunut hendaklah pendek, singkat dan tidak panjang, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

KESIMPULAN

[1]. Hadits-hadits yang menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut Shubuh terus-menerus sampai meninggal dunia semuanya dha’if (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah.

[2]. Kita wajib mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah bersabda.

“Artinya : Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

[3]. Qunut Nazilah disyari’atkan oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dikerjakan di lima waktu shalat yang wajib (Zhuhur, Ashar, Maghrib, ‘Isya dan Shubuh). Dan tempat berdo’anya adalah di raka’at yang akhir sesudah bangkit dari ruku’ dan hukumnya sunnat.

[6]. Hukum qunut Shubuh terus-menerus adalah bid’ah.

[7]. Bacaan do’a qunut yang berbunyi : “Allahumma ihdinii fiiman hadayt ...”
Adalah bacaan untuk do’a qunut Witir dan bukan bacaan do’a qunut Nazilah, sebagaimana yang telah diamalkan oleh kebanyakan kaum Muslimin pada saat ini dan di negeri ini khususnya.

[8]. Mengangkat tangan ketika membaca do’a qunut telah sah sunnahnya.

[9]. Begitu juga membaca amin.

[10]. Mengusap wajah sesudah qunut atau do’a, tidak ada satu pun riwayat yang sah. Maka, perbuatan ini adalah bid’ah. [7]

Wallaahu a’lam bish Shawab.


MARAJI’
[1]. Sunan Abi Dawud.
[2]. Sunan an-Nasaa-i.
[3]. Sunan at-Tirmidzy.
[4]. Sunan Ibni Majah.
[5]. Musnad Imam Ahmad, oleh Imam Ahmad.
[6]. Al-Mushannaf, oleh Imam Abdurrazzaq.
[7]. Al-Mushannaf, oleh Imam Ibnu Abi Syaibah, cet. Daarul Fikr th. 1414 H.
[8]. Syarah Ma’anil Atsar, oleh Imam ath-Thahawi, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1416 H.
[9]. Sunan Daruquthni, oleh Imam ad-Daraquthni, cet. Daarul Ma’rifah, th. 1422 H.
[10]. Sunanul Kubra, oleh Imam al-Baihaqy, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muhammad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H.
[11]. Syarhus Sunnah, oleh Imam al-Baghawi.
[12]. Musnad Abi Dawud ath-Thayalisy, tahqiq: Dr. Muham-mad bin Abdul Muhsin at-Turky, cet. Daar Hajr, th. 1419 H.
[13]. Shahih Ibni Khuzaimah, oleh Imam Ibnu Khuzaimah.
[14]. Kitab al-Muntaqa’, oleh Ibnul Jarud, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1417 H.
[15]. Al-‘Ilalul Mutanahiyah, oleh Ibnul Jauzi, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1403 H.
[16]. Mizanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, cet. Daarul Fikr.
[17]. Tahdziibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[18]. Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq: Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah.
[19]. Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[20]. Silsilatul Ahaaditsidh Dha’ifah Wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[21]. Nashbur Raayah, al-Hafizh az-Zaila’i.
[22]. Al-Kifayah fii ‘Ilmir Riwayah, oleh al-Khathib al-Bagh-dady.
[23]. Taqribut Tahdzib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1413 H.
[24]. Al-Jawaahir Wad Durar Fii Tarjamati Syaikhil Islam Ibni Hajar, oleh Syaikh as-Sakhawi.
[25]. Talkhisul Habir, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[26]. Irwaa-ul Ghaliil, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[27]. Shahih Sunan an-Nasa-i bi Ikhtishaaris Sanad, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah at-Tarbiyyah al-‘Araby lid-Duwalij al-Khalij, th. 1409 H.
[28]. Bulughul Maram, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[29]. Al-Asma’ wash Shifat, oleh Imam al-Baihaqy.
[30]. Subulus Salam, oleh Imam ash-Shan’any.
[31]. Fiqhus Sunnah, oleh Syaikh Sayyid Sabiq.
[32]. Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab, oleh Imam an-Nawawy, cet Daarul Fikr.
[33]. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[34]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah at-Tirmidzi, oleh Imam al-Mubarakfury.
[35]. Nailul Authar, oleh Imam asy-Syaukany.
[36]. Hadyus Sary Muqaddimah Fat-hul Bary, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, cet. Daarul Fikr.
[37]. Lisanul ‘Arab, oleh Ibnu Manzhur.
[38]. Mu’jamul Wasith.
[39]. At-Tarjih fii Masaa-ilith Thaharah wash Shalah, oleh Dr. Muhammad bin Umar Bazmul, cet. Daarul Hijrah th. 1423 H/2003 M.
[40]. Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaditsil Hidayah, oleh al-Hafizh Ibnu Haja al-‘Asqalany.
[41]. Shahih Kitabil Adzkaar wa Dha’iifuhu, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
[42]. Shahih at-Tirmidzy, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[43]. Shahih Ibni Majah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[44]. ‘Amalul Yaumi wal-Lailah, oleh Ibnus Sunny.


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Irwaa-ul Ghaliil II/178-182, Shahih Kitab al-Adzkar wa Dha’ifuhu hal. 960-962.
[2]. Majmu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah XXII/519.
[3]. Irwaa-ul ghaliil II/182, Shahih Kitab al-Adzkar wa Dha’ifuhu hal. 960-962.
[4]. Ibid.
[5]. Sunanul Kubra al-Baihaqi II/212 Lihat juga kitab Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, XXII/519, lihat juga Do’a & Wirid hal. 68-69, cet. IV, oleh penulis.
[6]. Lihat Buku Do’a & Wirid hal. 200-201, cet. IV, oleh penulis.
[7]. Lihat Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriiji Ahaadits Manaaris Sabiil II/178-182, hadits no. 433-434 dan Shahih al-Adzkaar wa Dha’iifuhu hal. 960-962.

======================================================================

SHALAT BAGI ORANG YANG SAKIT
Sabtu, 05 Juni 04

§ Orang sakit wajib mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun dengan membungkuk atau ber-sandar pada dinding atau tongkat.

§ Apabila orang sakit tidak mampu berdiri, maka shalat dengan duduk dan diutamakan duduk bersila di tempat berdiri dan ruku’.

§ Apabila tidak mampu duduk, maka shalat dengan berbaring miring dan dengan menghadap ke kiblat. Apabila tidak bisa menghadap kiblat, maka shalat dengan menghadap kemana saja. Shalatnya dinyata-kan sah dan tidak usah mengulang.

§ Apabila tidak mampu shalat dengan berbaring miring, maka shalat dengan posisi terlentang dan kaki meng-hadap ke arah kiblat. Kalau tidak mampu mengha-dapkan kaki ke kiblat, maka shalat bagaimana saja (sesuai kemampuan) dan tidak harus mengulang.

§ Orang yang sakit wajib ruku’ dan sujud dalam shalat. Apabila tidak mampu, maka berisyarat dengan kepala dan menjadikan sujud lebih menurun dari-pada ruku’. Apabila hanya bisa ruku’ tanpa sujud, maka harus ruku’ dan menggunakan isyarat untuk sujud. Apabila hanya bisa sujud tanpa ruku’, maka harus sujud serta menggunakan isyarat untuk ruku’.

§ Apabila tidak mampu menggunakan isyarat dengan kepala dalam ruku’ dan sujud, maka isyarat dengan mata, memejam sedikit untuk ruku’ dan memejam lebih banyak untuk sujud. Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang dikerjakan selama ini oleh sebagian orang yang sakit, itu tidak benar. Saya tidak tahu dasar Al-Qur’an, sunnah maupun penda-pat ulama.

§ Apabila tidak bisa isyarat dengan kepala atau mata, maka shalatlah dengan hati dan bagi seseorang adalah niatnya.

§ Orang yang sakit wajib shalat pada waktunya serta mengerjakan seluruh kewajiban yang mampu dilaku-kannya. Kalau ada kesulitan dalam mengerjakan setiap shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya, baik jama’ taqdim (memajukan Isya ke Mag-hrib), maupun jama’ ta’khir (mengundurkan Zhuhur ke Ashar dan mengundurkan Maghrib ke Isya) sesuai dengan kemampuan yang ada. Shalat Shubuh tidak boleh dijama’.

§ Dalam keadaan di perjalanan (untuk berobat ke negara lain), orang yang sakit boleh mengqashar shalat yang empat rakaat, yakni mengerjakan shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’ dua rakaat-dua rakaat sampai kepulangannya, baik perjalanannya itu untuk waktu lama maupun singkat.

Hal-hal Yang Mewajibkan Sujud Sahwi di Dalam Shalat
Sabtu, 05 Juni 04

§ Jika ada kelupaan dalam shalat, misalnya menambah ruku, sujud, berdiri atau duduk, maka setelah ia salam hendaknya melakukan sujud sahwi dua kali kemudian salam lagi. Misalnya, jika seseorang mela-kukan shalat Zhuhur, lalu pada waktu rakaat keempat dia lupa tidak mengakhirinya, melainkan berdiri kembali (untuk rakaat yang kelima), lalu dia ingat atau diingatkan, maka ia harus kembali tanpa takbir; duduk dan membaca tahiyat akhir; salam, kemudian sujud dua kali (sujud sahwi), dan salam lagi.

Bila kealpaan menambah rakaat itu diketahui-nya setelah selesai shalat, maka segera lakukan sujud sahwi dan salam.

§ Jika shalat belum sempurna, ia sudah salam (karena lupa), maka setelah ingat atau diingatkan dalam tempo yang singkat, ia wajib menyempurnakan sisa shalatnya, kemudian salam, sujud dua kali (sujud sahwi) dan salam lagi.

Misalnya, apabila seseorang shalat Zhuhur, lalu lupa dan salam pada rakaat yang ketiga, kemudian ingat atau diingatkan, maka dia mengerjakan rakaat yang keempat dan salam, kemudian sujud dua kali dan salam lagi. Jika ingatnya setelah tempo yang lama, maka ia harus mengulangi shalat dari awal.

§ Jika meninggalkan tahiyat awal atau kewajiban shalat lainnya karena lupa, maka dia melakukan sujud sahwi sebelum salam. Jika ingatnya sebelum meninggalkan tempat, maka dia langsung mengerjakannya. Jika kealpaannya itu disadarinya setelah meninggalkan tempat, tetapi belum sampai kepada pekerjaan berikutnya, maka dia harus kembali mengulanginya.

Misalnnya, apabila seseorang lupa bertahiyat awal, dan dia langsung berdiri untuk rakaat yang ketiga yang dilakukannya hingga sempurna berdiri, maka dia tidak harus mengulanginya dan sujud sahwi sebelum salam. Apabila pada waktu duduk untuk tasyahud dia lupa membaca tahiyat kemudian ingat sebelum berdiri, maka dia harus membaca tahiyat dan menyempurnakan shalatnya serta tidak perlu melakukan sujud sahwi. Demikian juga, apabila dia sudah berdiri tetapi belum duduk untuk tahiyat, lalu dia ingat akan kealpaannya itu sebelum sempurna berdiri, maka dia harus kembali duduk, membaca tahiyat dan menyempurnakan shalat. Namun seba-gian ulama berpendapat, harus dilakukan sujud sahwi karena berdiri merupakan tambahan dalam shalat. Wallahu a’lam.

§ Apabila ragu dia ragu apakah sudah dua rakaat atau tiga rakaat mengerjakan shalat, dan dia sama sekali tidak memiliki keyakinan, maka hendaknya dia memilih rakaat yang minimal (dua rakaat), kemu-dian lakukan sujud sahwi sebelum salam.

§ Apabila dia ragu-ragu tatkala shalat Zhuhur, apakah sudah rakaat kedua atau ketiga, tetapi dia memiliki keyakinan kuat pada rakaatnya yang ketiga, maka dia harus bersandar pada yang lebih kuat keya-kinannya itu, dan selanjutnya melakukan sujud sahwi dua kali setelah salam kemudian salam kembali.

Misalnya, apabila seseorang shalat zhuhur, lalu pada rakaat kedua dia benar-benar ragu, apakah rakaat ini yang kedua atau ketiga. Dalam kasus ini dia harus menjadikan rakaat itu sebagai rakaat kedua. Selanjutnya dia menyempurnakan shalat dan melakukan sujud sahwi sebelum salam.

Apabila ragu-ragunya setelah selesai shalat, maka ia tidak boleh menimbang-nimbang keraguannya itu, kecuali apabila dia memang yakin bahwa dia telah lupa. Apabila orang itu memang sering ragu, maka ia tidak boleh menoleh pada keraguannya, karena itu adalah rasa was-was. Wallahu a’lam.

Shalat Bagi Orang Sakit
Sabtu, 05 Juni 04

§ Orang sakit wajib mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun dengan membungkuk atau ber-sandar pada dinding atau tongkat.

§ Apabila orang sakit tidak mampu berdiri, maka shalat dengan duduk dan diutamakan duduk bersila di tempat berdiri dan ruku’.

§ Apabila tidak mampu duduk, maka shalat dengan berbaring miring dan dengan menghadap ke kiblat. Apabila tidak bisa menghadap kiblat, maka shalat dengan menghadap kemana saja. Shalatnya dinyata-kan sah dan tidak usah mengulang.

§ Apabila tidak mampu shalat dengan berbaring miring, maka shalat dengan posisi terlentang dan kaki meng-hadap ke arah kiblat. Kalau tidak mampu mengha-dapkan kaki ke kiblat, maka shalat bagaimana saja (sesuai kemampuan) dan tidak harus mengulang.

§ Orang yang sakit wajib ruku’ dan sujud dalam shalat. Apabila tidak mampu, maka berisyarat dengan kepala dan menjadikan sujud lebih menurun dari-pada ruku’. Apabila hanya bisa ruku’ tanpa sujud, maka harus ruku’ dan menggunakan isyarat untuk sujud. Apabila hanya bisa sujud tanpa ruku’, maka harus sujud serta menggunakan isyarat untuk ruku’.

§ Apabila tidak mampu menggunakan isyarat dengan kepala dalam ruku’ dan sujud, maka isyarat dengan mata, memejam sedikit untuk ruku’ dan memejam lebih banyak untuk sujud. Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang dikerjakan selama ini oleh sebagian orang yang sakit, itu tidak benar. Saya tidak tahu dasar Al-Qur’an, sunnah maupun penda-pat ulama.

§ Apabila tidak bisa isyarat dengan kepala atau mata, maka shalatlah dengan hati dan bagi seseorang adalah niatnya.

§ Orang yang sakit wajib shalat pada waktunya serta mengerjakan seluruh kewajiban yang mampu dilaku-kannya. Kalau ada kesulitan dalam mengerjakan setiap shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya, baik jama’ taqdim (memajukan Isya ke Mag-hrib), maupun jama’ ta’khir (mengundurkan Zhuhur ke Ashar dan mengundurkan Maghrib ke Isya) sesuai dengan kemampuan yang ada. Shalat Shubuh tidak boleh dijama’.

§ Dalam keadaan di perjalanan (untuk berobat ke negara lain), orang yang sakit boleh mengqashar shalat yang empat rakaat, yakni mengerjakan shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’ dua rakaat-dua rakaat sampai kepulangannya, baik perjalanannya itu untuk waktu lama maupun singkat

MENGIRIM KURBAN KE LUAR NEGERI
Penyusun
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

PENGERTIAN MENGIRIM KURBAN KE LUAR NEGERI
Maksudnya adalah seorang mengirimkan sejumlah uang ke suatu negeri langsung atau melalui yayasan sosial atau organisasi atau yang sejenisnya, lalu yayasan itu bekerja sama dengan yayasan atau perorangan di negeri yang dituju untuk membelikan hewan kurban sekaligus menyembelihnya dan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin di negeri yang dituju.

HUKUMNYA[1]
Para ulama berselisih tentang hukum mengirim kurban ini ; sebagian mereka membolehkan sebagiannya tidak membolehkan[2]. Pendapat yang rajah, ialah pendapat yang membolehkan berdalil dengan keabsahan wakalah (perwakilan) dalam kurban sebagaimana dalam hadits-hadits berikut.

[1]. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.

“Artinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk menyedekahi jilal dan kulit unta yang telah aku sembelih” [Diriwayatkan Al-Bukhari No. 1.592]

[2]. Hadits Jabir bin Abdillah, beliau berkata :

“Artinya :Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Idul Adha di mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, Beliau turun dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambiang dan Rasulullah menyembelihnya dengan tanganntya langsung dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar, hadza ‘anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)”, [3]

[3]. Hadits Urwah bin Abi Al-Ja’d Al-Bariqi, beliau berkata.

“Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar untuk membeli seekor kambing, lalu ia membeli untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dua kambing dengan uang tersebut. Maka ia jual seekor dengan harga satu dinar dan membawa satu ekor kambing dan satu dinar kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya dengan barokah : “Dia (urwah ini), seandainya membeli debu tentu akan untung juga” Sufyan berkata : “Membeli seekor kambing untuk Nabi, nampaknya untuk kurban” [4]

[4]. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurus hewan kurbannya dan untuk menyedekahkan daging, kulit dan jilalnya dan sedikitpun tidak mengambil darinya untuk diberikan (sebagai upah) jagalnya (orang yang memotongnya) untuk tidak memberi orang-orang memotongnya (jagalnya) sedikitpun darinya. Rasulullah berkata : “Kami yang memberinya dari harta kami” {Muttafaq ‘Alaih]

Hadits-hadits yang tersebut di atas, semua menunjukkan sahnya wakalah dalam kurban. Dan wakalah diperbolehkan, sekaipun kepada orang yang jauh. Wallahu a’lam.

[5]. Hadits ‘Amrah, beliau berkata :

“Sesungguhnya Ibnu Ziyad menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, orang yang memberikan hadyu diharamkan padanya apa yang diharamkan bagi orang yang haji sampai menyembelih hadyunya, dan saya telah mengirim hadyu saya. Maka saya mohon kepada Anda (Aisyah) untuk menulis untuk saya pendapat Anda tentang hal ini”. Amrah berkata : “Aisyah telah berkata, “Tidak seperti yang disampaikan Ibnu Abbas. Saya telah melepas qalaid hadyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan saya, kemudian Rasulullah menandainya dengan tangannya, kemudian mengirimnya bersama bapakku (Abu Bakr), lalu tidak diharamkan kepada Rasulullah sesuatu yang Allah halalkan baginya sampai disembelih hadyunya” [Hadits Riwayat Muslim]

Sudah dimaklumi, ketika mengirim hadyu tersebut bersama Abu Bakr, saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di Madinah sebagaimana disebutkan dalam sebagian lafazh hadits. Wallahu a’lam.

Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali [5] dan Prof Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar [6]. Namun, pada asalnya kurban itu disembelih oleh orang yang berkurban di daerahnya. Akan tetapi, apabila ada hajat dan manfaat yang lebih besar untuk dikirim –misalnya ke negeri yang sedang mengalami kelaparan atau tertimpa bencana- maka diperbolehkan. Sedangkan amalan sebagian kaum muslimin yang mewajibkan pengumpulan kurban mereka dari jauh ke satu tempat tertentu atau lembaga tertentu dengan meninggalkan daerahnya yang membutuhkan kurban tersebut, maka yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam syariat.

Demikian pembahasan ini, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Kholid Syamhudi Lc]
_________
Foote Note
[1]. Permasalahan ini diangkat dari makalah Abu Bakar Al-Baghdadi, Juz’un Fil Adh-hiyah Wa Hukmi Ikhrajiha ‘An Baladi Al-Mudhahi, Majalah Al-Himah, tanpa edisi, halaman 50-55 dan risalah Prof Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, Cetakan Pertama, Tahun 1413H, Dar Al-Ashimah, Riyadh, halaman 88 dengan sedikit perubahan dan tambahan dari penulis.
[2]. Lihat Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, halaman. 88
[3] Syaikh Al-Albani berkata : “Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud (2810) dan At-Tirmidzi (1/287). “Lihat Irwa Al-Ghalil (4/349), No. 1.138
[4]. Diriwayatkan Al-Buakhri No 3.320
[5]. Wawancara Penulis dengan beliau pada hari selasa 7 Desember 2004M di Institut Teknologi Surabaya (ITS)
[6]. Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, op.cit. halaman. 88

TATA CARA PENYEMBELIHAN HEWAN KURBAN
Oleh
Shidiq Hasan Khan
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

[1]. DISYARIATKAN BAGI SETIAP KELUARGA

Berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshary, ia berkata :

"Artinya : Di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ada seorang berkurban dengan seekor kambing untuknya dan keluarga-nya." [1] [Dikeluarkan Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan di shahihkannya dan dikeluarkan Ibnu Majah semisal hadits Abu Sarihah [2] dengan sanad shahih]

Dan dikeluarkan juga oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa'i dari hadits Mikhna bin Salim, bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Wahai sekalian manusia atas setiap keluarga pada setiap tahun wajib ada sembelihan (udhiyah)" [3]. [Di dalam sanadnya terdapat Abu Ramlah dan namanya adalah 'Amir. Al-Khaththabi berkata : majhul [4].

Jumhur berpendapat bahwa hukum berkurban adalah sunnah, bukan wajib. Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Malik. Dan (beliau) berkata : "Saya tidak menyukai seseorang yang kuat (sanggup) untuk membelinya (binatang kurban) lalu dia meninggalkannya" [5] Dan demikian pula Imam Syafi'i berpendapat.

Adapun Rabi'ah dan Al-Auza'i dan Abu Hanifah dan Al-Laits, dan sebagian pengikut Malikiyah berpendapat bahwa hukumnya wajib terhadap yang mampu. Demikian pula yang diceritakan dari Imam Malik dan An-Nakha'iy.[6].

Orang-orang yang berpendapat akan wajibnya (berkurban) berpegang pada hadits :

"Artinya :Tiap-tiap ahli bait (keluarga) harus ada sembelihan (udhiyah) ".

Yaitu hadits yang terdahulu, dan juga hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah serta di dishahihkan Al-Hakim. Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath-Al-Bari berkata :"Para perawinya tsiqah (terpercaya) namun diperselisihkan marfu' dan mauquf-nya. Tetapi lebih benar (jika dikatakan) mauquf.

Dikatakan Imam Thahawi dan lainnya, [7] berkata : "Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa yang mempunyai keleluasaan (untuk berkurban) lalu dia tidak berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami."
Diantara dalil yang mewajibkan (berkurban) adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah". [8].

Dan perintah menunjukkan wajib. Dikatakan pula bahwa yang dimaksudkan adalah mengkhususkan penyembelihan hanya untuk Rabb, bukan untuk patung-patung [9].

Diantaranya juga adalah hadits Jundub bin Sufyan Al-Bajaly dalam shahihain [10] dan lainnya, berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum dia shalat maka hendaklah dia menyembelih sekali lagi sebagai gantinya. Dan barang siapa yang belum menyembelih hingga kami selesai shalat, maka hendaklah dia menyembelih dengan (menyebut) nama Allah".

Dan disebutkan dari hadits Jabir semisalnya. [11]

Berdasarkan dengan hadits :

"Artinya : Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban untuk orang tidak berkurban dari umatnya dengan seekor gibas" [12].

Sebagaimana terdapat pada hadits Jabir yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dan dikeluarkan semisalnya oleh Ahmad dan At-Thabrani dan Al-Bazzar dari hadits Abu Rafi' dengan sanad yang hasan. Jumhur berpendapat untuk menjadikan hadits ini sebagai qarinah (keterangan) yang memalingkan dalil-dalil yang mewajibkan.

Tidak diragukan lagi bahwa (keduanya) mungkin untuk dijamak (gabung). Yaitu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban untuk orang-orang yang tidak memiliki (tidak mampu menyembelih) sembelihan dari umatnya, sebagaimana dijamaknya hadits :

"Artinya : Orang yang tidak menyembelih dari umatnya".

Dengan hadits.

"Artinya : Atas setiap keluarga ada kurban".

Adapun hadits :

"Artinya : Aku diperintahkan berkurban dan tidak diwajibkan atas kalian". [13]

Dan yang semisal hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena pada sanad-sanadnya ada yang tertuduh berdusta dan ada yang dha'if sekali.

[2]. KURBAN DILAKUKAN PALING SEDIKIT SEEKOR KAMBING

Berdasarkan hadits yang terdahulu. Al-Mahally berkata :"onta dan sapi cukup untuk tujuh orang. Sedangkan seekor kambing mencukupi untuk satu orang. Tapi apabila mempunyai keluarga, maka (dengan seekor kambing itu) mencukupi untuk keseluruhan mereka. Demikian pula dikatakan bagi setiap orang diantara tujuh orang yang ikut serta dalam penyembelihan onta dan sapi. Jadi berkurban hukumnya sunnah kifayah (sudah mencukupi keseluruhan dengan satu kurban) bagi setiap keluarga, dan sunnah 'ain (setiap orang) bagi yang tidak memiliki rumah (keluarga).

Menurut (ulama) Hanafiah, seekor kambing tidak mencukupi melainkan untuk seorang saja. Sedangkan sapi dan onta tidak mencukupi melainkan untuk tiap tujuh orang. Mereka tidak membedakan antara yang berkeluarga dan tidak. Menurut mereka berdasarkan penakwilan hadits itu maka berkurban tidaklah wajib kecuali atas orang-orang yang kaya. Dan tidaklah orang tersebut dianggap kaya menurut keumuman di zaman itu kecuali orang yang memiliki rumah. Dan dinisbatkannya kurban tersebut kepada keluarganya dengan maksud bahwa mereka membantunya dalam berkurban dan mereka memakan dagingnya serta mengambil manfa'atnya.[14]

Dan dibenarkan mengikutsertakan tujuh orang pada satu onta atau sapi, meskipun mereka adalah dari keluarga yang berbeda-beda. Ini merupakan pedapat para ulama. Dan mereka mengqiyaskan kurban tersebut dengan al-hadyu. [15]

Dan tidak ada kurban untuk janin (belum lahir). Ini adalah perkataan ulama. [16]


[Disalin dari Kitab Ar-Raudhatun Nadhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, karangan Abu-At-Thayyib Shidiq Hasan bin Ali Al-Hushaini Al-Qanuji Al-Bukhari oleh Abu Abdirrahman Asykari bin Jamaluddin Al-Bugisy, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 22/II/1417H-1997M]
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan oleh At-Tarmidzi, kitab Al-Adhahi V/8/1541 dalam Tuhfah-Al-Ahwadzi, dan Ibnu Majah, kitab Al-Adhahi bab Orang yang menyembelih seekor kambing untuk keluarganya II/3147. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih AT-Tirmidzi II/1216, dan Shahih Ibnu Majah II/2546.
[2]. Di dalam kitab Ar-Raudhatun Nadiyah tertulis "syariihah" dengan hurup syin. Ini adalah salah, yang benar adalah "Sariihah" dengan hurup siin, seperti yang terdapat pada kitab Sunan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah II/2547 dengan lafadz : Keluargaku membawaku kepada sikap meremehkan setelah aku tahu bahwa itu termasuk sunnah. Ketika itu penghuni rumah menyembelih kurban dengan satu dan dua ekor kambing, dan sekarang tetangga kami menuduh kami bakhil.
[3]. Berkata Al-Jauhary : Berkata Al-Ashmi'iy : Terdapat 4 bahasa dalam penyebutan Udhiyah dan Idhiyah .... dst (Lihat Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi VIII/13, hal. 93 Cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon.
[4]. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani : Tidak dikenal .... (Lihat : Taqrib At-Tahdzib, oleh Ibnu Hajar Al-'Asqalani, No. 3130 hl. 479, pentahqiq : Abul Asybaal Shaghir Ahmad Syaqif Al-Baqistani, penerbit : Daarul 'Ashimah, Al-Mamlakah Al-'Arabiyah As-Su'udiyah).
[5]. Muwatha ' Imam Malik, Juz II, hal. 38, Syarh Muwatha' Tanwir Al-Hawaalik, pen. Daarul Kutub Al-Ilmiyah.
[6]. Lihat perselisihan para ulama dan ahli dalil mereka dalam kitab : Bidayah Al-Mujtahid oleh Ibnu Rasyd I/314 dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu oleh Dr. Wahbad Al-juhaili, Juz III/595-597. cet. Darul fikr.
[7]. Fath Al-Bari, Ibnu Hajar, jilid X, halaman 5, cet. Daar Ar-Rayyan li at Turats. Dan beliau juga berkata dalam Bulughul Maram : Namun para Imam mentarjihnya mauquf. (Bulughul Maram, bab : Adhahiy, No. 1349, bersama Ta'liq Al-Mubarakfuri, cet. Jam'iyah Ihya At-Turats Al-Islami). Namun hadits ini tidak menunjukkan wajib menurut jumhur. Wallahu a'lam.
[8]. Al-Qur'an Surat Al-Kautsar : 2
[9]. Kedua tafsiran ini disyaratkan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, namun Ibnu Katsir merajihkan maknanya menyembelih hewan kurban, wallahu a'laam. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid IV, hal. 559-560 cet. Al-Maktabah At-tijariyah, Makkah)
[10]. Riwayat Bukhari kitab Al-Adhahiy, bab : Man Dzabaha qobla as-shalah a'aada, X/12 No. 5562, dan Muslim kitab Al-Adhahi, bab : Waqtuha : XIII/35 No. 1960, Syarh Nawawi. Dan Lafazh ini adalah Lafzh Muslim.
[11]. Saya belum mendapatkan ada yang semakna dengan hadits tersebut. Diriwayatkan dari Al-Barra' bin 'Azib seperti dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan. Wallahu a'lam.
[12]. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bab : maa jaa'a anna asy-syah al-wahidah tujzi'u'an ahlil bait : V No. 1541 dalan At-Tuhfah dan Abu Dawud bab : Fisy-syaah Yuhadhahhi Biha 'An Jama'ah, No. 2810, dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Abu-Dawud : II/2436, dan Irwa' al-ghalil, IV/1138.
[13]. Dijelaskan oleh Ibnu Hajar Asqalani dalam Fath Al-Bari X/6, dan kitab beliau Al-Khasa-is fi Takhrij Ahadits Ar-Rafi'. dan demikian juga Asy-Syaukani di kitabnya Nailul Authar V/126.
[14]. Lihat kitab Bidayah Al-Mujtahid I/317.
[15]. Al-Hadyu yang disembelih di tanah haram dari hewan ternak, dalam Al-Qur'an. (Lihat Al-Mu'jam Al-Wasith : 978)
[16]. Adapun berkurban bagi anak kecil yang belum baligh, menurut Hanafiah dan Malikiyah : Disukai berkurban dari harta walinya, dan tidak disukai menurut madzhab Syafi'iyah dan Hanabilah. (Al-Fath Al-Islami, oleh Wahbah Al-Jihaili III/604)

======================================================================

TATA CARA PENYEMBELIHAN HEWAN KURBAN (2)

Oleh
Shidiq Hasan Khan
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

[3]. WAKTUNYA SETELAH MELAKSANAKAN SHALAT IEDUL KURBAN

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa menyembelih sebelum shalat hendaklah menyembelih sekali lagi sebagai gantinya, dan siapa yang belum menyembelih hingga kami selesai shalat maka menyembelihlah dengan bismillah".

Terdapat dalam Shahihain [17]

Dan di dalam shahihain dari hadits Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka hendaklah dia mengulangi". [18]

Berkata Ibnul Qayyim :"Dan tidak ada pendapat seseorang dengan adanya (perkataan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang ditanya oleh Abu Burdah bin Niyar tentang seekor kambing yang disembelihnya pada hari Ied, lalu beliau berkata :

"Artinya : Apakah (dilakukan) sebelum shalat ? Dia menjawab : Ya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : Itu adalah kambing daging (yakni bukan kambing kurban) ". [Al-Hadits].

Ibnu Qayyim berkata : "Hadits ini shahih dan jelas menunjukkan bahwa sembelihan sebelum shalat tidak dianggap (kurban), sama saja apakah telah masuk waktunya atau belum. Inilah yang kita jadikan pegangan secara qath'i (pasti) dan tidak diperbolehkan (berpendapat) yang lainnya. Dan pada riwayat tersebut terdapat penjelasan bahwa yang dijadikan patokan (berkurban) adalah shalatnya Imam".

[4]. AKHIR WAKTUNYA ADALAH DI AKHIR HARI-HARI TASYRIQ

Berdasarkan hadits Jubair bin Mut'im dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda :

"Artinya : Pada setiap hari-hari tasyriq ada sembelihan". [20]. [Dikeluarkan Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dalam shahihnya dan Al-Baihaqi. Dan terdapat jalan lain yang menguatkan antara satu dengan riwayat yang lainnya. Dan juga diriwayatkan dari hadits Jabir dan lainnya. Dan ini diriwayatkan segolongan dari shahabat. Dan perselisihan dalam perkara ini adalah ma'ruf].

Di dalam Al-Muwatha' dari Ibnu Umar :

"Artinya : Al-Adha (berkurban) dua hari setelah dari Adha". [21].

Demikian pula dari Ali bin Abi Thalib. Dan ini pendapat Al-Hanafiah dan madzhab Syafi'iyah bahwa akhir waktunya sampai terbenamnya matahari dari akhir hari-hari tasyriq berdasarkan hadits Imam Al-Hakim yang menunjukan hal tersebut.[22]

[5]. SEMBELIHAN YANG TERBAIK ADALAH YANG PALING GEMUK

Berdasarkan hadits Abu Rafi':

"Artinya : Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila berkurban, membeli dua gibas yang gemuk " [23] [Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dengan sanad Hasan].

Dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari hadits Abu Umamah bin Sahl berkata :

"Artinya : Adalah kami menggemukkan hewan kurban di Madinah dan kaum Muslimin menggemukkan (hewan kurbannya)". [24]

Saya katakan, bahwa kurban yang paling afdhal (utama) adalah gibas (domba jantan) yang bertanduk. Sebagaimana yang terdapat pada suatu hadits dari Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi secara marfu' dengan lafadzh:

"Artinya : Sebaik-baik hewan kurban adalah domba jantan yang bertanduk". [25] [Dan juga dikeluarkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari hadits Abu Umamah dan di dalam sanadnya terdapat 'Ufair bin Mi'dan dan dia Dha'if]. [26].

Al-Udhiyah (sembelihan kurban) yang dimaksud bukanlah Al-Hadyu. Dan terdapat pula nash pada riwayat Al-Udhiyah, maka nash wajib didahulukan dari qiyas (mengqiyaskan udhiyah dengan Al-Hadyu), dan hadits : "Domba jantan yang bertanduk". adalah nash diantara perselisihan ini.

Apabila dikhususkan berqurban dengan domba berdasarkan zhahir hadits, dan bila meliputi yang lainnya, maka termasuk yang dikebiri. Tetapi yang utama tidaklah dikhususkan dengan hewan yang dikebiri. Adapun penyembelihan kurban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berupa hewan yang dikebiri tidak menunjukkan lebih afdhal dari yang lainnya, namun yang ditujuk pada riwayat tersebut bahwa berkurban dengan hewan yang dikebiri adalah boleh. [27]

[6]. TIDAK MENCUKUPI KURBAN ADA YANG DIBAWAH AL-JADZ'U [28] [KAMBING YANG BERUMUR KURANG DARI SATU TAHUN].

Berdasarkan hadits Jabir dalam riwayat Muslim dan selainnya berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Janganlah engkau menyembelih melainkan musinnah (kambing yang telah berumur dua tahun) kecuali bila kalian kesulitan maka sembelihlah Jadz'u (kambing yang telah berumur satu tahun)" [29].

Dan dikeluarkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersbada.

"Artinya : Sebaik-baik sembelihan adalah kambing Jadz'u". [30]

Dikeluarkan pula oleh Ahmad dan Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan At-Thabrani dari hadits Ummu Bilal binti Hilal dari bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Boleh berkurban dengan kambing Jadz'u". [31]

Di dalam shahihain dari hadits 'Uqbah bin 'Amir berkata.

"Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membagi-bagi hewan kurban pada para shahabatnya, dan 'Uqbah mendapatlan Jadz'ah. Lalu saya bertanya : Wahai Rasulullah, saya mendapatkan Jadz'u. Lalu beliau menjawab : Berkurbanlah dengannya". [32]

Jumhur berpendapat bahwa boleh berkurban dengan kambing Jadz'u. Dan barang siapa yang beranggapan bahwa kambing tidak memenuhi kecuali untuk satu atau tiga orang saja, atau beranggapan bahwa selainnya lebih utama maka hendaklah membawakan dalil. Dan tidaklah cukup menggunakan hadits Al-Hadyu sebab itu adalah bab yang lain. [33].


[Disalin dari Kitab Ar-Raudhatun Nadhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, karangan Abu-At-Thayyib Shidiq Hasan bin Ali Al-Hushaini Al-Qanuji Al-Bukhari oleh Abu Abdirrahman Asykari bin Jamaluddin Al-Bugisy, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 22/II/1417H-1997M]
_________
Foote Note.
[17]. Lihat No. 10
[18]. Riwayat Bukhari, kitab Al-Adhahi, bab : Man dzahaba qubla as-shalah a'aada X/12/5561 dengan Fath Al-Bari. Dan Muslim, kitab Al-Adhahi, bab : Waqtuha XIII/35/No. 1962, dengan Syarh Nawawi, ini merupakan potongan hadits yang panjang.
[19]. Riwayat Muslim, bab : Waqt a-Adhahi XIII/35?no. 1961 dan lainnya.
[20]. Hadit ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad IV/82 dan lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Arnauth dalam tahqih Zaadul Maad oleh Ibnul Qayyim, dan beliau menyebutkan beberapa jalan dari riwayat ini. (Lihat Zaadul Maad II/318 cetakan Muasasah Risalah).
[21]. Riwayat Imam Malik di dalam Al-Muwatha', kitab Adh-Dhahaya, bab Adh-Dhahiyatu 'amma fil batnil mar'ah wa dzikir ayyamil adhaa II/38, At-Tanwir, dari Nafi' dari Abdullah bin Umar.
[22]. Perselisihan ulama dalam hal ini ma'ruf, lihat Subulus Salam IV/92. cet. Daarul Fikr.
[23]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya VI hal 391,dari Abu 'Amir dari Zuhair dari Abdullah bin Muhammad dari Ali bin Husain dari Abu Rafi', bahwa Rasulullah bila hendak berkurban, membeli dua domba yang gemuk, bertanduk, dan sangat putih..." al-hadits. Pada sanadnya terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Uqail, perawi ini dibicarakan oleh para ulama (Lihat : Tahdzibu At-Tahdzib VI/13). Berkata Al-Hafidz : Shaduq, dalam haditsnya ada kelemahan dan dikatakan pula : berubah pada akhir (hayat)nya. (Taqrib At-Tahdzib 3617).
[24]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam shahihnya secara ta'liq X/7 bab: Udhiyatun Nabi bi kabsyaini aqranain. Dan atsar ini disambung sanadnya oleh Abu Nu'aim dalam Mustakhrij dari jalan Ahmad bin Hanbal dari Ubbad bin Al-'Awwam berkata : Mengabarkan kepadaku Yahya bin Sa'id Al-Anshari dari lafadznya : Adalah kaum muslimin salah seorang mereka membeli kurban, lalu menggemukkan (mengebiri)nya dan menyembelihnya pada akhir Dzul Hijjah. (Fath al Bari).
[25]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bab : Karahiyatul Mughalah fil kafan III/3156, dari Ubadah bin Ash-Shamit. Dan Diriwayatkan pula oleh yang lainnya. Hadits ini di dha'ifkan Al-Abani dalam Dha'if al-Jami' ash-Shagir No. 2881.
[26]. Ibnu Hajar mengatakan : dha'if (Taqrib at-Tahdzib, No. 4660) tahqiq Abul Asybaal Al-Baakistani.
[27]. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar : Setelah menyebutkan beberapa riwayat : Padanya terdapat dalil bolehnya mengebiri dalam berkurban, dan sebagian ahli ilmu membencinya karena mengurangi anggota badan. Namun ini bukanlah cacat karena mengebiri menjadikan dagingnya baik, dengan menghilangkan bau busuk. (Fath al-Bari X/12).
[28]. Al-Jadz'u, berkata Al-Hafidz : Yaitu sifat bagi umur tertentu dari hewan ternak. Maka dari kambing adalah yang berumur satu tahun menurut jumhur. Dan dikatakan pula, kurang dari itu. Kemudian berbeda pendapat dalam penetuannya. Dikatakan : berumur 6 bulan dan ada yang berkata 8 bulan dan dikatakan pula 10 bulan. At-Tirmidzi menukilkan dari Waki' bahwa yang dimaksud adalah 6 atau 7 bulan (Fath al-Bari X/7). Berkata An-Nawawi : Al-Jadzu' dari kambing adalah yang berumur setahun penuh. Ini yang shahih menurut madzhab kami. Ini yang paling masyhur menurut ahli bahasa dan lainnya (Syarh Muslim XIII/100). Dan Al-Hafidz berkata pula : Al-Jadz'u dari Ma'az adalah berumur masuk pada tahun kedua, sapi (lembu) berumur 3 tahun penuh dan onta berumur lima tahun (Fath al-Bari X/7). Adh-Dha'n, berkata Ibnul Atsir dalam An-Nihayah : Adh-Dhawa'in : Jamak dari dha'inah, yaitu kambing yang berbeda dengan Ma'z (An-Nihayah fi gharibil hadits, III/69, cet. Al-Maktabah Al-Islamiyah). Di sini saya menyebut Dha'n dengan kambing sebagai pembeda dengan ma'z (di Jawa, maz itu disebut sebagai kambing jawa).
[29]. Riwayat Muslim, bab sinnul Udhiyah XIII/35/1963, Syarh Nawawi. Dan Ibnu Majah, bab : maa Tafzi'u minal adhahi No. 3141. Namin hadits ini di dha'ifkan oleh syaikh Al-Albani karena pada sanadnya terdapat perawi yang bernama Abu Zuhair dan ia mudallis, riwayatnya tidak diterima kecuali bila menjelaskan bahwa dia mendengar dari syaikhnya Lihat penjelasan panjang di Dha'if Ibnu Majah No. 676, hal 248, dan Irwa'ul Ghallil 1145, Silsilah Hadits Dha'ifah juz I halaman 91. Al-Musinnah : adalah gigi seri dari tiap sesuatu, berupa onta, lembu, kambing dan lainnya. (Syarh Nawawi XIII/99).
[30]. Hadits ini di Dha'ifkan oleh Al-Albani dalam Irwa'ul Ghalil IV/1143 dan silsilah hadits dha'ifah I/64.
[31]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bab :maa Tajzi'u minal adhahi II/7/No. 3139 dan lainnya. Hadist ini di dha'ifkan oleh Al-Albani dalam dha'if Ibnu Majah No. 3139.
[32]. Bukhari, bab : Qismatul Imam Al-Adhahi bainan naas X/2/No. 5547, Al-Fath dan Muslim, bab : Sinnul Udhiyah XIII/2/No. 1965, An-Nawawi.
[33]. Al-Hadyu adalah apa yang disembelih menuju tanah haram dari binatang ternak. Di dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah : 196 (Mu'jam Al-Wasith 978).

TATA CARA PENYEMBELIHAN HEWAN KURBAN (3)
Oleh
Shidiq Hasan Khan
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]

[7]. DAN TIDAK MENCUKUPI SELAIN DARI MA'ZUN [SEJENIS KAMBING YANG KURANG DUA TAHUN]

Berdasarkan hadits Abu Burdah dalam shahihain dan lainnya bahwa dia berkata :

"Artinya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai hewan ternak ma'zun jadz'u. Lalu beliau berkata : Sembelihlah, dan tidak boleh untuk selainmu". [34]

Adapun yang diriwayatkan dalam Shahihain dan lainnya dari hadits 'Uqbah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membagikan kambing kepada para shahabatnya sebagai hewan kurban, lalu yang tersisa adalah 'Atud (anak ma'az). Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diberitahu, lalu beliau menjawab :

"Artinya : Berkurbanlah engkau dengan ini".

Al-'Atud adalah anak ma'az yang umurnya sampai setahun.

Dikeluarkan pula oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa 'Uqbah berkata :"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membagikan kambing kepada para shahabatnya sebagai hewan kurban, lalu tersisa 'atud. Maka beliau berkata :

"Artinya : Berkurbanlah engkau dengannya dan tidak ada rukhsah (keringanan) terhadap seseorang setelah engkau". [35]

Sedangkan Al-Imam An-Nawawy menukil kesepakatan bahwa tidak mencukupi Jadz'u dari ma'az. [36]

Saya (Shidiq Hasan Khan) katakan :"Mereka sepakat bahwa tidak boleh ada onta, sapi dan ma'az kurang dari dua tahun. Dan kambing Jadz'u boleh menurut mereka dan tidak boleh hewan yang terpotong telinganya. Namun Abu Hanifah berkata : "Apabila yang terpotong itu kurang dari separuh, maka boleh". [37]

[8]. HEWAN KURBAN TIDAK BUTA SEBELAH, SAKIT, PINCANG DAN KURUS, HILANG SETENGAH TANDUK ATAU TELINGANYA.

Berdasarkan hadits Al-Barra [38] dalam riwayat Ahmad dan Ahlu Sunan serta dishahihkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Empat yang tidak diperbolehkan dalam berqurban. (hewan qurban) buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas bengkoknya dan tidak sanggup berjalan, dan yang tidak mempunyai lemak (kurus)". [Dalam riwayat lain dengan lafazh-lafazh Al-Ajfaa'/kurus pengganti Al-Kasiirah].

Dan dikeluarkan oleh Ahmad, Ahlu Sunan dan dishahihkan At-Tirmidzi dari hadist Ali, berkata :

"Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang, seseorang berkurban dengan hewan yang terpotong setengah dari telinganya". [39]

Qatadah berkata :"Al-'Adhab, adalah (yang terpotong) setengah dan lebih dari itu". Dan di keluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim dan Bukhari dalam tarikhnya, berkata.

"Artinya : Hanyasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari Mushfarah, Al-Musta'shalah, Al-Bakhqaa', Al-Musyaya'ah dan Al-Kasiirah. Al-Mushafarah adalah yang dihilangkan telinganya dari pangkalnya. Al-Musta'shalah adalah yang hilang tanduknya dari pangkalnya, Al-Bukhqa' adalah yang hilang penglihatannya dan Al-Musyaya'ah adalah yang tidak dapat mengikuti kelompok kambing karena kurus dan lemahnya, dan Al-Kasiirah adalah yang tidak berlemak". [40]

Penafsiran ini adalah asal riwayat, dan dalam bab ini terdapat beberapa hadits. Adapun hewan kurban yang kehilangan pantat, sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari hadits Abu Sa'id, berkata :

"Artinya : Saya membeli seekor domba untuk berkurban, lalu srigala menganiyayanya dan mengambil pantatnya. Lalu aku tanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda : Berkurbanlah dengannya." [41] [Di dalam sanadnya terdapat Jabir Al-Ju'fy dan dia sangat lemah]. [42]

[9]. BERSEDEKAH DARI UDHIYAH, MEMAKAN DAN MENYIMPAN DAGINGNYA.

Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Makanlah, simpanlah dan bersedekahlah". [Diriwayatkan dalam shahihain [43] dan dalam bab ini terdapat beberapa hadits].

[10]. MENYEMBELIH DI MUSHALLA [TANAH LAPANG YANG DIGUNAKAN UNTUK SHALAT IED] LEBIH UTAMA

Untuk menampakkan syi'ar agama, berdasarkan hadist Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Bahwa beliau menyembelih dan berkurban di Mushala". [44] [Diriwayatkan oleh Bukhari]

[11]. BAGI YANG MEMILIKI KURBAN, JANGAN MEMOTONG RAMBUT DAN KUKUNYA SETELAH MASUKNYA 10 DZULHIJJAH HINGGA DIA BERKURBAN

Berdasarkan hadits Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Apabila engkau melihat bulan Dzul Hijjah dan salah seorang kalian hendak berkurban, maka hendaklah dia menahan diri dari rambut dan kukunya".

Dan didalam lafazh Muslim dan lainnya.

"Artinya : Barangsiapa yang punya sembelihan untuk disembelih, maka apabila memasuki bulan Dzul Hijjah, jangan sekali-kali mengambil (memotong) dari rambut dan kukunya hingga dia berkurban". [46]

Dan para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Sa'id bin Al-Musayyib, Rabi'ah, Ahmad, Ishaq, Dawud dan sebagian pendukung Syafi'i berpendapat, bahwa diharamkan mengambil (memangkas/memotong) rambut dan kukunya sampai dia (menyembelih) berkurban pada waktu udhiyah. Imam Syafi'i dan murid-muridnya berkata : "Makruh tanzih". Al-Mahdi menukil dalam kitab Al-Bahr dari Syafi'i dan selainnya, bahwa meninggalkan mencukur dan memendekkan rambut bagi orang yang hendak berkurban adalah disukai. Berkata Abu Hanifah : Tidak Makruh. [47]

Wallahu a'lam

[Disalin dari Kitab Ar-Raudhatun Nadhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, karangan Abu-At-Thayyib Shidiq Hasan bin Ali Al-Hushaini Al-Qanuji Al-Bukhari oleh Abu Abdirrahman Asykari bin Jamaluddin Al-Bugisy, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 22/II/1417H-1997M]
_________
Foote Note
[34]. Diriwayatkan oleh Bukhari X/8/No. 5556, Muslim XIII/35/1961, Syarh Nawawi
[35]. Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunnan Al-Kubra IX/270 No. 19062 dan sanadnya shahih. Atud adalah anak dari ma'z. Berkata Ibnu Baththa: Al-'Atul adalah Al-Jadz'u dari ma'z berumur lima bulan (Fath al-Bari X/14)
[36]. Lihat Syarh Muslim An-Nawawi, juz XIII hal. 99
[37]. Lihat Al-Ifsah 'an ma'anish shihah, oleh Abul Mudzhfir, I/308 cet. Muassasah As-Sa'idiyan di Riyadh
[38]. Diriwayatkan oleh seluruh kitab sunan dan lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa'ul Ghalil IV/1149
[39]. Sayikh Al-Alabni mengatakan bahwa hadits ini mungkar, lihat Irwa'ul Ghalil IV/1149
[40]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bab;maa yukrahi min adh-dhahaya V/No. 2800 dan ini lafazhnya, dan riwayat ini didhaifkan oleh Al-Albani dalam dha'if Abu Dawud No. 599 hal. 274
[41]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bab manisy syifaraa udhiyah shahihah faashabaha 'indahu syaiun, No. 3146 hadits ini di dhaifkan oleh Al-Albani No. 679 dalam dhaif Ibnu Majah
[42]. Namanya Jabir bin Yazid bin Al-Harits Al-Ju'fy, Abu Abdillah Al-Kuufi, dha'if rafidhi (Taqrib At-Tahdzib, No. 886)
[43]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bab : An-Nahyu 'an luhum al-adhahy ba'da tsalats , juz XII No. 197 dari 'Aisyah sedangkan dalam riwayat Bukhari, saya tidak menemukan hadits dari 'Aisyah, yang ada adalah dari Salamah bin Al-Akwa X/No. 5569, dengan yang bebeda, wallahu 'alam.
[44]. Bukhari, bab : Al-Adhaa wan nahr bil mushala . X/No. 5552. Al-Fath
[45]. HR Muslim, bab . Nahyu Murid At-Tadhiyah an ya'khudza min sya'rihi wa adzfaarihi stai'an XIII/No. 1977 dari Ummu Salamah.
[46]. Riwayat Muslim, hadits berikutnya setelah hadits No. catatan kaki No. 45 pada shahih muslim
[47]. Nailul Authar, Al-Imam ASy-Syaukani, jilid V. hal. 128 cet. Syarikah maktabah wa matba'ah, Mustafa Al-Baby Al-Halaby, tanpa tahun.

HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN HEWAN KURBAN
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari

Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hewan kurban. Sepantasnyalah bagi seorang muslim untuk mengetahuinya agar ia berada di atas ilmu dalam melakukan ibadahnya, dan di atas keterangan yang nyata dari urusannya. Berikut ini aku sebutkan hukum-hukum tersebut secara ringkas.

PERTAMA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba jantan [1] yang disembelihnya setelah shalat Ied. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan.

"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka tidaklah termasuk kurban sedikitpun, akan tetapi hanyalah daging sembelihan biasa yang diberikan untuk keluarganya" [2]

KEDUA
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabatnya agar mereka menyembelih jadza' dari domba, dan tsaniyya dari yang selain domba [3]

Mujasyi bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya jadza' dari domba memenuhi apa yang memenuhi tsaniyya dari kambing" [4]

KETIGA
Boleh mengakhirkan penyembelihan pada hari kedua dan ketiga setelah Idul Adha, karena hadits yang telah tsabit dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : (bahwa) beliau bersabda :

"Artinya : Setiap hari Tasyriq ada sembelihan" [5]

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah.

"Ini adalah madzhabnya Ahmad, Malik dan Abu Hanifah semoga Allah merahmati mereka semua. Berkata Ahmad : Ini merupakan pendapatnya lebih dari satu sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Atsram menyebutkannya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum"[6]

KEEMPAT
Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bagi orang yang ingin menyembelih kurban agar tidak mengambil rambut dan kulitnya walau sedikit, bila telah masuk hari pertama dari sepuluh hari yang awal bulan Dzulhijjah. Telah pasti larangan yang demikian itu.[7]

Berkata An-Nawawi dalam "Syarhu Muslim" (13/138-39).

"Yang dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan gunting kuku, atau memecahkannya, atau yang selainnya. Dan larangan menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, mencabut, membakar atau menghilangkannya dengan obat tertentu[8] atau selainnya. Sama saja apakah itu rmabut ketiak, kumis, rambut kemaluan, rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang berada di tubuhnya".

Berkata Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (11/96).

"Kalau ia terlanjur mengerjakannya maka hendaklah mohon ampunan pada Allah Ta'ala dan tidak ada tebusan karenanya berdasarkan ijma, sama saja apakah ia melakukannya secara sengaja atau karena lupa".

Aku katakan :
Penuturan dari beliau rahimahullah mengisyaratkan haramnya perbuatan itu dan sama sekali dilarang (sekali kali tidak boleh melakukannya -ed) dan ini yang tampak jelas pada asal larangan nabi.

KELIMA
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memilih hewan kurban yang sehat, tidak cacat. Beliau melarang untuk berkurban dengan hewan yang terpotong telinganya atau patah tanduknya[9]. Beliau memerintahkan untuk memperhatikan kesehatan dan keutuhan (tidak cacat) hewan kurban, dan tidak boleh berkurban dengan hewan yang cacat matanya, tidak pula dengan muqabalah, atau mudabarah, dan tidak pula dengan syarqa' ataupun kharqa' semua itu telah pasti larangannya. [10]

Boleh berkurban dengan domba jantan yang dikebiri karena ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dibawakan Abu Ya'la (1792) dan Al-Baihaqi (9/268) dengan sanad yang dihasankan oleh Al-Haitsami dalam " Majma'uz Zawaid" (4/22).

KEENAM
Belaiu shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban di tanah lapang tempat dilaksanakannya shalat. [11]

KETUJUH
Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa satu kambing mencukupi sebagai kurban dari seorang pria dan seluruh keluarganya walaupun jumlah mereka banyak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Atha' bin Yasar [12] : Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari : "Bagaimana hewan-hewan kurban pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ia menjawab : "Jika seorang pria berkurban dengan satu kambing darinya dan dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya dan memberi makan yang lain" [13]

KEDELAPAN
Disunnahkan bertakbir dan mengucapkan basmalah ketika menyembelih kurban, karena ada riwayat dari Anas bahwa ia berkata :

"Artinya : Nabi berkurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. beliau menyembelihnya dengan tangannya, dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba tersebut" [14]

KESEMBELIAN
Hewan kurban yang afdhal (lebih utama) berupa domba jantan (gemuk) bertanduk yang berwarna putih bercampur hitam di sekitar kedua matanya dan di kaki-kakinya, karena demikian sifat hewan kurban yang disukai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. [15]


KESEPULUH
Disunnahkan seorang muslim untuk bersentuhan langsung dengan hewan kurbannya (menyembelihnya sendiri) dan dibolehkan serta tidak ada dosa baginya untuk mewakilkan pada orang lain dalam menyembelih hewan kurbannya. [16]

KESEBELAS
Disunnahkan bagi keluarga yang menyembelih kurban untuk ikut makan dari hewan kurban tersebut dan menghadiahkannya serta bersedekah dengannya. Boleh bagi mereka untuk menyimpan daging kurban tersebut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Makanlah kalian, simpanlah dan bersedekahlah" [17]

KEDUA BELAS
Badanah (unta yang gemuk) dan sapi betina mencukupi sebagai kurban dari tujuh orang. Imam Muslim telah meriwayatkan dalam "Shahihnya" (350) dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata.

"Artinya : Di Hudaibiyah kami menyembelih bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi betina untuk tujuh orang".

KETIGA BELAS
Upah bagi tukang sembelih kurban atas pekerjaannya tidak diberikan dari hewan kurban tersebut, karena ada riwayat dari Ali radhiyallahu ia berkata.

"Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurus kurban-kurbannya, dan agar aku bersedekah dengan dagingnya, kulit dan apa yang dikenakannya[18] dan aku tidak boleh memberi tukang sembelih sedikitpun dari hewan kurban itu. Beliau bersabda : Kami akan memberikannya dari sisi kami" [19]

KEEMPAT BELAS
Siapa di antara kaum muslimin yang tidak mampu untuk menyembelih kurban, ia akan mendapat pahala orang-orang yang menyembelih dari umat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena Nabi berkata ketika menyembelih salah satu domba.

"Artinya : Ya Allah ini dariku dan ini dari orang yang tidak menyembelih dari kalangan umatku" [20]

KELIMA BELAS
Berkata Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (11/95) : "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Al-Khulafaur rasyidun sesudah beliau menyembelih kurban. Seandainya mereka tahu sedekah itu lebih utama niscaya mereka menuju padanya.... Dan karena mementingkan/mendahulukan sedekah atas kurban mengantarkan kepada ditinggalkannya sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-'iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Akan datang dalilnya pada point ke delapan
[2]. Riwayat Bukhari (5560) dan Muslim (1961) dan Al-Bara' bin azib.
[3]. Berkata Al-Hafidzh dalam "Fathul Bari" (10/5) : Jadza' adalah gambaran untuk usia tertentu dari hewan ternak, kalau dari domba adalah yang sempurna berusia setahun, ini adalah ucapan jumhur. Adapula yang mengatakan : di bawah satu tahun, kemudian diperselisihkan perkiraannya, maka ada yang mengatakan 8 dan ada yang mengatakan 10 Tsaniyya dari unta adalah yang telah sempurna berusia 5 tahun, sedang dari sapi dan kambing adalah yang telah sempurna berusia 2 athun. Lihat "Zadul Ma'ad" (2/317).
[4]. 'Shahihul Jami'" (1592), lihat " Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" (1/87-95).
[5]. Dikeluarkan oleh Ahmad (4/8), Al-Baihaqi (5/295), Ibnu Hibban (3854) dan Ibnu Adi dalam "Al-Kamil" (3/1118) dan pada sanadnya ada yang terputus. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabari dalam 'Mu'jamnya" dengan sanad yang padanya ada kelemahan (layyin). Hadits ini memiliki pendukung yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam "Al-Kamil" dari Abi Said Al-Khudri dengan sanad yang padanya ada kelemahan. Hadits ini hasan Insya Allah, lihat 'Nishur Rayah" (3/61).
[6]. Zadul Ma'ad (2/319)
[7]. Telah lewat takhrijnya pada halaman 66, lihat 'Nailul Authar" (5/200-203).
[8]. Campuran tertentu yang digunakan untuk menghilangkan rambut.
[9]. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad (1/83, 127,129 dan 150), Abu Daud (2805), At-Tirmidzi (1504), An-Nasa'i (7/217) Ibnu Majah (3145) dan Al-Hakim (4/224) dari Ali radhiyallahu 'anhu dengan isnad yang hasan.
[10]. Muqabalah adalah hewan yang dipotong bagian depan telinganya. Mudabarah : hewan yang dipotong bagian belakang telinganya. Syarqa : hewan yang terbelah telinganya dan Kharqa : hewan yang sobek telinganya. Hadits tentang hal ini isnadnya hasan diriwayatkan Ahmad (1/80 dan 108) Abu Daud (2804), At-Tirmidzi (4198) An-Nasa'i (7/216) Ibnu Majah (3143) Ad-Darimi (2/77) dan Al-Hakim (4/222) dari hadits Ali radhiyallahu 'anhu.
[11]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (5552) An-Nasai 97/213) dan Ibnu Majah (3161) dari Ibnu Umar.
[12]. Wafat tahun (103H) biografisnya bisa dibaca dalam "Tahdzibut Tahdzib" (7/217).
[13]. Diriwayatkan At-Tirmidzi (1505) Malik (2/37) Ibnu Majah (3147) dan Al-Baihaqi (9/268) dan isnadnya hasan.
[14]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5558), (5564), (5565), Muslim (1966) dan Abu Daud (2794).
[15]. Sebagaimana dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan Muslim (1967) dan Abu Daud (2792).
[16]. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam permasalahan ini di antara ulama, lihat point ke 13.
[17]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5569), Muslim (1971) Abu Daud (2812) dan selain mereka dari Aisyah radhiyallahu 'anha. Adapun riwayat larangan untuk menyimpan daging kurban masukh (dihapus), lihat 'Fathul Bari' (10/25-26) dan "All'tibar" (120-122). Lihat Al-Mughni (11/108) oleh Ibnu Qudamah.
[18]. Dalam Al-Qamus yang dimaksud adalah apa yang dikenakan hewan tunggangan untuk berlindung dengannya.
[19]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (317), Abu Daud (1769) Ad-Darimi (2/73) Ibnu Majah (3099) Al-baihaqi (9/294) dan Ahmad (1/79,123,132 dan 153) Bukhari meriwayatkannya (1716) tanpa lafadh : "Kami akan memberinya dari sisi kami".
[20]. Telah lewat takhrijnya pada halaman 70

HEWAN KURBAN
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari

Kurban adalah kambing yang disembelih setelah melaksanakan shalat Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, karena Dia Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman.

"Artinya : Katakanlah : sesungguhnya shalatku, kurbanku (nusuk), hidup dan matiku adalah untuk Allah Rabb semesta alam tidak ada sekutu bagi-Nya" [Al-An'am : 162]

Nusuk dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.[1]

Ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban. Yang tampak paling rajih (tepat) dari dalil-dalil yang beragam adalah hukumnya wajib. Berikut ini akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits yang dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan :

PERTAMA
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Siapa yang memiliki kelapangan (harta) tapi ia tidak menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami" [2]

Sisi pendalilannya adalah beliau melarang orang yang memiliki kelapangan harta untuk mendekati mushalla jika ia tidak menyembelih kurban. Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban ini.

KEDUA
Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, aku menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengulang dengan hewan lain, dan siapa yang belum menyembelih kurban maka sembelihlah" [3]

Perintah secara dhahir menunjukkan wajib, dan tidak ada [4] perkara yang memalingkan dari dhahirnya.

KETIGA
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau bersabda.

"Artinya : Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih 'atirah[5] setiap tahun. Tahukah kalian apa itu 'atirah ? Inilah yang biasa dikatakan orang dengan nama rajabiyah" [6]

Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun 'atirah telah dihapus hukumnya (mansukh), dan penghapusan kewajiban 'atirah tidak mengharuskan dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap sebagaimana asalnya.

Berkata Ibnul Atsir :

'Atirah hukumnya mansukh, hal ini hanya dilakukan pada awal Islam.[7]

Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih kurban hukumnya sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari bulan Dzulhijjah -pen), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula kulitnya". [8]

Mereka berkata [9] :

"Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tidak wajib, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ...." , seandainya wajib tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah) seseorang".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya [10]

"Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ....." Mereka Berkata : "Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah (kehendak/keinginan) !" Ini merupakan ucapan yang global, karena kewajiban tidak disandarkan kepada keinginan hamba maka dikatakan : "Jika engkau mau lakukanlah", tetapi terkadang kewajiban itu digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum yang ada. Seperti firman Allah :

"Artinya : Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ...." [Al-Maidah : 6]

Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin membaca Al-Qur'an maka berta'awudzlah (mintalah perlindungan kepada Allah). Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur'an (Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.

Dalam ayat ini Allah berfirman :

"Artinya : Al-Qur'an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus" [At-Takwir : 27]

Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib".

Kemudian beliau rahimahullah berkata [11] :

Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih kurban. Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah yang dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata :
"Artinya : Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikannya ..... " [12]

Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda beliau : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ..." sama halnya dengan sabda beliau : "Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ........"

Imam Al-'Aini [13] rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil mereka yang telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab "Al-Hadayah"[14] yang berbunyi : "Yang dimaksudkan dengan iradah (keinginan/kehendak) dalam hadits yang diriwayatkan -wallahu a'lam- adalah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya -pent)". Al-'Aini rahimahullah menjelaskan :

"Yakni : Tidaklah yang dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : "Siapa yang bermaksud untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian", dan ini tidak menunjukkan dinafikannya kewajiban, sebagaimana sabdanya :

"Artinya : Siapa yang ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu" [15]

Dan sabda beliau.

"Artinya : Siapa diantara kalian ingin menunaikan shalat Jum'at maka hendaklah ia mandi" [16]

Yakni siapa yang bermaksud shalat Jum'at, (jadi) bukanlah takhyir ....

Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya -sebagaimana diriwayatkan dalam "Sunan Abi Daud" (2810), "Sunan At-Tirmidzi" (1574) dan "Musnad Ahmad" (3/356) dengan sanad yang shahih dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan hal itu untuk orang yang tidak mampu dari umatnya.

Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya kewajiban ini.

Wallahu a'lam


[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-'iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Lihat Minhajul Muslim (355-356)
[2]. Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123), Ad-Daruquthni (4/277), Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanadnya hasan
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5562), Muslim (1960), An-Nasa'i (7/224), Ibnu Majah (3152), Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).
[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yang dipakai oleh orang-orang yang berpendapat bahwa hukum menyembelih kurban adalah sunnah, nantikanlah.
[5]. Berkata Abu Ubaid dalam "Gharibul Hadits" (1/195) : "Atirah adalah sembelihan di bulan Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada Allah dengannya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya.
[6]. Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788) Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa'i (7/167) dan dalam sanadnya ada rawi bernama Abu Ramlah, dia majhul (tidak dikenal). Hadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanadnya lemah. Tirmidzi menghasankannya dalam "Sunannya" dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)
[7]. Jami ul-ushul (3/317) dan lihat 'Al-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan "Al-Mughni" (8/650-651).
[8]. Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa'i (7/211dan 212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220) dan Ath-Thahawi dalam "Syarhu Ma'anil Atsar" (4/181) dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha.
[9]. "Al-majmu" 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj" (4/282) 'Syarhus Sunnah" (4/348) dan "Al-Muhalla" 98/3)
[10]. Majmu Al-Fatawa (22/162-163).
[11]. Sama dengan di atas
[12]. Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu Majah (3883), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnadnya ada kelemahan. Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud (1732), Ad-Darimi (2/28), Al-Hakim (1/448), Ahmad (1/225) dan padanya ada kelemahan juga, akan tetapi dengan dua jalan haditsnya hasan Insya Allah. Lihat 'Irwaul Ghalil" oleh ustadz kami Al-Albani (4/168-169)
[13]. Dalam 'Al-Binayah fi Syarhil Hadayah" (9/106-114)
[14]. Yang dimaksud adalah kitab "Al-Hadayah Syarhul Bidayah" dalam fiqih Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa digunakan dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam "Kasyfudh Dhunun" (2/2031-2040). Kitab ini merupakan karya Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun (593H), biografinya bisa dilihat dalam 'Al-Fawaidul Bahiyah" (141).
[15]. Aku tidak mendapat lafadh seperti iin, dan apa yang setelahnya cukup sebagai pengambilan dalil.
[16]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor (877), 9894) dan (919)

SYARAT-SYARAT HEWAN KURBAN
Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Kurban memiliki beberapa syarat yang tidak sah kecuali jika telah memenuhinya, yaitu.

[1]. Hewan kurbannya berupa binatang ternak, yaitu unta, sapi dan kambing, baik domba atau kambing biasa.

[2]. Telah sampai usia yang dituntut syari’at berupa jaza’ah (berusia setengah tahun) dari domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya.

a. Ats-tsaniy dari unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun
b. Ats-tsaniy dari sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun
c. Ats-tsaniy dari kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun
d. Al-Jadza’ adalah yang telah sempurna berusia enam bulan

[3]. Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

a. Buta sebelah yang jelas/tampak
b. Sakit yang jelas.
c. Pincang yang jelas
d. Sangat kurus, tidak mempunyai sumsum tulang

Dan hal yang serupa atau lebih dari yang disebutkan di atas dimasukkan ke dalam aib-aib (cacat) ini, sehingga tidak sah berkurban dengannya, seperti buta kedua matanya, kedua tangan dan kakinya putus, ataupun lumpuh.

[4]. Hewan kurban tersebut milik orang yang berkurban atau diperbolehkan (di izinkan) baginya untuk berkurban dengannya. Maka tidak sah berkurban dengan hewan hasil merampok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua orang yang beserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut.

[5]. Tidak ada hubungan dengan hak orang lain. Maka tidak sah berkurban dengan hewan gadai dan hewan warisan sebelum warisannya di bagi.
[6]. Penyembelihan kurbannya harus terjadi pada waktu yang telah ditentukan syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka sembelihan kurbannya tidak sah

[Lihat Bidaayatul Mujtahid (I/450), Al-Mugni (VIII/637) dan setelahnya, Badaa’I’ush Shana’i (VI/2833) dan Al-Muhalla (VIII/30).


HEWAN KURBAN YANG UTAMA DAN YANG DIMAKRUHKAN

Yang paling utama dari hewan kurban menurut jenisnya adalah unta, lalu sapi. Jika penyembelihannya dengan sempurna, kemudian domba, kemudian kambing biasa, kemudian sepertujuh unta, kemudian sepertujuh sapi.

Yang paling utama menurut sifatnya adalah hean yang memenuhi sifat-sifat sempurna dan bagus dalam binatang ternak. Hal ini sudah dikenal oleh ahli yang berpengalaman dalam bidang ini. Di antaranya.

a. Gemuk
b. Dagingnya banyak
c. Bentuk fisiknya sempurna
d. Bentuknya bagus
e. Harganya mahal

Sedangkan yang dimakruhkan dari hewan kurban adalah.

[1]. Telinga dan ekornya putus atau telinganya sobek, memanjang atau melebar.
[2]. Pantat dan ambing susunya putus atau sebagian dari keduanya seperti –misalnya putting susunya terputus-
[3]. Gila
[4]. Kehilangan gigi (ompong)
[5]. Tidak bertanduk dan tanduknya patah

Ahli fiqih Rahimahullah juga telah memakruhkan Al-Adbhaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau tanduknya), Al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), Al-Mudaabirah (putus dari bagian belakang telinga), Asy-Syarqa’ (telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), Al-Kharqaa (sobek telinganya), Al-Bahqaa (sebelah matanya tidak melihat), Al-Batraa (yang tidak memiliki ekor), Al-Musyayya’ah (yang lemah) dan Al-Mushfarah [1]


[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_________
Foote Note
[1]. Para ulama berselisih tentang makna Al-Mushfarah, ada yang menyatakan bahwa ia adalah hewan yang terputus seluruh telinganya dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah kambing yang kurus. Lihat Nailul Authar (V/123) .-pent

BERSERIKAT DALAM KURBAN
Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Seekor kambing tidak bisa untuk dua orang atau lebih yang keduanya membeli dan menyembelih kurban tersebut, karena hal itu tidak terdapat dalam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana tidak bolehnya berserikat lebih dari tujuh orang dalam satu unta atau satu sapi, karena ibadah itu tauqifiyah (semata bersandar kepada wahyu). Yang benar dan boleh hanyalah berserikat tujuh orang atau kurang dari itu dalam satu unta atau sapi. Hukum ini berlaku tidak pada permasalahan pahalanya, karena tidak ada batasan jumlah berserikat dalam pahalanya, karena keutamaan Allah itu sangat luas sekali.

Disini wajib diingatkan akan kesalahan yang dianggap remeh oleh sebagian orang yang memiliki tanggung jawab melaksnakan wasiat, dimana ia mengumpulkan wasiat-wasiat lebih dari satu kerabatnya dalam satu kurban untuk semua. Ini tidak bolehkan. Namun, jika yang berwasiat adalah seorang yang berwasiat dengan beberapa kurban lalu ia kumpulkan dalam satu kurban, maka hal itu tidak mengapa, isnya Allah.


BERSHADAQAH DENGAN NILAINYA

Penyembelihan kurban termasuk salah satu syi’ar agama Islam yang jelas, oleh karena itu menyembelih lebih utama dari bershadaqah senilainya, dengan dasar sebagai berikut.

[1]. Penyembelihan kurban adalah amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau dan orang-orang setelah mereka dari para Salaf umat ini.

[2]. Penyembelihan termasuk syi’ar Allah, seandainya manusia berpaling darinya kepada shadaqah senilai kurban tersebut, tentulah syi’ar penyembelihan kurban ini akan hilang.

[3]. Penyembelihan kurban adalah ibadah yang tampak sedangkan shadaqah dengan senilainya dimaukkan dalam ibadah yang tidak nampak.

[4]. Seandainya bershadaqah senilainya sama dengan nilai penyembelihan kurban atau lebih baik, tentullah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya dengan ucapan atau perbuatan, karena beliau tidak pernah meninggalkan satu kebaikan kecuali beliau telah menunjukkannya dan tidak pula satu kejelekan pun melainkan beliau telah memperingatkannya darinya.

[5]. Sudah dimaklumi bahwa shadaqah dengan nilai kurban tersebut lebih mudah dan lebih gampang dari menyembelihnya karena adanya kesulitan yang telah diketahui oleh orang yang menemani penyembelihan dan mendahuluinya pada banyak keadaan. Seandainya bershadaqah dengan harga kurban tersebut lebih utama atau sama, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya, sebab beliau adalah orang yang sangat menyayangi umatnya dan sangat pengasih terhadap mereka. Beliau adalah orang yang selalu memilih perkara yang paling mudah dan ringan untuk umatnya. Dengan demikian, diketahui secara pasti bahwa penyembelihan adalah utama. Wallahu a’lam.

Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Al-Udhiyah (kurban), Aqiqah dan Al-Hadyu lebih utama dari shadaqah senilainya. Jika ia memiliki harta untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, maka hendaklah ia berkurban, dan memakan dari sebagian kurbannya lebih utama dari shadaqah dan Al-Hadyu di Makkah lebih baik dari bershadaqah senilainya.[1]

Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Penyembelihan di tempatnya lebih utama dari shadaqah dengan senilainya”. Beliau melanjutkan perkataanya, “oleh karenanya, seandainya ia bershadaqah dengan nilai yang berlipat ganda sebagai ganti sembelihan haji Tammatu’ ( Dam Al-Mut’ah) dan sembelihan haji Qiran (Dam Al-Qiran), maka ia tidak dapat menggantikannya. Demikian juga kurban” [2]


[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_________
Foote Note
[1]. Majmuu’ Al-Fataawaa (XXVI/304)
[2]. Ahkaamul Udh-hiyah Wa Zakaah, hal. 14

WAKTU PENYEMBELIHAN KURBAN
Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Waktu penyembelihan kurban mulai dari setelah ‘Id di hari raya kurban sampai terbenam matahari pada hari terakhir Tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Sehingga hari penyembelihan adalah empat hari : satu hari di hari raya kurban setelah shalat ‘Id dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih kurbannya sebelum selesai shalat ‘Id atau setelah terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah. Ada yang mengatakan bahwa waktu penyembelihan hanya dua hari setelah ‘Id saja, dan menurut pendapat ini hari penyembelihan hanya tiga hari saja. Tetapi yang rajih adalah pendapat yang pertama.

Dibolehkan menyembelih kurban di waktu siang atau malam, namum penyembelihan di siang hari lebih utama. Setiap hari dari hari-hari penyembelihan lebih utama dari hari setelahnya, karena mendahulukan sembelihan termasuk sikap bersegera melaksanakan ketaatan.

An-Nawawi Rahimahullah berkata : Adapun waktu berkurban, maka sepatutnya menyembelihnya setelah shalat bersama imam dan ketika itu sah secara ijma’. Ibnul Munzdiri Rahimahullah berkata, “Mereka telah berijma’ bahwa penyembelihan kurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari pagi hari raya kurban. ‘Dan mereka berbeda pendapat pada penyembelihan setelahnya’ [1].

Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Mereka sepakat bahwa kurban disyariatkan juga di malam hari sebagaimana disyariatkan di siang hari, kecuali satu riwayat dari Imam Malik dan juga Imam Ahmad [2].


KURBAN SAH UNTUK BERAPA ORANG ?

Satu kurban berupa kambing cukup untuk seorang dari ahli baitnya (keluarganya) dan kaum muslimin yang ia kehendaki, baik masih hidup ataupun sudah wafat. Telah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurbannya, beliau berkata :

“Artinya : Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarda Muhammad dan umat Muhammad”

Sepertujuh untuk unta atau sapi mencukupi dari orang yang cukup untuk satu kambing. Seandainya seorang muslim menyembelih sepertujuh unta atau sapi untuknya dan keluarganya, maka itu adalah sah, dan seandainya untuk tujuh orang brserikat menyembelih kurban atau hadyu, satu unta atau satu sapi, maka itupun sah.


ORANG YANG DISYARIATKAN BERKURBAN

Pada asalnya kurban itu disyariatkan untuk oang yang masih hidup, berdasarkan riwayat yang mengatakan bahwa beliau telah menyembelih hewan kurban untuk diri dan kelaurganya.

Adapun perbuatan sebagian orang yang mendahulukan kurban untuk mayit atas diri dan keluarganya sebagai shadaqah dari mereka, maka amalan ini tidak mempunyai dasar menurut apa yang kami ketahui. Namun, seandainya ia berkurban untuk diri dan keluarganya lalu memasukkan orang-orang yang telah meninggal dunia bersama mereka atau menyembelih kurban untuk mayit secara sendirian sebagai shadaqah darinya, maka hal itu tidak mengapa dan ia mendapat pahala, insya Allah

Adapun kurban untuk orang yang telah meninggal dunia yang merupakan wasiat (orang yang mati) kepadanya, maka ini wajib dilaksanakan, walaupun ia belum berkurban untuk dirinya sendiri, karena ia diperintahkan untuk melaksanakan wasiat tersebut


[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_________
Foote Note
[1]. Shahiih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/110)
[2]. Fathul Baari (X/8)

ASAL PENSYARI’ATAN KURBAN
Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Kurban disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’

Dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala

“Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah” [Al-Kautsar : 2]

Ibnu Katsir Rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang dimaksud dengan an-nadr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta dan sejenisnya” [1]

Sedangkan dari sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca basmalah dan bertakbir” [2]

Demikian juga hadits dari Al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih sampai di selesai shalat’. Seseorang berkata, ‘Aku memiliki inaq laban, ia lebih baik dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan disembelih dan tidk sah jadz’ah dari seorang setelahmu” [3]

Dan dari ijma’ adalah apa yang telah menjadi ketetapn ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang tentang pensyari’atan kurban, dan tidak ada satu nukilan dari seorang pun yang menyelisihi hal itu. Dan sandaran ijma’ tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, ‘Kaum muslimin telah sepakat tentang pensyariatan kurban [4]. Sedangkan Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Dan tidak ada perselisihan pendapat bahwa kurban itu termasuk syi’ar-syi’ar agama [5].

HIKMAH PENSYARIATAN KURBAN

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan kurban untuk mewujudkan hikmah-hikmah berikut.

[1]. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim “Alaihis Salam yang diperintahkan agar menyembelih buah hatinya (anaknya), lalau ia meyakini kebenaran mimpinya dan melaksanakannya serta membaringkan anaknya di atas pelipisnya, maka Allah memanggilnmya dan menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Mahabenar Allah Yang Mahaagung, ketika berfirman.

“Artinya : Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mebenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” [Ash-Shaaffaat : 102-107]

Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan menyembelih sesuatu dari pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemilik dan Pemberi kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintahNya.

[2]. Mencukupkan orang lain di hari ‘Id, karena ketika seorang muslim menyembelih kurbannya, maka ia telah mencukupi diri dan keluarganya, dan ketika ia menghadiahkan sebagiannya untuk teman dan tetangga dan kerabatnya, maka dia telah mencukupi mereka, serta ketika ia bershadaqah dengan sebagiannya kepada para fakir miskin dan orang yang membtuhkannya, maka ia telah mencukupi mereka dari meminta-minta pada hari yang menjadi hari bahagia dan senang tersebut.

HUKUM BERKURBAN

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum kurban menjadi beberapa pendapat, yang paling masyhur ada dua pendapat, yaitu.

Pendapat Pertama
Hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah, pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak berdosa. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf dan yang setelah mereka.

Pendapat Kedua
Hukum kurban adalah wajib secara syar’i atas muslim yang mampu dan tidak musafir, dan berdosa jika tidak berkurban. Inilah pendapat Abu Hanifah dan selainnya dari para ulama.

Setiap pendapat ini berdalil dengan dalil yang telah dipaparkan dalam kitab-kitab madzhab. Pendapat yang menenangkan jiwa dan didukung dengan dalil-dalil kuat dalam pandangan saya bahwa hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah, tidak wajib.

Ibnu Hazm Rahimahullah berkata, “Kurban hukumnya sunnah hasanah, tidak wajib. Barangsiapa meninggalkannya tanpa kebencian terhadapnya, maka tidaklah berdosa [6]

Sedangkan Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban kurban atas orang yang mampu. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa kurban itu sunnah bagi orang yang mampu, jika tidak melakukannya tanpa udzur, maka ia tidak berdosa dan tidak harus mengqadha’nya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kurban itu wajib atas orang yang mampu. [7]

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_________
Foote Note
[1]. Tafsir Ibni Katsir (IV/558), Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (I/249) dan Tafsiir Al-Qurthubi (XI/218]
[2]. Hadits Riwayat Bukhari dan Musim lihat Fathul Baari (X/9) dan Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/120).
[3]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim lihat Fathul Baari (X/6) dan Shahihh Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/113)
[4]. Al-Mughni (VIII/617)
[5]. Fathul Baari (/3)
[6]. Al-Muhalla (VIII/3)
[7]. Shahiih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/110) dan lihat dalil dua pendapat ini dan perdebatannya dalam Fathul Baari (X/3), Bidaayatul Mujtahid (I/448), Mughniyul Mubtaaj (IV/282) Majmu Al-Fatawaa (XXVI/304), Al-Mughni dan Syarhhul Kabiir (XI/94) dan Al-Mughni (VIII/617) dan setelahnya.

AHKAMUL AQIQAH (1)
Oleh
Abu Muhammad 'Ishom bin Mar'i
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]

[A]. PENGERTIAN AQIQAH

Imam Ibnul Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.25-26, mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim rahimahulloh berkata :

“Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.”

Imam Ahmad rahimahulloh dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).

[B]. DALIL-DALIL SYAR'I TENTANG AQIQAH

Hadist No.1 :
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]

Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]

Hadist No.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]

Hadist No.3 :
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]

Hadist No.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]

Hadist No.5 :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]

Hadist No.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]

Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.

[C]. HUKUM-HUKUM SEPUTAR AQIQAH

HUKUM AQIQAH SUNNAH

Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahulloh berkata dalam Nailul Authar (6/213) : “Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi : “….berdasarkan hadist no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.”

BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI DAN MEMBID'AHKAN AQIAH

Ibnul Mundzir rahimahulloh membantah mereka dengan mengatakan bahwa : “Orang-orang ‘Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam “Fathul Bari” (9/588)].

WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH

Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594) :

“Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’ (hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.”

Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” 7/527.

Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :

“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]

BERSEDEKAH DENGAN DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT

Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”

Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif.

TIDAK ADA TUNTUNAN BAGI ORANG DEWASA UNTUK AQIQAH ATAS NAMA DIRINYA SENDIRI

Sebagian ulama mengatakan : "Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa". Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.” [Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]

Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya pada satu waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil.

AQIQAH UNTUK ANAK LAKI-LAKI DUA KAMBING DAN PEREMPUAN SATU KAMBING

Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. "Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Bari” (9/592) : “Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.”

Imam Ash-Shan’ani rahimahulloh dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1427) mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya : “Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.”

Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahulloh dalam kitabnya “Raudhatun Nadiyyah” (2/26) berkata : “Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan adalah satu kambing.”

Penulis berkata : “Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing) tidak diragukan lagi kebenarannya.”

BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING

Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.

Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/592) : “…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing….”

Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki dengan dua kambing.


[Disalin dan diringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul “Aqiqah” terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997]

========================================================================

AHKAMUL AQIQAH (2)
Oleh
Abu Muhammad 'Ishom bin Mar'i
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]

[D]. AQIQAH DENGAN KAMBING

TIDAK SAH AQIQAH KECUALI DENGAN KAMBING

Telah lewat beberapa hadist yang menerangkan keharusan menyembelih dua ekor kambing untuk laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan. Ini menandakan keharusan untuk aqiqah dengan kambing.

Dalam “Fathul Bari” (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh menerangkan : “Para ulama mengambil dalil dari penyebutan syaatun dan kabsyun (kibas, anak domba yang telah muncul gigi gerahamnya) untuk menentukan kambing buat aqiqah.” Menurut beliau : “Tidak sah aqiqah seseorang yang menyembelih selain kambing”.

Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini lemah karena :

[1]. Hadist-hadist shahih yang menunjukkan keharusan aqiqah dengan kambing semuanya shahih, sebagaimana pembahasan sebelumnya.

[2]. Hadist-hadist yang mendukung pendapat dibolehkannya aqiqah dengan selain kambing adalah hadist yang talif saqith alias dha’if.

PERSYARATAN KAMBING AQIQAH TIDAK SAMA DENGAN KAMBING KURBAN [IDUL ADHA]

Penulis mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan’ani, Imam Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai umur tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang lebih utama adalah yang tidak cacat.

Imam As-Shan’ani dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1428) berkata : "Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas.”

Imam Syaukhani dalam kitabnya “Nailul Authar” (6/220) berkata : “Sudah jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga ini merupakan qiyas yang bathil.”

Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” (7/523) berkata : “Orang yang melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari catat.”

BACAAN KETIKA MENYEMBELIH KAMBING

Firman Alloh Ta'ala : “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah…” [Al-Maidah : 4]

Firman Alloh Ta'ala : “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan.” [Al-An’am : 121]

Adapun petunjuk Nabi tentang tasmiyah (membaca bismillah) sedah masyhur dan telah kita ketahui bersama (lihat Irwaul Ghalil 2529-2536-2545-2551, karya Syaikh Al-Albani). Oleh karena itu, doa tersebut juga diucapkan ketika meyembelih hewan untuk aqiqah karena merupakan salah satu jenis kurban yang disyariatkan oleh Islam. Maka orang yang menyembelih itu biasa mengucapkan : “Bismillahi wa Allohu Akbar”.

MENGUSAP DARAH SEMBELIHAN AQIQAH DI ATAS KEPALA BAYI MERUPAKAN PERBUATAN BID'AH DAN JAHILIYAH

“Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda : “Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).” [Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan disahihkan oleh Hakim (2/438)]

Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya “Irwaul Ghalil” (4/388) berkata : “Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.”

Al-‘Allamah Imam Syukhani dala, kitabnya “Nailul Aithar” (6/214) menyatakan : “Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah)..”

Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas bahwasannya dia berkata : “Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah terhadap anak kecil….dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah.” [Hadits Riwayat Thabrani], maka ini merupakan hujjah yang dhaif dan mungkar.

BOLEH MENGHANCURKAN TULANGNYA [DAGING SEMBELIHAN AQIQAH]SEBAGAIMANA SEMEBLIHAN LAINNYA

Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya, seperti ditegaskan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (2/502), karena tidak adanya dalil yang melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang menghancurkan tulang sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada kebaikannya juga, yaitu bisa diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk dimakan.

Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya adalah :

[1]. Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian menghancurkan tulang sembelihannya.” [Hadist Dhaif, karena mursal terputus sanadnya, Hadits Riwayat Baihaqi (9/304)]

[2]. Dari Aisyah dia berkata : “….termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan tulang sembelihannya….” [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, Hadits Riwayat. Hakim (4/283]

Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak shahih. [lihat kitab “Al-Muhalla” oleh Ibnu Hazm (7/528-529)].

DISUNNAHKAN MEMASAK DAGING SEMBELIHAN AQIQAH DAN TIDAK MEMBERIKANNYA DALAM KEADAAN MENTAH

Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.43-44, berkata : “Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.”

TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG KALAU DAGING SEMBELIHANNYA DIJUAL

Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.51-52, berkata : “Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada Alloh Ta'ala. Barangsiapa menjual daging sembelihannya sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja tidak melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas dasar itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara penuh sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu digunakan untuk upah penyembelihannya atau upah mengulitinya” [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].

ORANG YANG AQIQAH BOLEH MEMAKAN, BERSEDEKAH, MEMBERI MAKAN, DAN MENGHADIAHKAN DAGING SEMEBELIHANNYA, TETAPI YANG LEBIH UTAMA JIKA SEMUA DIAMALKAN

Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.48-49, berkata : “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hokum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Alloh Ta'ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].

JIKA AQIQAH BERTETAPAN DENGAN IDUL QURBAN, MAKA TIDAK SAH KALAU MENGERJAKAN SALAH SATUNYA [SATU AMALAN DUA NIAT]

Penulis berkata : “Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak sah menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan. Sebab aqiqah dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan Alloh Ta'ala tidak pernah lupa.”

TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG YANG BERSEDEKAH DENGAN HARGA DAING SEMBELIHANNYA SEKALIPUN LEBIH BANYAK

Al-Khallah pernah berkata dalam kitabnya : “Bab Maa yustahabbu minal aqiqah wa fadhliha ‘ala ash-shadaqah” : “ Kami diberitahu Sulaiman bin Asy’ats, dia berkata Saya mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang aqiqah : “Mana yang kamu senangi, daging aqiqahnya atau memberikan harganya kepada orang lain (yakni aqiqah kambing diganti dengan uang yang disedekahkan seharga dagingnya) ? Beliau menjawab : “Daging aqiqahnya.” [Dinukil dari Ibnul Qayyim dalam “Tuhfathul Maudud” hal.35 dari Al-Khallal]

Penulis berkata : “Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya bershadaqah dengan harga (daging sembelihan aqiqah) sekalipun lebih banyak, maka aqiqah seseorang tidak sah jika bershadaqah dengan harganya dan ini termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar ! Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad .”

ADAB MENGHADIRI JAMUAN AQIQAH

Diantara bid’ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu adalah memberikan ceramah yang berkaitan dengan hukum aqiqah dan adab-adabnya serta yang berkaitan dengan masalah kelahiran ketika berkumpulnya orang banyak (undangan) di acara aqiqahan pada hari ketujuh.

Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat suatu acara yang berisi ceramah, rangkaian do’a-do’a, dan bentuk-bentuk seperti ibadah lainnya, yang mereka meyakini bahwa semuanya termasuk dari amalan yang baik, padahal tidak lain hal itu adalah bid’ah, pent.

Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang shahih bahkan dalam dhaif sekalipun !! Dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Salafush Sholih rahimahumulloh. Seandainya perbuatan ini baik niscaya mereka sudah terlebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Dan ini termasuk dalam hal bid’ah-bid’ah lainnya yang sering dikerjakan oleh sebagian masyarakat kita dan telah masuk sampai ke depan pintu rumah-rumah kita, pent !!

Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di dalam acara aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta menyambut kelahiran bayi dan bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang dibuat-buat.

Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Semua kabaikan itu adalah dengan mengikuti Salaf dan semua kejelekan ada pada bid’ahnya Khalaf.

Wallahul Musta’an wa alaihi at-tiklaan.

[Disalin ringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’I, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul “Aqiqah” terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997

HARI ‘ASYURA (10 MUHARRAM) ANTARA SUNNAH DAN BID’AH
Selasa, 07 Februari 06

Sejarah dan Keutamaan Puasa Asyura’

Sesungguhnya hari ‘syura (tanggal 10 Muharam) meski merupakan hari bersejarah, dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid’ah padanya. Adapun yang dituntunkan syari’at kepada kita pada hari ini hanyalah berpuasa, dengan dijaga jangan sampai bertasyabuh dengan orang Yahudi.

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ تَصُوْمُهُ قُرَيْشٌ فِي اْلجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُهُ فَلَمَّا قَدِمَ اْلمَدِيْنَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari ‘asyura’ di maha jahiliyah, Rasulullah SAW pun melakukannya pada masa masa jahiliah. Tatkala beliau tiba di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa.” (HR. Bukhari)

“Nabi SAW tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘asyura’. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab: “Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur”. Maka beliau SAW bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka hari itu, Nabipun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.” (HR. Bukhari)

Dua hadist ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi SAW telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabipun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.

“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nabi Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur.” (HRS. Bukhari)

Abu Musa berkata, “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah bersabda, “Puasalah kalian pada hari itu.” (HSR. Bukhari)

Rasulullah SAW ditanya tentang puasa di hari ‘Asyura’, maka beliau menjawab, “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin.” (HSR. Muslim).

Cara Berpuasa Di Hari Asyura’

A. Berpuasa selama tiga hari tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafazh sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa 2/2, “Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan sehari setelahnya.”

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang al-Urf asy-Syadzi, “Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum atau sesudahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”

Namun didalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma’ad 2/76), “Ini adalah derajat yang paling sempurna”. Syeikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan” “Inilah yang paling utama.”

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memiliki pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10, 11 Muharram) adalah asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syeikh Muhammad Yusuf al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434.

Namun mayoritas ulama’ yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati . Ibnul Qudamah di dalam al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

B. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10

Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:

Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura’ dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh orang Yahudi”. Maka beliau SAW bersabda, “Di tahun depan Insya allah kita akan berpuasa pada tanggal 9”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah SAW telah wafat.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, “Jika aku masih (hidup) pada tahun depan sungguh aku akan puasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245): “Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan untuk hati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan oleh sebagian riwayat Muslim”.

Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata: “Selisihlah Yahudi, berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh”. (Abdurrazaq 4/287)

C. Berpuasa dua hari yaitu tanggal sembilan dan sepuluh atau sepuluh dan sebelas.

“Berpuasalah pada hari ‘Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (Hadist Dhaif Riwayat Ahmad).

Hadits marfu’ ini tidak shahih karena tiga illat (cacat):
-Ibnu Abi Laila, lemah, karena hafalannya buruk.
-Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
-Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan sanad marfu’

Jadi hadits di atas shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Matsurah karya as-Syafi’I no. 335 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahzibul Atsar 1/218.

Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif, hal: 49): “Dalam sebagian riwayat disebutkan “atau sesudahnya” maka kata “atau:” disini mungkin merupakan keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan …”.

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246): “Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah SAW, dahulu beliau SAW suka menyocoki Ahli Kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termasyhur, beliau suka menyelisihi Ahli Kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura’) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau mencocoki Ahli kitab dan berkata: “Kami lebih berhak atas Musa dari pada kalian (Yahudi)”, kemudian beliau menyukai menyelisihi Ahli kitab, maka beliau menambahi sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi Ahli kitab.

Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213): “Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal sembilan maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal sebelas”.

D. Berpuasa pada tanggal sepuluh saja

Al-Hafidz berkata (Fathul Bari 4/246): “Puasa Asyura mempunyai tiga tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya ditambah puasa tanggal sembilan dan tingkatan berikutnya ditambah puasa sembilan dan sebelas. Wallahu a’lam.

Bid’ah-Bid’ah Di Hari Asyura

1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, shalat ini disebut dengan sholat Asyura.

2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut dan mewarnai kuku (menyemir rambut).”

3. Membuat makanan khusus/istimewa, yang tidak seperti biasanya (seperti membuat bubur syura yang terdapat di daerah Sumatera Barat).

4. Membakar kemenyan.
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahan.

6. Do’a awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif).

7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin.

8. Memberikan uang belanja yang lebih kepada keluarga.

As-Subki berkata (Ad-Din al-Khalish 8/417): “Adapun pernyataan sebagian orang menganjurkan setelah mandi hari ini 10 Muharram untuk ziarah kepada orang ‘alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fathihah seribu kali dan bersilaturrahim maka tidak ada dalil yang menunjukkan keutamaan amal-amal itu dikerjakan pada hari itu. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syari’at di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya bid’ah”.

Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal. 53): “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama’ yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin al-Hakam. Al-Uqaili berkata: “(Hadits itu) tidak dikenal”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali RA maka itu adalah perbuatan orang-orang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka.”

Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata: “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura’, berhias, bersenang-senang/berpesta, dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi SAW selain hadits-hadits puasa. Adapun selainya adalah bathil seperti:

“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun.”

Imam Ahmad berkata: “Hadits ini tidak sah/bathil.” Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh para tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua golongan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari as-Sunnah. Sedangkan Ahlu Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan Rasul SAW dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan.

Adapun Sholat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam al-Laili 2/29 berkata: “Maudlu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini dinukil Asy-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah hal. 47. Hal senada juga diucapkan ileh Al-‘Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam al-Maudlu’ah 2/122.

Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif): “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, berpacar/kiteks dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu’ (palsu) tidak shah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah SAW

“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian.”

Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.”
Adapun hadits:

“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya.”

Maka Ulama’ seperti Ibnu Rajab, az-Zarkasyi dan as-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu’ (palsu).

Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204, Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379, dan Fadhalil Auqat no. 246 dan al-Hakim sebagaimana dinukil as-Suyuthi dalam al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata: “Bercelak di hari Asyura tidak ada satupun atsar/hadits dari Nabi SAW Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari ‘Asyura. Semoga kita bisa mengamalkan sunnah tentang hari ‘Asyura ini dan meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin-Red. Wallahu waliyyat-Taufiq.

(sumber: majalah as-Sunnah, edisi 03/V/1421=2001, dengan sedikit perubahan)

==============================================================

TUNTUNAN RASULULLAH DI DALAM MENYAMBUT SEPULUH HARI TERAKHIR/ AL ‘ASYRUL AWA-KHIR)
Kamis, 04 Nopember 04

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Yang memuliakan orang-orang yang ta’at, Yang mengampuni dosa orang-orang yang bertaubat. Shalawat dan salam atas Imam orang-orang yang bertaqwa dan sebaik-baik ahli ‘ibadah, Muhammad SAW., wa ba’du:

Allah telah memuliakan umat ini dan memberikan karunia kepadanya dengan mendatangkan musim-musim yang penuh dengan kebaikan, pahala yang berlipat di dalamnya, yang mampu menyentuh hati serta mendorong manusia berbondong-bondong menyongsongnya untuk melakukan amal yang sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, orang yang hatinya hidup dalam menyongsong panggilan Allah dan memiliki semangat yang tinggi akan berusaha sekuat tenaga dan semaksimal mungkin untuk mendapatkan keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepadaNya; dan ini merupakan bekal yang amat mulia. Allah berfirman (artinya), “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,[88]. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.“[89] {Q.S.asy-Syu’arâ`:88-89}.

Rasulullah SAW., bersabda, “Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.” (HR Muslim)

Berikut ini ulasan ringkas tentang beberapa petunjuk Nabi SAW., berkenaan dengan aktivitas beliau pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan:

1. Beliau SAW., Bersungguh-sungguh Di Dalam Beribadah

Nabi SAW., menambah frekuensi ibadahnya pada al-‘Asyrul Awaakhir (sepuluh hari terakhir) di bulan Ramadhan dan bersungguh-sungguh di dalamnya. Dan hal seperti ini tidak pernah dilakukannya pada selain hari-hari tersebut. Seluruh hari-harinya dihabiskannya untuk beribadah, berseah diri dan berzikir.

Dalam hal ini, isteri beliau; ummul Mukminin, ‘Aisyah RA., menjelaskan, “Rasulullah SAW., sangat bersungguh-sungguh pada al-‘Asyrul Awaakhir, sesuatu yang tidak beliau lakukan pada selain hari-hari tersebut.” (HR Muslim)

‘Aisyah berkata lagi, “Bila memasuki al-‘Asyrul Awaakhir, Rasulullah SAW., menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya serta bersungguh-sungguh dan bergiat sekali.” (HR Muslim)

Ali bin Abu Thalib berkata, “Bila menginjak al-‘Asyrul Awaakhir, Nabi SAW., benar-benar sungguh-sungguh dan tidak meniduri isteri-isterinya.”(HR Baihaqi dan dinilai Hasan oleh penahqiq Musnad Imam Ahmad)

2. Melakukan Qiyamul Lail (Shalat Malam)

Qiyamul Lail yang dilakukan oleh beliau pada al-‘Asyrul Awaakhir ini memiliki keistimewaan tersendiri, diantaranya:

Bahwa beliau dalam shalatnya tidak melebihi sebelas raka’at, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA., dia berkata, “Rasulullah tidak menambah (raka’at shalatnya) baik di bulan Ramadhan ataupun selainnya melebihi sebelas raka’at.” (HR al-Bukhari)

Beliau memanjangkan shalatnya tersebut (melamakan temponya), sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA., ketika ditanya, “Bagaimana shalat Rasulullah di bulan Ramadhan?.” Dia menjawab, “Beliau tidak menambah (raka’at shalatnya) baik di bulan Ramadhan ataupun selainnya melebihi sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at, dan (mengenainya) jangan ditanya bagaimana indah dan panjang (lama)-nya, kemudian shalat empat raka’at lagi, dan (mengenainya) jangan ditanya bagaimana indah dan panjang (lama)-nya, kemudian shalat tiga raka’at. Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Apakah engkau tidur sebelum shalat witir?, beliau bersabda, “Wahai ‘Aisyah! Sesunguhnya kedua mataku ini tidur akan tetapi hatiku tidak tidur.” (HR al-Bukhari)

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh an-Nu’man bin Basyir RA., dia berkata, “Kami melakukan shalat malam bersama Rasulullah SAW., pada bulan Ramadhan, malam ke duapuluh tiga (dan berakhir) sampai sepertiga malam pertama, kemudian kami lakukan lagi bersama beliau malam ke duapuluh lima (dan berakhir) sampai setengah malam, kemudian kami lakukan lagi bersamanya pada malam ke duapuluh tujuh (dan berakhir) sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan sahur karenanya.” (HR an-Nasa`iy)

3. Beliau Menyetor (Hafalan) al-Qur’an Kepada Jibril ‘alaihissalaam

Diantara hal yang menguatkannya adalah hadits Ibn ‘Abbas RA. Di dalamnya terdapat ungkapan, “…Jibril AS., menemui beliau SAW., setiap malam di bulan Ramadhan hingga berakhirnya. Ketika itu, Nabi SAW., menyetor (hafalan) al-Qur’an kepadanya.” (HR al-Bukhari).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Fathimah RA., disebutkan sabda beliau (artinya), “…Sesungguhnya Jibril AS., mengetengahkan kepadaku al-Qur’an sekali setiap tahunnya, sedangkan tahun ini berlangsung dua kali.” (HR al-Bukhari)

Sabda beliau SAW., “mengetengahkan” dan perkataan Ibnu ‘Abbas RA., dalam riwayat yang lain: “(Jibril) membelajarkannya”; mengandung pengertian bahwa terkadang satu dari keduanya membaca dan yang satu lagi mendengarkan, begitu pula sebaliknya.” (Lihat: Fathul Bari, VIII, hal. 659)

4. Beliau Amat Tawadhu’ dan Menampakkan Kezuhudan

Diantara indikasi yang menguatkannya adalah sebagai berikut:

Mengalirnya air hujan dari atas atap masjid membasahi tempat beliau shalat. Demikian pula, kondisi beliau yang sujud di atas tanah yang bercampur air sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA., dia berkata, “lalu langit menjadi mendung pada malam itu kemudian turun hujan membasahi masjid, persis di tempat shalat Nabi SAW., pada malam ke duapuluh satu. Lalu mataku memandangi Rasulullah SAW., dan melihatnya keluar dari shalat shubuh dalam kondisi wajahnya yang penuh dengan lumuran tanah bercampur air.” (HR.Bukhari)

Ketika Qiyamul lail, beliau melakukannya di atas sehelai tikar, sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA., dia berkata, “Dulu orang-orang melakukan shalat secara terpisah-pisah, lalu Rasulullah SAW., memerintahkanku agar membentangkan sehelai tikar untuknya, lalu beliau shalat diatasnya.” (HR Abu Daud, no.1374. Syaikh al-Albany berkata di dalam Shahih Sunan Abi Daud, ‘Hasan Shahîh’)

Ketika i’tikaf beliau singgah di rumah yang terbuat dari pelepah kurma. (Lihat: hadits Ibn ‘Umar, diriwayatkan oleh Ahmad. Penahqiqnya, Syaikh al-Arna`uth berkata, ‘Hadits Shahih)

Sedikitnya makanan yang dimakan oleh beliau. (Lihat: hadits Dlumrah bin ‘Abdullah bin Unais dari ayahnya, Sunan Abu Daud, no.1379. Syaikh al-Albany mengomentari, ‘Hasan Shahih’)

5. Beliau Melakukan I’tikaf pada al-‘Asyrul Awaakhir

Nabi SAW., beri’tikaf pada al-‘Asyrul Awaakhir dari bulan Ramadhan dan memasang tempat khusus baginya di dalam masjid seraya menyendiri untuk menghadap Rabb-Nya meskipun di tengah kesibukan beliau dengan dakwah, tarbiyah, pengajaran dan jihad. Di antara indikasinya adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas RA., dia berkata, “Nabi SAW., beri’tikaf pada al-‘Asyrul Awaakhir dari bulan Ramadhan.” (HR at-Turmuzy, dia berkata, hadits Hasan Shahih. Hadits ini juga dinilai Shahih oleh Syaikh al-Albany dalam kitabnya Shahih as-Sunan).

6. Beliau Antusias mencari Lailatul Qadr

Malam Lailatul Qadr adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan dan Nabi SAW., antusias dan secara sungguh-sungguh mencarinya dengan menambah frekuensi ibadah beliau melebihi ibadah yang beliau lakukan pada hari-hari lainnya. Di antara hal yang menguatkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri RA., bahwasanya Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya aku beri’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mencari malam ini (Lailatul Qadr), kemudian aku beri’tikaf lagi pada sepuluh pertengahan, kemudian aku didatangi dan dikatakan kepadaku, ‘sesungguhnya ia ada pada sepuluh hari terakhir (al-‘Asyrul AwAkhir).’ Barangsiapa di antara kamu yang ingin beri’itikaf, maka beri’tikaflah.!” Lalu orang-orangpun beri’tikaf bersama beliau.” (HR Muslim)

7. Beliau Tidak Lupa Memperhatikan Para isterinya

Di antara indikasinya adalah:
Pertama, beliau menganjurkan mereka agar banyak-banyak berbuat kebajikan dan amal shalih. Salah satu contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali RA., “Bahwasanya pada al-’Asyrul Awaakhir dari bulan Ramadhan Nabi SAW., membangunkan keluarganya (untuk shalat malam).” (HR at-Turmuzy, dia berkata, hadits Hasan Shahih)

Kedua, beliau pernah tidak beri’tikaf Ramadhan dalam setahun untuk menjaga perasaan isteri-isteri beliau dan menghilangkan kekhawatiran akan tumbuhnya persaingan tidak sehat di antara mereka lantaran cemburu. (HR al-Bukhari)

Ketiga, beliau mengajak mereka berbicara sekali waktu saat beliau berada di peri’tikafannya. (Shahih Bukhari, hadits no. 6219, 2038)

Keempat, beliau mengizinkan mereka beri’tikaf bersama beliau (dengan memasang tempat khusus bagi kaum wanita dalam masjid Nabawi). (Lihat: Shahih Bukhari, hadits no. 2035, 2045)

8. Beliau SAW., Tetap Memberikan Bimbingan Agama Kepada Manusia

Nabi SAW., mengarahkan manusia dan mengajak mereka untuk mengerjakan amal shalih. Indikasinya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri RA., di dalamnya terdapat, “… Kemudian beliau bersabda, ‘Aku menghidupkan sepuluh pertama Ramadhan (dengan ibadah), kemudian telah tampak olehku agar melakukannya lagi pada al-‘Asyrul Awakhir; barangsiapa yang ingin melakukan i’tikaf bersamaku maka hendaklah dia mantap di peri’tikafannyanya. Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku (sesuatu) pada malam ini namun kemudian aku dilupakan (untuk mengingatnya); oleh karena itu, carilah ia pada sepuluh hari terakhir (al-‘Asyrul Awaakhir), dan carilah ia pada setiap tanggalnya yang ganjil.” (HR al-Bukhari)

9. Beliau SAW., Tetap Memberikan Fatwa Kepada Orang Yang Memintanya

Indikasinya; sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Dhumrah bin ‘Abdullah bin Anis dari ayahnya, dia berkata, [didalamnya terdapat,] “Beliau bersabda (kepadanya), “sepertinya kamu punya keperluan.?” Dia menjawab, ‘ya, sekelompok kaum dari Bani Salamah mengutusku kepadamu untuk menanyakan malam Lailatul Qadr. Beliau bersabda, “Tanggal berapakah malam ini.?” Dia menjawab, ‘duapuluh dua.’ Beliau bersabda, “Ia (malam Lailatul Qadr) ada pada malam ini.“ Kemudian dia pulang dan berkata, yakni (maksud ucapan Nabi SAW., tersebut adalah-red) malam yang akan datang ini, yaitu malam kedua puluh tiga” (HR Abu Daud dan dinilai Hasan Shahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitabnya Shahih as-Sunan).

10. Beliau SAW., Menempatkan Dirinya Sebagai Qudwah (Panutan) Bagi Manusia

Di antara indikasinya:
Pertama, beliau pergi ke masjid untuk melakukan shalat malam bersama orang-orang, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah RA., ‘bahwasanya Rasulullah SAW., pada suatu malam keluar saat tengah malam, lalu beliau melakukan shalat di masjid, kemudian beberapa orang mengikuti shalat beliau…” (HR Bukhari)

Kedua, beliau i’tikaf untuk mencari dengan sungguh-sungguh Lailatul Qadr dan mengajak manusia untuk melakukan hal itu. (Lihat: Shahih Muslim, hadits no. 1167)

11. Kasih Sayang Beliau SAW., Terhadap Umatnya

Di antara yang menguatkan hal itu adalah:
Pertama, beliau melarang para shahabatnya untuk melakukan puasa wishal (terus menerus tiap hari) sebagai bentuk kasih sayang beliau kepada mereka. Dalam hal ini, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA., dia berkata, “Rasulullah SAW., melarang Wishal (puasa terus menerus tiap hari) karena kasih sayang beliau terhadap mereka. Lantas mereka berkata, ‘Akan tetapi engkau melakukan wishal.?‘ Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak seperti (kondisi) kalian; sesungguhnya aku diberi makan oleh Rabb-ku.” Dan ketika ada sebagian mereka yang ngotot untuk melakukan itu, beliau SAW., memberikan peringatan dan mencela tindakan mereka tersebut namun ketika sebagian lagi tak mempan dengan peringatan melalui kata-kata, beliau memberikan mereka sanksi dan hal ini beliau lakukan semata-mata karena takut nantinya akan menyusahkan diri mereka sendiri. (Lihat: Shahih Bukhari, hadits no. 1964 dan Shahih Muslim, hadits no. 1105, 1104)

Kedua, beliau tidak shalat malam bersama para shahabatnya secara jama’ah karena khawatir nantinya hal itu akan diwajibkan terhadap mereka. (Lihat: Shahih Bukhari, hadits no. 1129)

12. Perintah Beliau SAW., Agar Orang-Orang Meneluarkan Zakat Fithrah

Indikasinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Tsa’labah RA., dia berkata, “Rasulullah SAW., telah berkhuthbah di hadapan manusia sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Iedul Fithri, lalu bersabda, “Keluarkanlah satu sha’ burr atau qamh (keduanya merupakan jenis gandum) antara dua orang atau satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir (sejenis gandum juga) untuk setiap orang; kecil maupun tua.” (HR Abu Daud dan ‘Abdurrazzaq –lafazh hadits ini berasal darinya; dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

13. Beliau Mewakilkan Sebagian Tugasnya Kepada Para Shahabat

Di antara indikasinya adalah perkataan Abu Hurairah RA., “Rasulullah SAW., mewakilkan kepadaku untuk menangani zakat Ramadhan, lalu seseorang datang kepadaku sembari memberi sedikit makanan dan aku mengambilnya, kemudian aku berkata: ‘aku akan mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW.,” (HR Bukhari)

(SUMBER: Diterjemahkan dari tulisan Syaikh Nashir asy-Syimaly berjudul Barnaamaj I’tikaaf)

BERPUASA BAGI MUSAFIR (1)
Senin, 12 April 04

Naskah Hadits (1)

عن عائشةَ رضيَ الله عنها زوجِ النبيّ صلى الله عليه وسلم: "أَنّ حمزةَ بنَ عمرو الأسلميّ قال للنبيّ صلى الله عليه وسلم: أأصومُ في السفرِ؟ ـ وكان كثيرَ الصيامِ ـ فقال: إنْ شِئتَ فصُم, وإن شِئتَ فأفطِر".

Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha, isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bahwasanya Hamzah bin 'Amr al-Aslamiy berkata kepada Nabi, "Apakah aku boleh berpuasa di dalam perjalanan?." - Dia seorang yang banyak berpuasa - lalu Beliau bersabda, "Jika kamu mau, silahkan berpuasa dan jika kamu mau, silahkan berbuka (tidak puasa)." (HR.Muslim)

Makna Global

Para shahabat telah menyadari bahwa Allah Ta'ala Yang Maha Pengasih tidaklah memberikan keringanan (rukhshoh) berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalan melainkan semata sebagai rahmat dan welas-asih-Nya kepada mereka.
Hamzah al-Aslamiy termasuk orang yang sangat tahan dan kuat fisiknya sehingga mampu berpuasa, dia seorang yang suka terhadap kebaikan dan banyak berpuasa. Lantas dia bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, Apakah dia boleh berpuasa?. Lantas beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memberikan alternatif kepadanya antara terus berpuasa dan berbuka (tidak berpuasa), maka beliaupun menjawab, "Jika kamu mau, silahkan berpuasa dan jika kamu mau, silahkan berbuka (tidak puasa)."

Kandungan Hadits

Ada beberapa kandungan hadits, diantaranya:

  • Dispensasi (rukhshoh/keringanan) untuk berbuka di dalam perjalanan karena ia merupakan kondisi yang dimungkinkan mengalami kesulitan di dalamnya.
  • Terdapat alternatif (pilihan) antara berpuasa dan berbuka (tidak berpuasa) bagi orang yang memiliki fisik yang kuat untuk tetap berpuasa. Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah puasa bulan Ramadlan. Dan hal ini didapat dari penjelasan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan al-Hâkim bahwasanya Hamzah bin 'Amr berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kendaraan (onta) yang aku pergunakan untuk bepergian dan menyewakannya, siapa tahu aku nantinya bertemu dengan bulan ini, yakni Ramadlan sementara aku memiliki kekuatan (fisik) untuk berpuasa dan aku mendapatkan berpuasa bagi diriku lebih ringan ketimbang mengakhirkannya (mengqadlanya) sehingga lantaran itu menjadi hutang bagiku." Maka, beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Yang demikian itu yang kamu maui wahai Hamzah?."

Naskah hadits (2)

عن أنسِ بنِ مالكٍ قال: "كنّا نُسافِرُ معَ النبي صلى الله عليه وسلم, فلم يَعِبِ الصائمُ على المفطِرِ, ولا المفطِرُ على الصائمِ".

Dari Anas bin Malik, dia berkata, "Kami pernah bepergian bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam ; namun beliau tidak pernah mencela orang yang tetap berpuasa (dengan mengutamakan) orang yang berbuka dan juga (tidak mencela) orang yang berbuka (dengan mengutamakan) orang yang tetap berpuasa."

Makna Global

Para shahabat pernah bepergian bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam ; sebagian mereka berbuka (tidak berpuasa) dan sebagian yang lain tetap berpuasa sementara beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam menyetujui hal itu semua sebab hukum asalnya adalah berpuasa sementara berbuka adalah sebagai Rukhshoh, sehingga tidak perlu mengingkari orang yang meninggalkan Rukhshoh.
Oleh karena itu, beliau tidak mencela sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam hal berpuasa ataupun berbuka.

Kandungan Hadits

Diantara kandungannya adalah:

  • Bolehnya berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalanan
  • Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memberikan persetujuan terhadap tindakan para shahabat baik yang berpuasa ataupun berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalanan. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua-duanya adalah boleh hukumnya.

Adapun mengenai perbedaan ulama seputar hal ini, akan dibicarakan pada kajian yang akan datang, insya Allah.

(Diambil dari kitab Taysîr al-'Allâm Syarh 'Umdah al-Ahkâm karya Syaikh 'Abdullah Al-Bassam, Jld.I, h.424-426)

BERPUASA BAGI MUSAFIR ( 2 -Habis )
Senin, 12 April 04

Mukaddimah

Pada bagian yang lalu, kita telah mengkaji hadits-hadits seputar berpuasa bagi musafir, yaitu hadits-hadits yang intinya membolehkan berpuasa.
Dan sebagai yang telah kami janjikan, bahwa pada kajian kali ini kita akan membahas hadits seputar perbedaan pendapat di kalangan ulama berkenaan dengan hal itu.
Semoga bermanfa'at.


Naskah Hadits (3)

عَنْ أَبِي الدّرْدَاءِ رَضِيَ اللّهُ عنه قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَهْرِ رَمَضَانَ, فِي حَرَ شَدِيدٍ. حَتّىَ إِنْ كَانَ أَحَدُنا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَىَ رَأْسِهِ مِنْ شِدّةِ الْحَرّ. وَمَا فِينَا صَائِمٌ, إِلاّ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم وَعَبْدُ اللّهِ بْنُ رَوَاحَةَ. (رواه مسلم)

Dari Abi ad-Dardâ` radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada bulan Ramadlan saat temperatur sedemikian panas, hingga membuat salah seorang diantara kami sampai meletakkan tangannya diatas kepalanya saking panasnya. Dan tidak ada seorang diantara kami yang berpuasa selain Rasulullah dan 'Abdullah bin Rawahah." (HR.Muslim)

Makna Global

Pada bulan Ramadlan, di hari-hari yang demikian panas, Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam keluar bersama para shahabatnya. Karena temperatur yang demikian panas tersebut, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berpuasa selain Nabi dan 'Abdullah bin Rawahah al-Anshoriy radliyallâhu 'anhu.
Mereka berdua sanggup menahan panas tersebut dan berpuasa.

Kandungan Hadits

Kebolehan berpuasa di dalam perjalanan sekalipun kondisinya sangat sulit bahkan sampai membuat badan celaka.

Naskah Hadits (4)

عن جابرِ بنِ عبد الله رضي الله عنهم قال: «كان رسولُ الله صلى الله عليه وسلم في سَفَرٍ فرأى زِحاماً ورجُلاً قد ظُلّلَ عليه فقال: ماهذا؟ فقالوا: صائم, فقال: ليسَ منَ البرّ الصّومُ في السّفَر». رواه البخاري. وفي رواية لمسلم: عليكم برخصة الله التي رخص لكم

Dari Jabir bin 'Abdullah radliyallâhu 'anhum, dia berkata, Pernah dalma satu perjalanan, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam melihat desak-desakan dan seorang laki-laki yang dinaungi (dipayungi), lalu beliau bersabda, "Ada apa dengan orang ini?." Mereka menjawab, "Dia sedang berpuasa." Beliau bersabda, "Bukanlah termasuk 'Birr' (kebajikan) berpuasa di dalam perjalanan." (HR.Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan (sabda beliau), "Hendaklah kalian mengambil rukhshoh (dispensasi/keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada kalian."
(HR.Muslim)

Makna Global

Pada salah satu perjalanannya, Rasulullah pernah melihat manusia saling berdesak-desakan dan seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya kepada mereka perihal orang tersebut. Mereka menjawab bahwa dia sedang berpuasa dan dahaga sedemikan mencekik dirinya. Maka beliau yang demikian pengasih dan mulia hatinya bersabda, "Sesungguhnya berpuasa di dalam perjalanan bukanlah termasuk perbuatan kebajikan akan tetapi hendaknya kalian mengambil rukhshoh yang Allah berikan kepada kalian." Karena Allah Ta'ala tidak menghendaki untuk menyiksa kalian manakala kalian beribadah kepadanya.

Pelajaran Dari Hadits

Diantara pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini:
1. Kebolehan berpuasa di dalam perjalanan dan kebolehan mengambil rukhshoh juga, yaitu dengan berbuka (tidak berpuasa)
2. Berpuasa di dalam perjalanan bukan termasuk perbuatan kebajikan akan tetapi yang mengerjakannya mendapatkan pahala dan telah gugurlah kewajibannya
3. Bahwa yang lebih utama adalah memilih rukhshoh-rukhshoh yang telah diberikan Allah, yang dengannya beban para hamba menjadi ringan.

Pendapat Para Ulama

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum berpuasa di dalam perjalanan. Setidaknya, ada dua pendapat:

I. Menyatakan harus berbuka (tidak puasa)

Sebagian ulama Salaf sangat keras berpendapat bahwa bilamana seorang Musafir berpuasa, maka puasanya tersebut tidak mendapatkan pahala apa-apa. Ini adalah pendapat Imam az-Zuhriy, an-Nakha'iy. Pendapat ini juga diriwayatkan dari para shahabat seperti 'Abdurrahman bin 'Auf, Abu Hurairah dan Ibn 'Umar serta merupakan madzhab Ahli Zhahir.

Dalil

  • Firman Allah Ta'ala dalam surat al-Baqarah, ayat 185, yaitu (artinya),
    "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
    Arahan ayat:
    Mereka berkata bahwa dalam ayat ini Alllah tidak mewajibkan puasa kecuali atas orang yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) dan telah mewajibkan atas orang yang sakit dan Musafir pada hari-hari yang lain.
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pernah keluar pada tahun penaklukan Mekkah ('Am al-Fath) di bulan Ramadlan. Ketika itu beliau berpuasa hingga sampai di suatu tempat bernama Kirâ' al-Ghamîm. Orang-orang yang ikut serta ketika itu juga berpuasa. Kemudian beliau mengambil sebuah bejana air, lalu mengangkatnya hingga orang-orang melihatnya, kemudian beliau meminumnya. Setelah itu, ada yang bertanya, "Sesungguhnya ada sebagian orang di sini yang masing berpuasa."
    Maka beliau menjawab, "Mereka itulah para pembangkang (pelaku maksiat karena menentang Rasulullah), mereka itulah para pembangkang."
    Dalam hadits ini, beliau menyatakan "mereka itulah para pembangkang" karena tindakan mereka berpuasa.
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariy dari Jabir, di dalamnya disebutkan "Bukanlah termasuk kebajikan, berpuasa di dalam perjalanan."

II. Boleh berpuasa ataupun tidak berpuasa.

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama, diantaranya ulama Empat Madzhab.
Dalil
Jumhur ulama juga mengemukakan dalil-dalil yang kuat, diantaranya hadits-hadits yang telah kita bahas:

  • Hadits yang diriwayatkan oleh Hamzah al-Aslamiy, "Jika kamu mau, silahkan berpuasa dan jika kamu mau, silahkan berbuka."
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Anas, "Kami pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam namun tidak ada orang yang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa, demikian juga tidak ada orang yang tidak berpuasa mencela orang yang berpuasa."
  • Hadits Abu Dardâ` diatas, yang menyatakan bahwa Rasulullah dan 'Abdullah bin Rawahah tetap berpuasa.

Bantahan Mereka Terhadap Pendapat Pertama

  • Terhadap argumentasi dengan ayat diatas, orang yang karenanya ayat tersebut turun (alias Rasulullah) sesudah turunnya ayat tersebut juga pernah berpuasa sementara beliau adalah manusia yang paling mengetahui maknanya. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa maknanya bukan seperti yang kalian sebutkan itu.

    Kebanyakan para ulama menyebutkan bahwa di dalam ayat tersebut ada yang dbuang (tidak dinampakkan), seharusnya ada kata "lalu ia berbuka (tidak puasa)". Jadi, bunyinya, "…dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka)…" (Dalam hal ini, persis seperti pada terjemah al-Qur'an oleh DEPAG-red.,)
  • Adapun argumentasi mereka dengan sabda Rasulullah, "Mereka itulah para pembangkang" , maka hal itu merupakan kondisi khusus, yaitu terhadap orang-orang yang merasa kesulitan untuk meneruskan puasa sehingga beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pun berbuka agar mereka mengikuti beliau namun mereka tidak mau, maka disabdakanlah demikian karena ketidakmauan mereka mengikuti tuntunan beliau.
  • Adapun jawaban terhadap hadits, "Bukan termasuk kebajikan berpuasa di dalam perjalanan", maka maknanya adalah bahwa berpuasa di dalam perjalanan bukan termasuk kebajikan yang dimaksudkan untuk berlomba-lomba di dalamnya. Alias bila ingin berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan kondisi dalam perjalanan ini tempatnya.
    Sebab bisa jadi berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalanan adalah lebih utama bila di sana terdapat kesulitan atau ia dapat membantu untuk berjihad sementara Allah suka bila rukhshoh-rukhshoh yang diberikannya diambil oleh hamba-Nya sebagaimana Dia benci bilamana perbuatan-perbuatan maksiat dilakukan terhadap-Nya.

Masalah: Mana Yang Lebih Utama, Berpuasa atau Berbuka?

Setelah sependapat dalam hal kebolehan berpuasa atau tidak berpuasa di dalam perjalanan, Jumhur ulama berbeda pendapat seputar; mana yang lebih utama, berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa)?

Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

  • Menyatakan bahwa berpuasa lebih utama bagi orang yang mendapatkan kesulitan di dalam perjalanan
    Ini merupakan pendapat tiga imam madzhab, yaitu Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'iy

    Dalil

    Ada beberapa hadits, diantaranya:
    - Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Salamah bin al-Muhbiq dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, beliau bersabda (artinya), "Barangsiapa yang memiliki kendaraan yang menyebabkannya dalam kondisi kenyang (tidak mendapatkan kesulitan apapun), maka hendaklah dia berpuasa kapanpun dia mendapatkannya."
  • Menyatakan bahwa berbuka di bulan Ramadlan adalah lebih utama sekalipun tidak mendapatkan kesulitan di dalam perjalanan.
    Ini adalah pendapat Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat Sa'id bin al-Musayyib, al-Awza'iy dan Ishaq bin Rahawaih.

    Dalil

    Mereka berdalil dengan hadits-hadits:
    1. Hadits yang kita bahas, "Bukan termasuk kebajikan, berpuasa di dalam perjalanan."
    2. hadits, "Sesungguhnya Allah suka bila rukhshoh-rukhshohnya dijalankan."

FAEDAH

Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan standar perjalanan yang dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) dan meringkas shalat (Qashar).

Pendapat yang tepat adalah bahwa tidak ada standar khusus sebagaimana yang biasa disebutkan oleh para ulama karena tidak satupun ada dalil yang menguatkan hal itu, yang berasal dari asy-Syâri' (Allah Ta'ala).

Allah Ta'ala bahkan telah menyebutkan kata Safar (bepergian/perjalanan) secara mutlaq (tanpa mengait-ngaitkan dengan sesuatu) sehingga kita juga patut menjadikannya seperti itu.
Artinya, sesuatu yang dianggap sebagai Safar maka dibolehkan padanya rukhshoh-rukhshoh yang berkenaan dengan Safar tersebut.

(Diambil dari kitab Taysîr al-'Allâm Syarh 'Umdah al-Ahkâm karya Syaikh 'Abdullah Al-Bassam, Jld.I, h.426-430)

========================================================================

ANCAMAN BAGI ORANG YANG TIDAK BERPUASA RAMADLAN TANPA UDZUR SYAR’I

Senin, 12 April 04

عن أبي هُرَيْرَةَ قالَ: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم "مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ رُخْصَةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عنهُ صَوْمُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ". رواه الترمذي

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa mendapatkan rukhshoh (keringanan) dan juga tanpa adanya sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.at-Turmudziy)

عن أبي هُرَيْرَةَ قالَ: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم "مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ عِلَّةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ" . ذكره البخاري معلقا

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur) ataupun sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.al-Bukhariy secara Ta'liq)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur), maka tidak ada artinya puasa selama setahun hingga dia bertemu dengan Allah; jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya dan bila Dia menghendaki, maka Dia akan menyiksanya." (Lihat, Fathul Bâriy, Jld.IV, h.161)

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahiliy radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, 'Tatkala aku sedang tidur, tiba-tiba datang dua orang kepadaku, lantas meraih kedua lengan atasku, kemudian membawaku pergi ke bukit yang terjal. Keduanya berkata, 'Naiklah.' Lalu aku berkata, 'Aku tak sanggup.' Keduanya berkata lagi, 'Kami akan membimbingmu supaya lancar.' Maka akupun naik hingga bilamana aku sudah berada di puncak gunung, tiba-tiba terdengar suara-suara melengking, maka akupun berkata, 'Suara-suara apa ini?.' Mereka bekata, 'Ini teriakan penghuni neraka.' Kemudian keduanya membawaku pergi, tiba-tiba aku sudah berada di tengah suatu kaum yang kondisinya bergelantungan pada urat keting (urat diatas tumit) mereka, sudut-sudut mulut (tulang rahang bawah) mereka terbelah sehingga mengucurkan darah.' Aku bertanya, 'Siapa mereka itu?.' mereka menjawab, 'Merekalah orang-orang yang berbuka (tidak berpuasa) sebelum dihalalkannya puasa mereka (sebelum waktu berbuka).' " . (HR.an-Nasa`iy, di dalam as-Sunan al-Kubro sebagaimana di dalam buku Tuhfatul Asyrâf, Jld.IV, h.166; Ibn Hibban di dalam kitab Zawâ`id-nya, No.1800; al-Hâkim, Jld.I, h.430 . Dan sanadnya adalah Shahîh. Lihat juga, Kitab Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, No.995, Jld.I, h.420)

Demikianlah gambaran yang amat mengenaskan dari azab yang kelak akan dialami oleh mereka-mereka yang melanggar kehormatan bulan suci Ramadlan dan mengejek syi'ar yang suci ini dengan tidak berpuasa di siang bolong secara terang-terangan. Sungguh, mereka akan digantung dari ujung kaki mereka layaknya binatang yang digantung saat akan disembelih dimana posisi kakinya diatas dan kepala di bawah. Ditambah lagi, sudut-sudut mulut mereka juga akan terbelah dan mengucurkan darah. Kondisi tersebut benar-benar menjadi gambaran yang sadis dan mengenaskan.

Apakah setelah itu, mereka yang telah berbuat zhalim terhadap diri mereka sendiri, melanggar kehormatan bulan yang diberkahi ini, tidak mengindahkan kehormatan waktu dan hak Sang Khaliq dan menghancurkan rukun ke empat dari rukun Islam tanpa mau ambil peduli untuk apa mereka sebenarnya diciptakan tersebut, mau menjadikannya sebagai pelajaran berharga?

Ucapan Para Ulama

Sementara para ulama menyatakan bahwa orang yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadlan tanpa 'udzur, maka dia telah melakukan salah satu dari perbuatan dosa besar (Kaba`ir).
Berikut beberapa ucapan para ulama:

  • Imam adz-Dzahabiy berkata, "Dosa besar ke-enam adalah orang yang berbuka pada akhir Ramadlan tanpa 'udzur.." (al-Kabâ`ir:49)
  • Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, "Bilamana orang yang muntah dianggap sebagai orang yang diterima 'udzurnya, maka apa yang dilakukannya adalah boleh hukumnya. Dengan begitu, dia termasuk kategori orang-orang sakit yang harus mengqadla puasa dan tidak termasuk pelaku dosa-dosa besar yang mereka itu berbuka (di bulan Ramadlan) tanpa 'udzur…" (Majmu' Fatawa:XXV/225)
  • al-Quffâl berkata, "…Dan barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadlan selain karena jima' tanpa 'udzur, maka wajib baginya mengqadla dan menahan diri dari sisa harinya. Dalam hal ini, dia tidak membayar kaffarat (tebusan) namun dia dita'zir oleh penguasa (diberi sanksi yang pas menurut mashlahat yang dipandangnya). Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Daud azh-Zhahiriy…" (Hilyah al-Awliyâ`:III/198)
  • Syaikh Abu Bakar al-Jazâ`iriy sebagai yang dinukilnya dari Imam adz-Dzahabiy berkata, "…Sebagai yang sudah menjadi ketetapan bagi kaum Mukminin bahwa barangsiapa yang meningglkan puasa bulan Ramadlan bukan dikarenakan sakit atau 'udzur maka hal itu lebih jelek daripada pelaku zina dan penenggak khamar bahkan mereka meragukan keislamannya dan menganggapnya sebagai Zindiq atau penyeleweng…" (Risalah Ramadlan:66)

Seruan

Sesungguhnya orang-orang yang dengan terang-terangan berbuka (tidak berpuasa) di siang bolong pada bulan Ramadlan sementara kondisi mereka sangat sehat dan tidak ada 'udzur yang memberikan legitimasi pada mereka untuk tidak berpuasa adalah orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu terhadap Allah dan rasa takut terhadap para hamba-Nya, otak-otak mereka telah dipenuhi oleh pembangkangan, hati mereka telah dipermainkan dan disentuh oleh syaithan dan gelimang dosa.
Mereka tidak menyadari bahwa dengan tidak berpuasa tersebut, berarti mereka telah menghancurkan salah satu dari rukun-rukun dien ini. Mereka adalah orang-orang yang fasiq, kurang iman dan rendah derajat. Kaum Muslimin akan memandang mereka dengan pandangan hina. Mereka termasuk para pelaku maksiat yang besar dan kelak di hari Kiamat, siksaan Allah Yang Maha Perkasa Lagi Kuasa telah menunggu mereka.
Semoga Allah menjauhkan kita dari hal itu, nau'ûdzu billâhi min dzâlik. Wallahu a'lam.

(Diambil dari buku ash-Syiyâm; Ahkâm Wa Adâb karya Prof.Dr.Syaikh 'Abdullah ath-Thayyar, h.109-111)

=======================================================================

LARANGAN PENGKHUSUSAN PUASA HARI JUM’AT
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa alasan dilarangnya pengkhususan hari Jum'at untuk berpuasa ? Apakah termasuk juga puasa pengganti (pembayaran hutang puasa) ?

Jawaban.
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Janganlah kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum'at, kecuali jika berpuasa sehari sebelum atau setelahnya" [Ditakhrij oleh Muslim : Kitabush Shaum/Bab Karahiatu Shiyam Yaumul Jum'ah Munfaridan (1144)]

Hikmah dalam larangan pengkhususan hari Jum'at dengan puasa adalah bahwa hari Jum'at merupakan hari raya dalam sepekan, dia adalah salah satu dari tiga hari raya yang disyariatkan ; karena Islam memiliki tiga hari raya yakni Idul Fitri dari Ramadhan, Idul Adha dan Hari raya mingguan yakni hari Jum'at. Oleh sebab itu hari ini terlarang dari pengkhususan puasa, karena hari Jum'at adalah hari yang sepatutnya seseorang lelaki mendahulukan shalat Jum'at, menyibukkan diri berdoa, serta berdzikir, dia serupa dengan hari Arafah yang para jama'ah haji justru tidak diperintahkan berpuasa padanya, karena dia disibukkan dengan do'a dan dzikir, telah diketahui pula bahwa
ketika saling berbenturan beberapa ibadah yang sebagiannya bisa ditunda maka lebih didahulukan ibadah yang tak bisa ditunda daripada ibadah yang masih bisa ditunda.

Apabila ada orang yang berkata, "Sesungguhnya alasan ini, bahwa keadaan Jum'at sebagai hari raya mingguan seharusnya menjadikan puasa pada hari itu menjadi haram sebagaimana dua hari raya lainnya (Fitri dan Adha) tidak hanya pengkhususannya saja".

Kami katakan, "Dia (Jum'at) berbeda dengan dua hari raya itu ; sebab dia berulang di setiap bulan sebanyak empat kali, karena ini tiada larangan yang berderajat haram padanya, selanjutnya di sana ada sifat-sifat lain dari dua hari raya tersebut yang tidak didapatkan di hari Jum'at.

Adapun apabila dia berpuasa satu hari sebelumnya atau sehari sesudahnya maka puasanya ketika itu diketahui bahwa tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan hari Jum'at dengan puasa ; karena dia berpuasa sehari sebelumnya yaitu Kamis atau sehari sesudahnya yaitu hari Sabtu.

Sedangkan soal seorang penanya, "Apakah larangan ini khusus untuk puasa nafilah (sunah) atau juga puasa Qadha (pengganti hutang puasa) ?

Sesungguhnya dhahir dalilnya umum, bahwa makruh hukumnya mengkhususkan puasa sama saja apakah untuk puasa wajib (qadla) atau puasa sunnah, -Ya Allah-, kecuali kalau orang yang berhutang puasa itu sangat sibuk bekerja, tidak pernah longgar dari pekerjaannya sehingga dia bisa membayar hutang puasanya kecuali pada hari Jum'at, ketika itu dia tidak lagi makruh baginya untuk mengkhususkan hari Jum'at untuk berpuasa ; karena dia memerlukan hal itu.


[Majmu Fatawa Arkanul Islam edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Pustaka Arafah hal. 525-526]

PENENTUAN DIMULAI DAN DIAKIRI PUASA RAMADLAN
Sabtu, 10 April 04

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiallahu 'anhuma, dia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "jika kalian melihatnya (bulan sabit yang mengawali bulan Ramadhan-red) maka berpuasalah*, dan jika kalian melihatnya (bulan sabit yang mengawali bulan Syawwal-red) maka berbukalah; jika kalian dikabuti oleh awan (sehingga tidak bisa/terhalangi melihatnya-red) maka perkirakanlah hitungannya (dengan menyempurnakan bulan yang berkabut awan tersebut, yakni bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari-red)".
* dengan meniatkan puasa pada malam harinya untuk esok harinya


Takhrij Hadits Secara Global

Hadits ini ditakhrij (dikeluarkan) oleh Imam al-Bukhari dengan lafazh diatas, Imam Muslim, an-Nasai dan Ibnu Majah.

Makna Hadits Secara Global

Hukum-Hukum syara' ini dibangun atas al-Ashl (pondasi, pokok, landasan) sehingga tidak boleh beralih darinya kecuali dengan secara yakin.

Diantaranya; bahwa hukum asal dalam penentuan bulan Ramadhan adalah masih berjalannya bulan Sya'ban dan terbebasnya dzimmah (tanggungan dalam diri) dari kewajiban berpuasa, selama bulan Sya'ban tersebut belum sempurna tiga puluh hari sehingga diketahui telah berakhir atau melihat bulan sabit sebagai pertanda dimulainya bulan Ramadhan sehingga diketahui ia telah masuk.

Oleh karena itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengaitkan berlakunya hukum puasa dan tidaknya di bulan Ramadhan dengan (dapat atau tidaknya) melihat (ru'yah) bulan sabit. Jika disana terdapat kabut awan, salju atau semisalnya maka beliau Shallallahu 'alaihi Wasallam memerintahkan agar mereka memperkirakan hitungannya; yaitu dengan menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari penuh, kemudian baru mereka memulai puasa. Hal ini dilakukan berdasarkan kaidah yang berbunyi: "hukum asal sesuatu adalah masih berlaku/berjalannya statusnya yang terdahulu (yang sudah berlaku/berjalan) sebagaimana adanya".

Perbedaan Para Ulama

Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena terjadinya perbedaan penafsiran terhadap makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam; (faqduruu lahu) apakah maknanya "perkirakanlah hitungannya (dengan menyempurnakan hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari) " atau "persempitlah (ciutkan hitungan) bulan Sya'ban dan perkirakanlah (hitunglah) menjadi dua puluh sembilan hari saja".

Diantara implikasi dari adanya perbedaan diatas adalah timbulnya perbedaan para ulama mengenai beberapa masalah:

A. Masalah berpuasa pada tanggal 30 bulan Sya'ban; bila pada saat itu bulan sabit tidak muncul/kelihatan karena diselimuti oleh kabut awan, salju atau hal lainnya yang tidak memungkinkan untuk melihatnya (ru'yah). Terdapat dua pendapat para ulama mengenai hal itu:

Wajib berpuasa pada hari itu sebagai bentuk zhann (sangkaan; yang persentase kemungkinan benarnya adalah lebih dari 50%-red) dan tindakan ihtiath (preventif) ; ini adalah pendapat yang masyhur dari mazhab Imam Ahmad (pendapat ini dianggap sebagai mufradaat Imam Ahmad [satu-satunya pendapat di kalangan para imam mazhab yang empat] dan juga pendapat yang diriwayatkan dari sejumlah para shahabat, diantaranya; Abu Hurairah, Ibnu 'Umar, 'Aisyah dan Asma'.

Dalil :
Berdasarkan pengertian sabda nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ; (faqduruu lahu) yang ditafsirkan dengan makna persempitlah (ciutkan hitungan) bulan Sya'ban dan perkirakanlah (hitunglah) ia menjadi dua puluh sembilan hari saja.

Tidak wajib berpuasa pada hari itu, dan jika berpuasa dengan menjadikannya sebagai ganti dari hari bulan Ramadhan maka hal itu dari sisi hukum tidak dianggap alias tidak shah ; ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya tiga imam mazhab (selain Imam Ahmad); Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi'i dan Imam Malik. Demikian juga, pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah. Beliau menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang demikian banyak dari Imam Ahmad menunjukkan dia memilih pendapat ini juga. Dan diantara para ulama besar mazhab Hanbali yang memilih pendapat ini adalah Abul Khaththab dan Ibnu 'Aqil. Pengarang buku "al-Furu' " berkata: "saya tidak menemukan indikasi bahwa Imam Ahmad secara terang-terangan mewajibkan hal itu ataupun memerintahkannya; oleh karenanya tidak patut pendapat tersebut (yang menyatakan beliau mewajibkan berpuasa pada hari itu) dinisbatkan kepada beliau.Dalil :
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhan (Imam Bukhari dan Muslim) dari Abu Hurairah secara marfu' , sabda nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam : "Berpuasalah kalian (dengan meniatkan puasa malam harinya untuk esok harinya-red) karena melihatnya (munculnya bulan sabit pertanda datangnya bulan Ramadhan-red) dan berbukalah ( menghentikan puasa) karena melihatnya (munculnya bulan sabit pertanda datangnya bulan Syawwal-red); lalu jika kalian dikabuti oleh awan (sehingga tidak dapat/terhalangi melihatnya-red) maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari (penuh)".
Jadi, hadits ini dan semisalnya menjelaskan tentang makna pertama yaitu " perkirakanlah hitungannya (dengan menyempurnakan hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari) " .

Pendapat Jumhur ulama tersebut dipertegas lagi oleh Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya al-Hadyu dimana beliau mendukung pendapat Jumhur dan menyanggah selain pendapat tersebut. Beliau juga menjelaskan bahwa tidak ada pendapat seorangpun dari para shahabat yang sharih (secara terang-terangan) yang dapat dipertanggung jawabkan kecuali dari Ibnu 'Umar yang memang dikenal sebagai orang yang amat keras dan preventif dalam berpendapat.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah juga menyatakan bahwa pendapat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad berkenaan dengan wajibnya berpuasa pada hari yang diragukan (30 Sya'ban) tidak otentik dan valid. Demikian pula halnya dengan yang dinisbatkan kepada para shahabat Imam Ahmad meskipun sebagian dari mereka meyakini bahwa wajibnya berpuasa pada hari tersebut termasuk pendapat beliau. Pendapat beliau yang sharih dan dicantumkan secara tertulis dari beliau adalah bolehnya berbuka atau berpuasa pada hari itu. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas para shahabat dan Tabi'in. Pokok-Pokok utama syari'at secara keseluruhan telah menetapkan bahwa tindakan preventif (al-Ihtiath) tidak memiliki implikasi wajib ataupun diharamkan.

B. Masalah ; jika bulan sabit pertanda dimulainya bulan Ramadhan terlihat di suatu negeri, apakah hal itu mengharuskan semua orang berpuasa atau tidak? Setidaknya terdapat empat pendapat mengenai hal ini:

Wajib atas seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada untuk berpuasa ; ini adalah pendapat yang ma.syhur dari Imam Ahmad dan para pengikutnya serta merupakan mufradaat mazhab beliau. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah.
Alasannya ; karena masuknya bulan Ramadhan telah mantap dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya pun demikian, maka wajib berpuasa atas dasar tersebut.

Tidak wajib berpuasa bagi penduduk negeri yang lain bahkan setiap penduduk negeri dapat menentukan ru'yahnya secara tersendiri ; ini adalah pendapat sebagian ulama, yaitu pendapat al-Qasim bin Muhammad, Salim bin 'Abdullah dan Ishaq bin Rahawaih.
Alasannya ; berdasarkan riwayat Kuraib yang berkata: "aku datang ke Syam (dan sudah berada disana) dimana ketika itu sudah mulai memasuki bulan Ramadhan; lalu kami melihat munculnya bulan sabit pada malam Jum'at. Kemudian di akhir bulan, aku kembali ke Madinah lalu Ibnu 'Abbas menanyaiku (tentang banyak hal) kemudian menyinggung tentang bulan sabit seraya berkata: 'kapan pertamakali kalian melihat munculnya bulan sabit (pertanda masuknya bulan Ramadhan)?. Lantas aku memberitahukan beliau tentang hal itu. Beliau berkata: 'Tetapi kami telah melihatnya (dalam riwayat yang lain; memakai shighat fi'il al-Mudhari' –red) muncul pada malam Sabtu dan kami masih berpuasa hingga kami menyelesaikannya tiga puluh hari penuh'. Lalu aku berkata: 'bukankah cukup bagimu ru'yah Mu'awiyah dan puasanya?'. Beliau menjawab: 'tidak! Demikianlah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada kami". (H.R.Muslim).

Perlu rincian lagi; jika al-Mathaali' – jamak dari kata mathla' - (posisi munculnya bulan) berbeda maka masing-masing negeri harus berdasarkan mathla' nya sendiri, sedangkan jika hal itu sama maka hukum puasa dan tidak puasanya bagi mereka satu paket ; ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam asy-Syafi'i dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah.

Jika jarak antara kedua negeri kurang dari 2226 Km maka hilal (bulan sabit) mereka satu paket, dan jika lebih dari jarak tersebut maka tidak satu paket ; ini adalah pendapat as-Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab al-Marakisyi sebagaimana yang dinyatakan dalam kitabnya "al-'Azbuz Zallal fii Mabaahits Ru'yatil Hilal".

INTISARI HADITS

  • Berpuasa di bulan Ramadhan terkait dengan ru'yah semua orang atau sebagian mereka terhadap hilal (bulan sabit). Ibnu Daqiq al-'Ied menolak untuk mengaitkan hukumnya berdasarkan perhitungan ahli nujum (astrolog). Selanjutnya, ash-Shan'ani menjelaskan andaikata hal itu terbatas kepada perhitungan (hisab) mereka niscaya hanya sedikit orang yang mengetahuinya sedangkan syara' dibangun atas apa yang diketahui oleh banyak orang.
  • Berbuka (tidak berpuasa) juga terkait dengan hal tersebut.
  • Bahwasanya jika hilal tidak terlihat, maka mereka tidak berpuasa melainkan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, demikian pula mereka tidak berbuka melainkan menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan menjadi tiga puluh hari.
  • Bahwasanya jika terdapat kabut awan, mereka memperkirakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari penuh. Ash-Shan'ani berkata: "Jumhur Fuqaha dan Ahli Hadits berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sabdan beliau (faqduruu lahu) adalah menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari sebagaimana yang ditafsirkan dalam hadits yang lain.

(Disadur dari kitab Taysiirul 'Allaam Syarhu 'Umdatil Ahkaam , karya Syaikh 'Abdullah Ali Bassam, jld. I, hal. 409-413, hadits ke-175).

Beberapa Pertanyaan Yang Diajukan Kepada
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah Seputar Ke-dua ‘Ied


1. Dalam bab: Shalat dua Hari Raya, Syaikhul Islam ditanya, “Apakah ada bacaan tertentu dalam kedua shalat Hari Raya/’Ied? Dan apa yang boleh dibaca oleh seseorang antara kedua takbir?”

Beliau menjawab: alhamdulillah, boleh membaca apapun, sebagaimana boleh membaca apa saja dalam semua shalat. Akan tetapi bila dia membaca surat Qaaf, Iqtarabat atau lainnya yang ada atsarnya maka hal itu adalah baik. Adapun mengenai bacaan antara takbir-takbir tersebut; dia memuji Allah, dan membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan berdoa dengan doa apa saja yang dia inginkan. Demikian yang diriwayatkan oleh para ulama dari Abdullah bin Mas’ud. Dan jika dia mengucapkan:

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

Maka hal itu adalah baik. Demikian juga dia membaca:

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

Atau selain itu, tidak satupun dari bacaan-bacaan itu yang ditentukan dari Nabi dan para Shahabat. Wallâhu a'lam .

2. Beliau ditanya tentang sifat takbir dalam dua Hari Raya/’Ied, dan kapan waktunya?

Beliau menjawab: alhamdulillah, pendapat yang paling shahih dalam masalah takbir yang merupakan mazhab Jumhur Salaf, Fuqaha Shahabat dan para Imam-Imam; dia bertakbir mulai dari fajar hari ‘Arafah hingga akhir Hari-Hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijjah-red) setelah tiap shalat. Dan disyari’atkan bagi setiap orang untuk mengeraskan takbir ketika keluar menuju shalat ‘Ied. Ini merupakan kesepakatan empat imam mazhab. Sifat takbir yang dinukil dari mayoritas para shahabat ; telah diriwayatkan secara marfu’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, bacaan :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Dan jika dia membaca: Allaahu Akbar tiga kali, maka hal itu boleh. Dan diantara Fuqaha ada yang bertakbir tiga kali saja, dan ada yang bertakbir tiga kali dan membaca:

لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Adapun takbir dalam shalat maka makmun bertakbir mengikuti imam. Mayoritas para shahabat radhiallâhu 'anhum dan para imam mazhab bertakbir tujuh kali di raka’at pertama dan lima kali di raka’at kedua. Dan jika dia mau, dia boleh membaca diantara dua takbir:

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

Maka hal itu adalah baik, dan sebagian Salaf melakukannya. Wallâhu a'lam . (lihat: Majmu’ fatawa Ibni Taimiyyah, jld. 24).

3. Beliau ditanyai, “Apakah hukum takbir di Hari ‘Iedul Fithri lebih wajib dari ‘Iedul Adhha? Mohon penjelasan, semoga Allah mengganjar pahala kepada anda?”

Beliau menjawab: mengenai takbir, maka hal itu disyari’atkan secara ittifaq (kesepakatan ulama) pada Hari ‘Iedul Adhha. Demikian juga halnya di Hari ‘Iedul Fithri, menurut Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Imam ath-Thahawy menyebutkan satu mazhab lagi yaitu mazhab Abu Hanifah dan shahabat-shahabatnya. Sedangkan riwayat yang masyhur bahwa mereka bukan begitu alias menyalahi pendapat tersebut akan tetapi takbir dalam Hari ‘Iedul Fithri merupakan perbuatan para shahabat radhiallâhu 'anhum dan lebih kuat legitimasinya ditinjau dari sisi bahwa hal itu diperintahkan oleh Allah dalam firmanNya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) # dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat”.

Takbir pada Hari ‘Iedul Fithri: dimulai dengan melihat bulan sabit dan diakhiri dengan berakhirnya Hari ‘Ied yaitu setelah usainya Imam berkhuthbah menurut pendapat yang shahih. Sedangkan takbir pada Hari Qurban/‘Iedul Adhha maka legitimasinya lebih kuat ditinjau dari sisi bahwa takbir tersebut disyari’atkan (diucapkan) setelah usai setiap shalat fardhu, dilegitimasi secara ittifaq, pada Hari Qurban ini takbir tersebutkan secara bersama-sama dalam satu tempat dan waktu serta Hari Qurban ini lebih utama dari Hari ‘Idul Fithri.

Oleh karena itu bentuk ibadah di dalamnya adalah berupa penyembelihan hewan Qurban dan shalat. Sedangkan dalam ‘Iedul Fithri bentuknya berupa sedekah dan shalat. Menyembelih hewan Qurban tentu lebih utama daripada bersedekah karena didalamnya terkumpul dua ibadah; badaniah dan maliah/harta.

Menyembelih merupakan ibadah badaniah dan maliah/harta sedangkan bersedekah dan memberi hadiah merupakan ibadah harta saja dan juga karena bersedekah pada Hari ‘Iedul Fithri merupakan follow up dari puasa, sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkannya sebagai bentuk penyucian bagi orang yang berpuasa dari bentuk-bentuk penyia-nyiaan waktu dan berjima’ serta pemberian makanan kepada orang-orang miskin.

Karenanya pula disunnahkan untuk dikeluarkan (zakat fithrah) sebelum shalat, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “telah beruntunglah orang yang menyucikan diri”. “dan dia menyebut nama Tuhannya …” Sedangkan nusuk (ibadah-ibadah pada waktu haji) maka ia disyari’atkan pada hari itu sendiri sebagai bentuk ibadah yang independen, oleh karenanya disyar’iatkan setelahnya shalat, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “maka dirikanlah shalt karena Tuhanmu dan berkorbanlah # sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” Orang-orang yang melakukan shalat di negeri-negeri lain (selain Mekkah) kedudukannya setara dengan melempar jumrah ‘aqabah bagi jemaah haji. Sedangkan kurban yang mereka sembelih di negeri-negeri tersebut kedudukannya setara dengan dam yang disembelih oleh jemaah haji.

Dalam hadits yang terdapat di kitab as-Sunan disebutkan: “seutama-utama hari disisi Allah adalah Hari an-Nahr (tanggal 10 dzulhijjah/penyembelihan qurban/’Iedul Adhha). Dan dalam hadits yang lain di kitab as-Sunan tersebut dan dishahihkan oleh Imam at-Turmuzi, “Hari ‘Arafah, Hari an-Nahr (‘Iedul Adhha, qurban) dan Hari-Hari Mina (Hari-Hari Tasyriq:11, 12, 13 dzulhijjah) adalah Hari ‘Ied/Raya kita, Ahlul Islam; ia adalah Hari-Hari untuk makan, minum dan zikrullah.”

Oleh karena itulah, menurut pendapat yang shahih dari banyak pendapat para ulama bahwa peduduk di negeri-negeri Islam bertakbir dari fajar/shubuh hari ‘Arafah hingga akhir Hari-Hari Tasyriq, berdasarkan hadits tersebut dan hadits lain yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Jabir dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Juga karena hal tersebut merupakan ijma’ para Kibaarush Shahabah (pembesar shahabat). Wallâhu a'lam .

4. Beliau rahimahullah, ditanyai tentang, “Apakah ucapan selamat “ ‘iiduka Mubaarak” yang sering diucapkan oleh orang-orang memiliki landasan dari syari’ah ataukah tidak?, jika ya, maka apa yang semestinya diucapkan.?” Mohon kami diberi fatwa mengenai hal itu, semoga Allah memberikan ganjaran pahala kepada anda.

Beliau menjawab: mengenai ucapan selamat pada Hari ‘Ied, yang diucapkan oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lain setelah shalat ‘Ied dengan, “Taqabballallaahu minna waminkum wa ahaalahullaahu ‘alaika,” dan sebagainya.

Ucapan semacam itu telah diriwayatkan dari sebagian shahabat bahwa mereka melakukan hal itu dan oleh para imam mazhab seperti Imam Ahmad dan yang lainnya memberikan rukhshah/dispensasi terhadap hal tersebut.

Akan tetapi Imam Ahmad, berkata: “Saya tidak akan memulai dengan ucapan tersebut terhadap siapapun akan tetapi bila ada orang yang memulainya terhadapku maka aku akan menjawabnya karena menjawab tahiyyah (ucapan salam) adalah wajib sedangkan memulai dengan ucapan selamat seperti itu bukan merupakan sunnah yang diperintahkan untuk mengucapkannya namun juga bukan termasuk yang dilarang; jadi, siapa yang melakukannya maka dia adalah qudwah (suri teladan) dan siapa yang tidak melakukannya pun maka dia adalah qudwah”. Wallâhu a'lam . (Majmuu’ Fataawa, Jld.XXIV, h.253)

HUKUM UCAPAN SELAMAT HARI RAYA IED DAN LAFAZHNYA

Senin, 08 Nopember 04

Mengenai hukum ucapan selamat pada hari ‘Ied penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Di dalam kitab al-Jawhar an-Naqiyy Haasyiyah al-Baihaqy (Jld.III, h.320-321), Ibn at-Turkumaany berkata, “Menurutku, Di dalam bab ini –yakni mengenai ucapan selamat pada hari ‘Ied- terdapat hadits yang kualitasnya Jayyid namun terlewatkan oleh al-Baihaqy, yaitu hadits Muhammad bin Ziyad, dia berkata, ‘Aku bersama Abu Umamah al-Bahily dan para shahabat Nabi lainnya; bila mereka kembali, masing-masing mengucapkan kepada yang lainnya, Taqabballaahu minna wa minkum. Imam Ahmad berkata, ‘Sanadnya Jayyid.”

2. Syaikh al-Albany berkata di dalam bukunya Tamaam al-Minnah (h.356), “Pengarang (yakni Sayyid Sabiq, pengarang buku Fiqhussunnah—red.,) tidak menyebutkan siapa periwayatnya padahal Imam as-Suyuthy telah menisbatkannya kepada Zahir juga dengan Sanad Hasan dari Muhammad bin Ziyad al-Alhaany, yang merupakan seorang periwayat yang Tsiqah. Dia (as-Suyuthy) mengatakan, ….dst.”
Dan Zahir ini adalah Ibn Thahir, pengarang buku Tuhfah ‘Ied al-Fithr sebagaimana yang disebutkan Syaikh al-Abany.

3. Ibn Qudamah di dalam kitabnya al-Mughny (Jld.II, h.259) menukil perkataan Imam Ahmad perihal penilaiannya terhadap sanad hadits, yaitu Jayyid, “tetapi wallahu a’lam dengan kondisi para periwayat lainnya yang belum disebutkan dalam atsar tersebut. Pada dasarnya, perkataan Imam Ahmad dapat diterima hingga kita melihat ada pendapat yang bertentangan dengannya. Wallahu a’lam.”

4. Di dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib (Jld.I, h.251), al-Ashbihany mengeluarkan dari Shafwan bin ‘Amr as-Sakisky, dia berkata, “Aku telah mendengar ‘Abdullah bin Yusr, ‘Abdurrahman bin ‘Aidz, Jubair bin Nufair dan Khalid bin Mi’dan, pada hari ‘Ied menerima ucapan, Taqabballaahu minna wa minkum dan mereka pun mengucapkan itu kepada orang-orang selain mereka. Dan sanad ini tidak apa-apa.”

5. Di dalam kitab Fath al-Baary (Jld.II, h.446) disebutkan, “Dan kami telah meriwayatkan di dalam al-Muhaamiliyyah dengan sanad Hasan dari Jubair bin Nufair, dia berkata, ‘Bila para shahabat Rasulullah SAW., saling bertemu pada hari ‘ied, masing-masing mengucapkan kepada yang lainnya, Taqabbalallaahu minna wa minkum.”

6. Syaikh al-Albany berkata, “Saya belum mengetahui adanya penilaian Hasan seperti ini, yakni dari al-Hafizh Ibn Hajar, di dalam satu pun dari kitab-kitabnya –sekalipun ada salah seorang muridnya (syaikh al-Albany-red.,) telah memberitahukan kepada beliau dimana letaknya-. Beliau berkata, ‘Justeru aku mendapatinya dari al-Hafizh as-Suyuthy di dalam risalahnya Wushuul al-Amaany Fii Wujuud at-Tahaany (h.109) dan di dalam lembaran manuscript di perpustakaanku (h.82) serta dalam buku al-Haawy Lil Fataawa (karya as-Suyuthy) juz.I di mana beliau menisbatkannya kepada Zahir bin Thahir dan Abu Ahmad al-Faradly di dalam kitab Tuhfah al-Fithr serta diriwayatkan juga oleh al-Muhaamily di dalam kitab al-‘Iedain (Jld.II, h.129) dengan sanad yang para periwayatnya adalah Tsiqaat, yaitu para periwayat kitab at-Tahdziib (karya adz-Dzahaby) selain syaikhnya al-Muhanna bin Yahya, yang merupakan seorang periwayat Tsiqah Nabiil sebagaimana yang dikatakan oleh ad-Daaruquthny. Biografinya terdapat dalam buku Taarikh Baghdad (Jld.XIII, h.266-268). Kualitas sanadnya Shahih akan tetapi Hajib bin al-Walid bertentangan dengannya dalam sanadnya di mana ia tidak menyatakannya sebagai Marfu’ dari para shahabat Nabi SAW. Dia berkata, Mubasysyir bin Ismail al-Halaby menceritakan kepada kami, …dst [dia kemudian menyebutkan apa yang telah diuraikan terdahulu]. Kemudian beliau (syaik al-Albany) berkata, “Jika sanad ini memang shahih berasal dari al-Hajib, maka di dalam jalur kepadanya ada orang yang perlu diungkapkan lagi identitasnya, yaitu yang meriwayatkan dari Khalid. Barangkali Mubasysyir bin Ismail menceritakan dengan riwayat yang ini dan itu, khususnya ‘Abdullah bin Busr ini, yaitu al-Maziny, merupakan seorang shahabat junior dan ayahnya-lah yang seorang shahabat sehingga sepertinya sangat jauh bila dia dan para tabi’in yang disebutkan bersamanya mengatakan sesuatu tanpa mereka pernah bertemu dengan para shahabat. Dengan begitu, dua riwayat tersebut kualitasnya shahih, para shahabat memang melakukan hal seperti itu (ucapan taqabbalallaahu…-red.,), lalu diikuti oleh para tabi’in yang disebutkan tersebut, wallahu subhaanahu A’lam.”

7. Imam ath-Thabary di dalam kitabnya ad-Du’aa` (h.929) mengeluarkannya, dia berkata, “al-Hasan bin ‘Aly al-Mu’ammary menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘Aly bin al-Madiny menceritakannya kepada kami, dia berkata, Abu Daud, bin Sulaiman bin Daud menceritakannya kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘Yunus bin ‘Ubaid bertemu denganku pada suatu ‘Ied, lalu berkata, ‘Taqabbalallaahu minna wa minka.’ Ini merupakan sanad yang berantai melalui para Hafizh yang banyak meriwayatkan hadits. Sekalipun al-Mu’ammary ada yang mengkiriknya namun di sini tidak berpengaruh karena adanya banyak hadits gharib. Wallahu a’lam.”

8. Imam Malik rahimahullah pernah ditanyai, “Apakah makruh bila seseorang mengatakan kepada saudaranya seusai shalat ‘ied, Taqabbalallaahu minna wa minkum Wa Ghafarallaahu lana wa laka, lalu dia menjawabnya seperti itu pula? Beliau menjawab, “Tidak makruh.” Al-Muntaqa, Jld.I, h.322

9. Di dalam kitab al-Haawy karya as-Suyuthy (Jld.I, h.82), dia berkata, “Dan Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam bukunya ats-Tsiqaat dari ‘Aly bin Tsabit, dia berkata, ‘Aku telah bertanya kepada Malik mengenai ucapan orang-orang pada hari ‘ied, Taqabbalallaahu minna wa minka, maka dia menjawab, “Amalan yang berlaku pada kami masih seperti itu.”

10. Di dalam kitab al-Mughny (Jld.II, h.259) dinyatakan, ‘Aly bin Tsabit berkata, ‘Aku telah bertanya kepada Malik bin Anas sejak 35 tahun yang lalu, lalu dia berkata, “Hal seperti ini masih dikenal di kota Madinah ini.”

11. Di dalam buku Su`aalaat Abi Daud (h.61), Abu Daud berkata, “Aku telah mendengar Ahmad ditanyai mengenai sekelompok orang yang menerima ucapan, Taqabbalallaahu minna wa minkum, maka dia menjawab, ‘Aku berharap hal itu tidak apa-apa.’”

12. Di dalam kitab al-Furuu’ karya Ibn Muflih (Jld.II, h.150), dia berkata, “Tidak apa-apa ucapan seseorang kepada temannya, Taqabballaahu minna wa minkum. Hal ini dinukil oleh al-Jama’ah (barangkali maksudnya, beberapa ulama-red.,) sebagai suatu jawaban. Dia juga berkata, Aku tidak akan memulainya (dengan ucapan tersebut-red.,). Menurut riwayat lain darinya, “semuanya baik.” Riwayat yang lainnya menyebutkan, “Makruh.” Pernah dikatakan kepadanya mengenai riwayat dari Imam Ahmad, ‘menurutmu boleh untuk memulai dengannya.?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ ‘Aly bin Sa’id meriwayatkan, “Alangkah bagusnya, kecuali bila ia takut hal itu menjadi masyhur.” Di dalam bukunya an-Nashiihah disebutkan bahwa hal itu merupakan perbuatan shahabat dan perkataan para ulama. Dan ungkapan yang sama juga terdapat di dalam kitab al-Mughny (Jld.II, h.259).

13. Ibn Rajab di dalam Fath al-Baary (Jld.IX, h.74) berkata –mengomentari ucapan imam Ahmad, ‘Alangkah bagusnya, kecuali bila ia takut hal itu menjadi masyhur’- ; “Seakan dia mengisyaratkan bahwa dikhawatirkan hal yang telah dikenal itu dijadikan bagian agama, demikian juga mengetahui hal itu dengan tujuan sengaja untuk berdoa dengannya, sehingga hal itu makruh karena termasuk asy-Syuhrah (meminta ketenaran, menjadikan sesuatu agar menjadi tenar).”
(Sumber: Diterjemahkan dari artikel berjudul, Hukm al-Tahni`ah Bi al-‘Ied Wa ash-Shiyagh al-Waaritadah Fii Dzaalik pada sebuah situs Islam berbahasa Arab)

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.


KEUTAMAAN 10 HARI YANG PERTAMA BULAN DZULHIJJAH.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan DzulHijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".

Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (DzulHijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid ".


MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN

[1]. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah

Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga".

[2]. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :

"Artinya : Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku".

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaq 'Alaih].

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".

[3]. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : .... dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ..". [Al-Hajj : 28].

Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzul Hijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.

"Artinya : Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid ". [Hadits Riwayat Ahmad].

Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhum keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu"

"Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah".

Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu ..". [Al-Baqarah : 185].

Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.

Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan.

[4]. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.

Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya" [Hadits Muttafaq 'Alaihi].

[5]. Banyak Beramal Shalih.

Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.

[6]. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq

Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah ; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Zhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.

[7]. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-Hari Tasyriq.

Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu". [Muttafaq 'Alaihi]

[8]. Dilarang Mencabut atau Memotong Rambut dan Kuku bagi orang yang hendak Berkurban.

Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'Anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".

Dalam riwayat lain : "Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".

Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.

"Artinya : ..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [Al-Baqarah : 196].

Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

[9]. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mengengarkan Khutbahnya.

Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.

[10]. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.

Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.

Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

HADITS HADITS DLA’IF SEKITAR BULAN RAMADLAN

Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Saalim Al Hilali

Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan:

Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orangorang sesat dari sunnah, dan mematahkan takwilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu Sunnah. Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits-hadits dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka –kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walaupun sedikit perhatianpun, wlaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan yang shahih yang menyingkap yang bathil. Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan mashyur di kalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini –sangat disesalkan- menduduki kedudukan yang tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat…” (riwayat Bukhari 6/361), dan sabda beliau: “Agama itu nasehat…”(riwayat Muslim no.55)

Maka kami katakan wabillahi taufiq:

Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih –walau banyak- yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif. Semoga Allah merahmati Al Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan: “(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya.” Jadikanlah imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup) kita.

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia pada bulan Ramadhan diantaranya:

1. “Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya…” Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Mauduat (2/188-189) dan Abul Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/ tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud Al Ghifari.

Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata: “Masyhur dengan kelemahannya.” Juga dinukilkan perkataan Abu Nu’aim, “Dia suka memalsukan hadits,” dan Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An Nasa’i, “matruk (ditinggalkan) haditsnya.”

Ibnul Jauzi menghulumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al Bajali.”

2. “Wahai manusia, sungguh bulan yang agung twlah (menaungi) kalian, bulan yang didalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara wajib pada bulan yang lain…. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka…” sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al Ashbahani dalam At Targhib (q/178,b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al Musayyib dari Salman.

Hadits ini sanadnya dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya,” berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Tidak kuat,” berkata Ibnu Ma’in, “Dhaif” berkata Ibnu Abi khaitsamah, “Lemah di segala penjuru,” dan berkata Ibnu Khuzaimah, “Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya.” Demikianlah di dalam Tahdizbut Tahdzib (7/322-323). Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, “Jika benar kabarnya.” Berkata Ibnu Hajar di dalam Al Athraf, “Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah,” sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As Suyuthi di dalam Jam’ul Jawami’ (no. 23714-tertib urutannya).

Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (1/249), “Hadits yang mungkar.”

3. “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dai Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwayatkan oleh At Thabrani di dalam Al Ausath (1/q 69/ Al Majma’ul Bahrain) dan Abu Nu’aim di dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah. Berkata Abu Bakar Al Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad –dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin muhammad- berkata, “Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair –pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam- pent) yang dhaif itu,” Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia.” Al Ajalaiy berkata, “Hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari ahli Syam ini tidak membuatku kagum,” demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/427).

Aku katakan: dan Muhammad bin Sulaiaman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaiman dinaskhkan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.

4. “Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun tersebut.”

Hadits ini diriwayatkan Bukhari dengan mu’allaq* dalam Shahih-nya (4/160 –Fathul Bari) tanpa sanad. Ibnu Khuzaimah telah memalsukan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At Tirmidzi (723), Abu Daud (2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasa’i di dalam Al Kubra sebagaimana dalam Tuhfatu Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta’liq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah.

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul bari (4/161): “Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit: idhthirab (goncang), tidak diketahuinya keadaan Abil muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah.”

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya: “Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya sehingga hadits ini dhaif juga.”

Wa ba’du: Inilah empat hadits yang didhifkan oleh para ulama dan dilemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering)mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.

Tidak menutup kemungikinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan syari’at kita yang lurus baik dari Al Qur’an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam, dan terlebih lagi –segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad ini dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya (yakni Al Isnad) adalah: “Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar.”

Mudah-mudahan Allah memberi rizki pada kami kebaikannya. Wahai saudaraku yang haus akan ketaatan kepada Allah, inilah sifat puasa Nabi dihadapanmu. Dan inilah petunjuknya dalam puasa Ramadhan, bersegeralah kepada kebaikan. Wasubhaanakallahu wa bihamdika, asyhadu anlaa ilaha illa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaika.

Ditulis oleh:
Penuntut Ilmu Syar’i
Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Saalim Al Hilali
25 Ramadhan 1403 H

Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "HADITS-HADITS DHAIF YANG TERSEBAR SEPUTAR BULAN RAMADHAN". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

========================================================================

ANCAMAN BAGI YANG MEMBATALKAN PUASA

www.salafy

Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dhabaya[1], membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, "Naik". Aku katakan, "Aku tidak mampu". Keduanya berkata, 'Kami akan memudahkanmu'. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, 'Suara apakah ini?'. Mereka berkata, 'Ini adalah teriakan penghuni neraka'. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, 'Siapa mereka?' Keduanya menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka.[2] ." [Riwayat An-Nasa'i dalam Al-Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 4/166 dan Ibnu Hibban (no.1800-zawaidnya) dan Al-Hakim 1/430 dari jalan Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin 'Amir dari Abu Umamah. Sanadnya shahih].

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa berbuka satu hari saja pada bulan Ramadhan dengan sengaja, tidak akan bisa diganti walau dengan puasa sepanjang zaman kalau dia lakukan"
Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan di bahas di akhir kitab ini.

Footnote:
[1]. Yakni : dua lenganku
[2]. Sebelum tiba waktu berbuka puasa

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.

========================================================================

Beberapa Hadits Dha'if Dan Palsu Seputar Puasa Ramadhan
Rabu, 20 Oktober 04

Diantara permasalahan di bulan Ramadhan adalah adanya hadits-hadits Dha'if (lemah) yang sering disebarkan atau diucapkan oleh penceramah tanpa menyebutkan kualitas hadits tersebut, baik karena ketidaktahuan atau menganggapnya hadits yang shahih.

Untuk itu, perlu sedikit disini kita mengetahui beberapa diantara hadits-hadits tersebut:

1. Hadits

لَوْ يَعْلَمُ اْلعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتيِ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضاَنُ السَّنَةَ كُلَّهَا، إِنّ اْلجَنَّةَ لَتُزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ اْلحَوْلِ إِلىَ اْلحَوْلِ ...

"Seandainya hamba-hamba tahu apa yang ada di bulan Ramadhan pasti ummatku akan berangan-angan agar Ramadhan itu jadi satu tahun seluruhnya, sesungguhnya Surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya...." hadits ini panjang.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Kitabul Maudhu'at (Kitab tentang Hadits-hadits palsu, 2/188-189) dan Abu Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada al-Muthalibul Aaliyah (Bab A-B/ manuskrip) dari jalan Jabir bin Burdah, dari Abi Mas'ud Al-Ghifari.

Hadits ini Maudhu' (palsu), cacatnya pada Jabir bin Ayyub, riwayat hidupnya dinukil Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (2/101) dan (beliau) berkata: "Terkenal dengan kelemahan (dha'if)" beliau juga menukil ucapan Abu Nu'aim tentangnya: "Dia itu suka memalsukan hadits." Al-Bukhari juga berkata, "Haditsnya tertolak", dan menurut an-Nasai, "matruk" (ditinggalkan/tidak dipakai haditsnya)."!!

2. Hadits


"Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai sunnat. Barangsiapa mendekatkan diri di dalamnya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya.. dialah bulan yang awalnya itu rahmat, pertengahannya itu maghfirah/ampunan, dan akhirnya itu 'itqun minan naar/bebas dari neraka.." sampai selesai.

Dua murid terpercaya Syeikh Al-Bani (wafat 2 Oktober 1999) yakni Syeikh Ali Hasan dan Syeikh Al-Hilaly mengemukakan, hadits itu juga panjang dan dicukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur.

Menurut murid ahli hadits ini, hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah juga, (no. 1887), dan Al-Muhamili di dalam Amali-nya (no 293) dan Al-Ashbahani di dalam At-Targhib (Q/178, B/ manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.

Hadits ini, menurut dua murid ulama Hadits tersebut, sanadnya Dhaif (lemah) karena lemahnya Ali bin Zaid.

Ibnu Sa'ad berkata, "Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya," dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, "Tidak kuat". Ibnu Ma'in berkata, "Dha'if." Ibnu Abi Khaitsamah berkata, "Lemah di segala segi", dan Ibnu Khuzaimah berkata: "Jangan berhujjah dengan hadits ini karena jelek hafalannya." demikianlah di dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).

3. Hadits

صُوْمُوْا تًصِحُّوْا

"Berpuasalah maka kamu sekalian sehat."

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Said, dari ad-Dhahhak, dari Ibnu Abbas.

Nahsyal itu termasuk yang ditinggal (tidak dipakai) karena dia pendusta, sedang Ad-Dhahhaak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.

Dan diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Ausath (1/Q, 69/ al-Majma'ul Bahrain) dan Abu Na'im di dalam ath-Thibbun Nabawi, dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhai bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari Abi Hurairah. Sanadnya Dha'if (lemah). (Berpuasa menurut Sunnah Rasulullah SAW, hal. 84).

Peringatan bagi orang yang meninggalkan puasa tanpa alasan dibawakan oleh Abu Umamah Al Bahili, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ketika aku sedang tidur tiba-tiba ada dua orang yang datang dan memegang pangkal lenganku dan membawaku ke sebuah gunung yang tinggi seraya berkata: "naiklah!" aku berkata: "aku tidak bisa", keduanya berkata lagi: "kami akan memberi kemudahan kepadamu", lalu akupun naik sampai ke pertengahan, tiba-tiba terdengar suara keras. Aku bertanya: "Suara apa itu?" Mereka menjawab: "Itu suara teriakan penghuni Neraka" Kemudian mereka membawaku mendaki lagi, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang yang digantung dengan urat belakang mereka, dari pinggiran mulutnya mengeluarkan darah. Aku bertanya: "Siapakah mereka?" Dijawab: "Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa (pada) bulan Ramadhan sebelum tiba waktunya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim, Shalat Tarawih )

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (Adz-Dzariyat: 17-18).

Syaikh al-Albany juga menyebutkan bahwa Abdullah bin Ahmad di dalam kitabnya Zawa-`id az-Zuhd, hal. 303 meriwayatkan hadits tersebut dari ucapan Abi al-‘Aliyah selama dia tidak menggunjing/ghibah) . secara mauquf dengan tambahan

Dan sanad yang satu ini adalah Shahih, barangkali inilah asal hadits. Ia Mauquf (yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh Shahabat atau Tabi’in) lantas sebagian periwayat yang lemah keliru dengan menjadikannya Marfu’ (hadits yang sampai kepada Rasulullah). Wallahu a’lam. (Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah wa al-Maudlu’ah, jld.II, karya Syaikh al-Albany, no. 653, hal. 106).

Semoga dengan penjelasan ini kita lebih berhati-hati di dalam menyaring hadits yang berkembang dan beredar di sekitar kita, dengan menyikapinya secara kritis dan bertanya tentang kualitasnya bilamana ragu untuk mengamalkannya

DERAJAT HADITS-HADTS TENTANG BACAAN WAKTU BERBUKA PUASA DAN KELEMAHAN BEBERAPA HADITS TENTANG KEUTAMAAN/FADLILAH FADHILAH PUASA
oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dibawah ini akan saya turunkan beberapa hadits tentang dzikir atau do'a di waktu berbuka puasa Kemudian akan saya terangkan satu persatu derajatnya sekalian. Maka, apa-apa yang telah saya lemahkan (secara ilmu hadits) tidak boleh dipakai atau diamalkan lagi, dan mana yang telah saya nyatakan syah (shahih atau hasan) bolehlah saudara-saudara amalkan. Kemudian saya iringi dengan tambahan keterangan tentang kelemahan beberapa hadits lemah/dla'if tentang keutamaan puasa yang sering dibacakan di mimbar-mimbar khususnya di bulan Ramadhan.

Hadits Pertama

"Artinya : "Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul 'Alim (artinya : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui)". [Riwayat : Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya 'Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu'jamul Kabir]

Sanad hadits ini sangat Lemah/Dloif

Pertama :
Ada seorang rawi yang bernama : Abdul Malik bin Harun bin 'Antarah.
Dia ini rawi yang sangat lemah.
[1]. Kata Imam Ahmad bin Hambal : Abdul Malik Dlo'if
[2]. Kata Imam Yahya : Kadzdzab (pendusta)
[3]. Kata Imam Ibnu Hibban : Pemalsu hadits
[4]. Kata Imam Dzahabi : Dia dituduh pemalsu hadits
[5]. Kata Imam Abu Hatim : Matruk (orang yang ditinggalkan riwayatnya)
[6]. Kata Imam Sa'dy : Dajjal, pendusta.

Kedua :
Di sanad hadits ini juga ada bapaknya Abdul Malik yaitu : Harun bin 'Antarah. Dia ini rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Imam Daruquthni telah melemahkannya. Sedangkan Imam Ibnu Hibban telah berkata : "Munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya".

Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Al-Albani dan lain-lain

Periksalah kitab-kitab :
[1]. Mizanul I'tidal 2/666
[2]. Majmau Zawaid 3/156 oleh Imam Haitsami
[3]. Zaadul Ma'ad di kitab Shiyam/Puasa oleh Imam Ibnul Qoyyim
[4]. Irwaul Ghalil 4/36-39 oleh Muhaddist Al-Albani.


Hadits Kedua.

"Artinya : Dari Anas, ia berkata : Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengucapkan : Bismillahi, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu (artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka)". [Riwayat : Thabrani di kitabnya Mu'jam Shagir hal 189 dan Mu'jam Awshath]

Sanad hadits ini Lemah/Dlo'if

Pertama :
Di sanad hadist ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly.
Dia seorang rawi yang lemah.
[1]. Imam Dzahabi mengatakan di kitabnya Adl-Dhu'afa : Bukan hanya satu orang saja yang telah melemahkannya.
[2]. Kata Imam Ibnu 'Ady : Ia menceritakan hadits-hadits yang tidak boleh diturut.
[3]. Kata Imam Abu Hatim dan Daruquthni : Lemah !
[4]. Saya berkata Dia inilah yang meriwayatkan hadits lemah bahwa imam tidak boleh adzan (lihat : Mizanul I'tidal 1/239).

Kedua :
Di sanad ini juga ada Dawud bin Az-Zibriqaan.
[1]. Kata Al-Albani : Dia ini lebih jelek dari Ismail bin Amr Al-Bajaly.
[2]. Kata Imam Abu Dawud, Abu Zur'ah dan Ibnu Hajar : Matruk.
[3]. Kata Imam Ibnu 'Ady : Umumnya apa yang ia riwayatkan tidak boleh diturut (lihat Mizanul I'tidal 2/7)
[4]. Saya berkata : Al-Ustadz Abdul Qadir Hassan membawakan riwayat Thabrani ini di kitabnya Risalah Puasa akan tetapi beliau diam tentang derajat hadits ini ?

Hadits Ketiga

"Artinya : Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Sumtu ....." [Riwayat : Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunniy]

Lafadz dan arti bacaan di hadits ini sama dengan riwayat/hadits yang ke 2 kecuali awalnya tidak pakai Bismillah.

Dan sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.

Pertama :
"Mursal, karena Mu'adz bin (Abi) Zur'ah seorang Tabi'in bukan shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (hadits Mursal adalah : seorang tabi'in meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tanpa perantara shahabat).

Kedua :
"Selain itu, Mu'adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang Majhul. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta'dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya".

Hadits Keempat
"Artinya : Dari Ibnu Umar, adalah Rasulullah SAW, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : DZAHABAZH ZHAAMA-U WABTALLATIL 'URUQU WA TSABATAL AJRU INSYA ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, Inysa allah). [Hadits HASAN, riwayat : Abu Dawud No. 2357, Nasa'i 1/66. Daruquthni dan ia mengatakan sanad hadits ini HASAN. Hakim 1/422 Baihaqy 4/239]

Al-Albani menyetujui apa yang dikatakn Daruquhni.!

Saya berkata : Rawi-rawi dalam sanad hadits ini semuanya kepercayaan (tsiqah), kecuali Husain bin Waaqid seorang rawi yang tsiqah tapi padanya ada sedikit kelemahan (Tahdzibut-Tahdzib 2/373). Maka tepatlah kalau dikatakan hadits ini HASAN.

Kesimpulan.
[1]. Hadits yang ke 1,2 dan 3 karena tidak syah (sangat dloif dan dloif) maka tidak boleh lagi diamalkan.

[2]. Sedangkan hadits yang ke 4 karena riwayatnya telah syah maka bolehlah kita amalkan jika kita suka (karena hukumnya sunnat saja).


BEBERAPA HADITS LEMAH TENTANG KEUTAMAAN PUASA

Hadits Pertama

"Artinya : Awal bulan Ramadhan merupakan rahmat, sedang pertengahannya merupakan magfhiroh (ampunan), dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka". [Riwayat : Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asakir, Dailami dll. dari jalan Abu Hurairah]

Derajat hadits ini : DLAIFUN JIDDAN (sangat lemah).
Periksalah kitab : Dla'if Jamius Shagir wa Ziyadatihi no. 2134, Faidhul Qadir No. 2815.

Hadits Kedua :

"Artinya : Dari Salman Al-Farisi, ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Pernah berkhutbah kepada kami di hari terakhir bulan Sya'ban. Beliau bersabda : "Wahai manusia ! Sesungguhnya akan menaungi kamu satu bulan yang agung penuh berkah, bulan yang didalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan yang Allah telah jadikan puasanya sebagai suatu kewajiban dan shalat malamnya sunat, barang siapa yang beribadat di bulan itu dengan satu cabang kebaikan, adalah dia seperti orang yang menunaikan kewajiban di bulan lainnya, dan barangsiapa yang menunaikan kewajiban di bulan itu adalah dia seperti orang yang menunaikan tujuh puluh kewajiban di bulan lainnya. Dia itulah bulan shabar, sedangkan keshabaran itu ganjarannya surga.... dan dia bulan yang awalnya rahmat, dan tengahnya magfiroh (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka..." [Riwayat : Ibnu Khuzaimah No. hadits 1887 dan lain-lain]

Sanad Hadits ini DLAIF. Karena ada seorang rawi bernama : Ali bin Zaid bin Jud'an. Dia ini rawi yang lemah sebagaimana diterangkan oleh Imam Ahmad, Yahya, Bukhari, Daruqhutni, Abi Hatim, dan lain-lain.

Dan Imam Ibnu Khuzaimah sendiri berkata : Aku tidak berhujah dengannya karena jelek hafalannya.

Imam Abu Hatim mengatakan : Hadits ini Munkar !!

Periksalah kitab : Silsilah Ahaadits Dloif wal Maudluah No. 871, At-Targhib Wat-Tarhieb jilid 2 halaman 94, Mizanul I'tidal jilid 3 halaman 127.

Hadits Ketiga

"Artinya : Orang yang berpuasa itu tetap didalam ibadat meskipun ia tidur di atas kasurnya". [Riwayat : Tamam]

Sanad Hadits ini DLA'IF. Karena di sanadnya ada : Yahya bin Abdullah bin Zujaaj dan Muhammad bin Harun bin Muhammad bin Bakkar bin Hilal. Kedua orang ini gelap keadaannnya karena kita tidak jumpai keterangan tentang keduanya di kitab-kitab Jarh Wat-Ta'dil (yaitu kitab yang menerangkan cacat/cela dan pujian tiap-tiap rawi hadits). Selain itu di sanad hadits ini juga ada Hasyim bin Abi Hurairah Al-Himsi seorang rawi yang Majhul (tidak dikenal keadaannya dirinya). Sebagaimana diterangkan Imam Dzahabi di kitabnya Mizanul I'tidal, dan Imam 'Uqail berkata : Munkarul Hadits !!

Kemudian hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Dailami di kitabnya Musnad Firdaus dari jalan Anas bin Malik yang lafadnya sebagai berikut :

"Artinya :"Orang yang berpuasa itu tetap di dalam ibadat meskipun ia tidur diatas kasurnya".

Sanad hadits ini Maudlu'/Palsu. Karena ada seorang rawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Suhail, dia ini seorang yang tukang pemalsu hadits, demikian diterangkan Imam Dzahabi di kitabnya Adl-Dluafa.

Periksalah kitab : Silsilah Ahaadist Dla'if wal Maudl'uah No. 653, Faidlul Qadir No. hadits 5125.

Hadits Keempat.

"Artinya : Tidurnya orang yang berpuasa itu dianggap ibadah, dan diamnya merupakan tasbih, dan amalnya (diganjari) berlipat ganda, dan do'anya mustajab, sedang dosanya diampuni" [Riwayat : Baihaqy di kitabnya Su'abul Iman, dari jalan Abdullah bin Abi Aufa]

Hadits ini derajadnya sangat Dla'if atau Maudlu. Karena di sanadnya ada Sulaiman bin Umar An-Nakha'i, salah seorang pendusta (baca : Faidlul Qadir No. 9293).

Hadits Kelima.

"Artinya : Puasa itu setengah dari pada sabar" [Riwayat : Ibnu Majah].

Kata Imam Ibnu Al-Arabi : Hadits (ini) sangat lemah !

Hadist Keenam.

"Artinya : Puasa itu setengah dari pada sabar, dan atas tiap-tiap sesuatu itu ada zakatnya, sedang zakat badan itu ialah puasa" [Riwayat : Baihaqy di kitabnya Su'abul Iman dari jalan Abu Hurairah].

Hadits ini sangat lemah !
[1]. Ada Muhammad bin Ya'kub, Dia mempunyai riwayat-riwayat yang munkar. Demikian diterangkan oleh Imam Dzahabi di kitabnya Adl-Dluafa
[2]. Ada Musa bin 'Ubaid. Ulama ahli hadits. Imam Ahmad berkata : Tidak boleh diterima riwayat dari padanya (baca : Faidlul Qodir no. 5201).

Itulah beberapa hadits lemah tentang keutamaan puasa dan bulannya. Selain itu masih banyak lagi hadits-hadits lemah tentang bab ini. Hadits-hadits di atas sering kali kita dengar dibacakan di mimbar-mimbar khususnya pada bulan Ramadhan oleh para penceramah.[1]



[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M]
_________
Foote Note
[1]. Ditulis tanggal 7-11-1986

HADITS KURAIB TENTANG MASALAH HILAL SHIYAAM (PUASA) RAMADLAN DAN SYAWWAL (1)
oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

"Artinya : Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu'awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum'at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; "Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ?.
Jawabku : "Kami melihatnya pada malam Jum'at".
Ia bertanya lagi : "Engkau melihatnya (sendiri) ?"
Jawabku : "Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu'awiyah Puasa".
Ia berkata : "Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) ".
Aku bertanya : "Apakah tidak cukup bagimu ru'yah (penglihatan) dan puasanya Mu'awiyah ?
Jawabnya : "Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami".

PEMBAHASAN

PERTAMA.
Hadits ini telah dikeluarkan oleh imam-imam : Muslim (3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa'i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqy (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan : Ismail bin Ja'far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas.

Berkata Imam Tirmidzi : Hadits Ibnu Abbas hadits : Hasan-Shahih (dan) Gharib.
Berkata Imam Daruquthni : Sanad (Hadits) ini Shahih.

Saya berkata : Hadits ini Shahih rawi-rawinya tsiqah :

[1]. Ismail bin Ja'far bin Abi Katsir, seorang rawi yang tsiqah dan tsabit/kuat sebagaimana diterangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya "Taqribut-Tahdzib" (1/68). Rawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain.

[2]. Muhammad bin Abi Harmalah, seorang rawi tsiqah yang dipakai Bukhari dan Muslim dan lain-lain. (Taqribut-Tahdzib 2/153).

[3]. Kuraib bin Abi Muslim maula Ibnu Abbas, seorang rawi tsiqah di pakai oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain (Taqribut-Tahdzib 2/143).

KEDUA:
Beberapa keterangan hadits :

[1]. Perkataan Ibnu Abbas : (tetapi kami melihatnya pada malam sabtu) yakni : Penduduk Madinah melihat hilal Ramadlan pada malam Sabtu sehari sesudah penduduk Syam yang melihatnya pada malam Jum'at.

"Maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari", maksudnya : Kami terus berpuasa, tetapi jika terhalang/tertutup dengan awan sehingga tidak memungkinkan kami melihat hilal Syawwal, maka kami cukupkan/sempurnakan bilangan Ramdlan tiga puluh hari, sebagaimana diperintahkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Apabila kamu melihat hilal (Ramadlan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawwal) maka berbukalah, tetapi jika awan menutup kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari".[Dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/124) dll.]

"Atau sampai kami melihatnya" yakni : Melihat hilal Syawwal, maka kami cukupkan puasa sampai 29 hari. Karena bulan itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari, sebagaimana dapat kita saksikan dalam setahun (12 bulan) selain itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"Artinya : Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian : "Yakni penjelasan dari rawi, sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari". (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya)". [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadznya) dan Muslim (3/124) dll.]

Berkata Ibnu Mas'ud :

"Artinya : Kami puasa bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 29 hari lebih banyak/lebih sering dari 30 hari". [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (No. 2322), Tirmidzi (No. 684) dan Ibnu Khuzaimah (No. 1922).]

Saya berkata : Sanad hadits ini shahih, rawi-rawinya tsiqah dan ada syahidnya dari keterangan Abu Hurairah (Ibnu Majah No. 1658).

[2]. Pertanyaan Kuraib : "Apakah tidak cukup bagimu ru'yah/penglihatan dan puasanya Mu'awiyah" meskipun penduduk Madinah belum melihat hilal Ramadlan, apakah ru'yah penduduk Syam yang sehari lebih dahulu tidak cukup untuk diturut dan sama-sama berpuasa pada hari Jum'at ?

Kalau pada zaman kita misalnya penduduk Saudi Arabia telah melihat hilal Ramadlan/Syawwal pada malam Jum'at, sedangkan penduduk Indonesia belum melihatnya atau baru akan melihatnya pada malam Sabtu. Apakah ru'yah penduduk Saudi Arabia itu cukup untuk penduduk Indonesia ?

[3]. Jawaban Ibnu Abbas : "Tidak" yakni : Tidak cukup ru'yahnya penduduk Syam bagi penduduk Madinah. Karena masing-masing negeri/daerah yang berjauhan itu ada ru'yahnya sendiri "Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami". Keterangan yang tegas ini menolak anggapan orang yang menyangka bahwa ini ijtihad Ibnu Abbas semata.

Dakwaan ini sangat jauh sekali dari kebenaran ! Patutkah hasil ijtihadnya itu ia sandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ? Demi Allah ! Tidak terbayang sedikitpun juga oleh seorang Ulama bahwa Ibnu Abbas akan berdusta atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membohongi ummat !.


[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-masalah agama) jilid ke dua, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam, cet ke 2]

HADITS KURAIB TENTANG MASALAH HILAL SHIYAAM (PUASA) RAMADLAN DAN SYAWWAL (2)
oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Bagian Terkahir dari Dua Tulisan 2/2

KETIGA.

Hukum Hadits :

Hadits ini mengandung hukum sebagaimana dipahami oleh Ulama-ulama kita :

[1]. Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- dalam memberikan bab terhadap hadits ini yang menunjukkan fiqih beliau :

"Artinya : Dalil tentang wajibnya atas tiap-tiap penduduk negeri puasa Ramadlan karena ru'yah mereka, tidak ru'yah selain (negeri) mereka".

[2]. Imam Tirmidzi bab : "Artinya : Bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru'yah mereka"
Kemudian setelah meriwayatkan haditsnya - Imam Tirmidzi berkata :

"Artinya : Dari hadits ini telah diamalkan oleh ahli ilmu : Sesungguhnya bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru'yah mereka (sendiri) ".

[3]. Imam Nasa'i memberikan bab : "Artinya : Perbedaan penduduk negeri-negeri tentang ru'yah".

Dan lain-lain Ulama lebih lanjut periksalah kitab-kitab :

[a] Syarah Muslim (Juz 7 hal 197) Imam Nawawi.
[b] Al-Majmu 'Syarah Muhadzdzab (Juz 6 hal. 226-228) Imam Nawawi.
[c] Ihkaamul Ahkaam Syarah 'Umdatul Ahkaam (2/207) Imam Ibnu Daqiqil 'Ied.
[d] Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal :106) Ibnu Taimiyyah.
[e] Tharhut Tatsrib (Juz 4 hal. 115-117) Imam Al-'Iraaqy.
[f] Fathul Baari syarah Bukhari (Juz 4 hal 123-124) Ibnu Hajar.
[g] Nailul Authar (Juz 4 hal. 267-269) Imam Syaukani.
[i] Subulus Salam (juz 2 hal 150-151)
[j] Bidaayatul Mujtahid (Juz 1 hal. 210) Imam Ibnu Rusyd
.
Dan lain-lain.

KEEMPAT.
Menjawab beberapa bantahan dan keraguan.

Mereka yang berpaham apabila telah terlihat hilal (Ramadlan atau Syawwal) di suatu negeri, maka negeri-negeri yang lain meskipun belum melihat wajib mengikuti ru'yah negeri tersebut. Mereka ini membantah faham kami dengan beberapa alasan -meskipun lemah- maka dibawah ini akan kami jawab sanggahan mereka satu persatu Inysa Allahu Ta'ala.

[1]. Mereka meragukan tentang ketsiqahan Kuraib.

Saya jawab dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Berikanlah keterangan kamu, jika memang kamu orang-orang yang benar".

Kuraib adalah seorang rawi tsiqah sebagaimana telah saya terangkan pada pembahasan pertama di bawah ini :

Kuraib bin Abi Muslim telah di tsiqahkan oleh Imam-Imam besar seperti : Imam Ibnu Ma'in, Nasa'i dan Ibnu Hibban dll. (Baca Tahdzibit Tahdzib 8/433).
Imam Ibnu Sa'ad di kitab besarnya "Thabaqaatul Kubra" (5/293) mengatakan : "Dia seorang yang tsiqah (dan) bagus/baik haditsnya".

Berkata Imam Adz-Dzahabi di kitabnya 'Al-Kaasyif" (3/8 No. 4720). Dan mereka para (para Imam Ahli Hadits) telah mentsiqahkannya. Keterangan Imam Dzahabi ini memberikan faedah : Bahwa Ulama ahli hadits telah ijma' dalam mentsiqahkan Kuraib. Karena Dzahabi dalam keterangannya memakai lafadz jama' watsaquuhu.

Kemudian di kitab "Syiar A'laamin Nubalaa" (4/479) Dzahabi menerangkan :"Kuraib bin Abi Muslim, Al-Imam, Al-Hujjah ....

Imam Ibnu Katsir di kitab sejarah besarnya "Al-Bidaayah wan Nihaayah" (9/186) mengatakan "Dia termasuk (rawi/ulama) tsiqah yang masyhur kebaikan dan keta'atannya dalam beragama".

[2]. Mereka meragukan keshahihan hadits ini disebabkan gharibnya.

Saya jawab -sekali lagi- dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Itulah batas ilmu mereka".

Tentang keghariban hadits ini kami tidak membantahnya. Yakni tidak ada yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali Ibnu Abbas. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas kepada Kuraib. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Kuraib kecuali Muhammad bin Abi Harmalah. Kemudian tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad kecuali Ismail bin Ja'far. Dari Ismail kebawah sanadnya masyhur karena banyak rawi meriwayatkan dari Ismail diantaranya : Alu bin Hujr As-Sa'dy, Musa bin Ismail, Sulaiman bin Dawut Al-Haasyimy, Yahya bin As-Sa'dy, Musa bin Ismail, Sulaiman bin Dawut Al-Haasyimy, Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub dan Qutaibah. Demikianlah sepanjang pemeriksaan kami, Wallahu A'lam !

Apakah Hadits ini tertolak disebabkan kegharibannya ..? Dan apakah setiap hadits itu dla'if/lemah..?

Jawabnya : Kalla tsumma kalla ! Tidak ada yang mengatakan demikian kecuali mereka yang sedikit sekali pengetahuannya tentang ilmu hadits, kalau tidak mau dikatakan tidak faham sama sekali !

Bahkan hadits ini sebagaimana di katakan Tirmidzi : Shahih dan Ghraib : Yakni kegharibannya tidak menghilangkan keshahihan hadits ini. Karena kalau setiap hadits gharib itu dlo'if, niscaya akan tertolak sejumlah hadits-hadits shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Imam Ibnu Katsir :

"Artinya : Maka sesungguhnya ini (yakni setiap hadits gharib) kalau ditolak, niscaya akan tertolak banyak sekali hadits-hadits dari jalan (gharib) ini dan akan hilang banyak sekali masalah-masalah dari dalil-dalilnya". [Baca : Ikhtisar 'Ulumul Hadits Ibnu Katsir hal : 58 & 167].

Kedudukan hadits ini sama dengan hadits :

INNAMAL - A'MAALU - BINNIYAATI.

Yang shahih tetapi gharib, karena hanya diriwayatkan dari jalan : Yahya bin Said Al-Anshary dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimy dari Al-Qamah dari Umar bin Khattab dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian dari Yahya bin Said Al-Anshary sanadnya mutawatir tidak kurang dua ratus rawi yang meriwayatkan dari Yahya.

[3]. Mereka berfaham bahwa keterangan Ibnu Abbas : "Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami". Kembali kepada perkataannya : "Maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari atau sampai kami melihat hilal (Syawwal) ".

Saya jawab : Faham ini tidak benar ! Keterangan Ibnu Abbas dengan menggunakan isim isyarat itu kembali untuk menjawab pertanyaan Kuraib : "Apakah tidak cukup bagimu ru'yah dan puasanya Mu'awiyah .?".
Jawaban Ibnu Abbas : Tidak ! Yakni tidak cukup ru'yah penduduk Syam bagi penduduk Madinah karena masing-masing negeri ini ada ru'yahnya sendiri. Kemudian Ibnu Abbas menegaskan :"Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami".

[4]. Mereka mengatakan : Bahwa itu hanya ijtihad Ibnu Abbas saja !?.

Kemudian dengan megahnya mereka mengatakan lagi :"Ijtihad kami itu sama dengan ijtihadnya Imam Syaukani di kitabnya "Nailul Authar !?".

Kami jawab : Lebih tepat dikatakan kamu telah bertaqlid dengan taqlid buta kepada Imam Syaukani yang berfaham bahwa itu hanya ijtihad Ibnu Abbas (baca : Nailul Authar 4/267-269).

Sekali lagi kami katakan : Patutkah hasil ijtihadnya itu ia sandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan mengatakan kepada ummat "Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami .?"

Adapun Imam Syaukani (semoga Allah merahmatinya) -tidaklah sama dengan kamu walaupun kamu berangan-angan seperti dirinya- ia telah tersalah dalam ijtihadnya (semoga Allah memberikan pahala ijtihadnya). Lebih dari itu Imam Syaukani telah menyalahi ketetapannya sendiri bahkan madzhabnyaJumhur Ulama. Ia berkata di kitab besarnya tentang membahas Ushul Fiqih, yaitu :"Irsyaadul Fuhuul (hal. 60).

"Artinya : Adapun apabila shahabat meriwayatkan dengan lafadz yang boleh jadi ada perantara antaranya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (Yakni ia tidak mendengar atau melihat secara langsung dari Rasul tetapi dengan perantara shahabat lain yang mendengar dan melihat langsung), seperti ia berkata :

[1] "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam begini".
[2] Atau ia berkata : "Beliau telah memerintahkan begini".
[3] Atau ia berkata : "Beliau telah melarang dari mengerjakan ini"
[4] Atau ia berkata : "Beliau telah memutuskan demikian ".

"Maka Jumhur (ulama) berpendapat bahwa (semua lafadz-lafadz di atas) yang demikian menjadi hujjah. Sama saja apakah rawinya itu dari (kalangan) shahabat besar. karena menurut zhahirnya sesungguhnya ia telah meriwayatkan yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kalaupun di taqdirkan disana ada perantara, maka menurut Jumhur mursal shahabat itu maqbul (diterima) dan inilah yang haq (yang benar)".

Kemudian Imam Syaukani menerangkang beberapa pendapat bantahan yang menyalahi madzhab Jumhur Ulama. Akhirnya ia menutup dengan bantahan yang sangat bagus sekali untuk menguatkan madzhab Jumhur dan pahamnya :

"Artinya : Sangatlah jauh sekali (dari kebenaran) yaitu shahabat meriwayatkan dengan lafadz seperti di atas padahal yang dikehendaki bukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, (yang berkata, memerintah, melarang dan memutuskan)" !? Karena sesungguhnya tidak ada hujjah pada perkataan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, baik dimasa hidupnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, atau sesudah beliau wafat, maka tetap hukumnya marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) dengannya ditegakkan hujjah".

Hendaklah para pembaca memperhatikan betul-betul keterangan-keterangan Imam Syaukani di atas tentang lafadz-lafadz yang digunakan shahabat diantaranya "telah memerintahkan". Seperti lafadz yang digunakan Ibnu Abbas dalam hadits yang jadi pembahasan kita yaitu (amaranaa) Lafadz yang demikian menurut Jumhur Ulama -termasuk Imam Syaukani menjadi hujjah dan terhukum marfu'.

Bahkan Imam Syaukani sendiri membantah orang yang menolaknya dengan perkataannya :"Sangat jauh sekali (dari kebenaran) apabila shahabat meriwayatkan dengan lafadz ini padahal yang dikehendaki bukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam!".

Tetapi sayang, beliau sendiri telah menyalahi keterangannya dan bantahannya ini di kitabnya "Nailul Authar" sewaktu membahas hadits Ibnu Abbas dengan mengatakan bahwa itu ijtihad Ibnu Abbas !

Tidak syak lagi bagi ahli ilmu bahwa keterangan Imam Syaukani di kitab Ushul Fiqihnya "Irsyaadul Fuhuul" bersama Jumhurul Ulama itulah haq (yang benar) sebagaimana dikatakan sendiri. Sedangkan fahamnya di "Nailul Authar" tertolak dengan bantahannya sendiri : "Sangat jauh sekali (dari kebenaran) ! Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan !"[1]


[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-masalah agama) jilid ke dua, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam, cet ke 2]
_________
Foote Note
[1] [Ditulis 15-3-1990]

SEPUTAR HUKUM F I D Y A H
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

[1]. Bagi Siapa Fidyah Itu ?

Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah.

"Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]

Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang-orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

[2]. Penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahuma, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari seorang miskin.[Hadits Riwayat Bukhari 8/135]

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan).

"Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha', kemudian dimansukh oleh ayat.

"Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]

Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. [Ibnu Jarud 381, Al-Baihaqi 4/230, Abu Dawud 2318 sanadnya Shahih]

Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka menyangka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan !

[3]. Yang Benar Ayat Tersebut (Al-Baqarah : 185) Mansukh

Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih Radhiyallahu a'alaihim menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istisna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. [Lihat I'lamul Muwaqi'in 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al-Muwafaqat 3/118 karya As-Syatibi]

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan perngetian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i terdahulu dengan dalil syar'i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.

[4]. Ayat Tersebut Bersifat Umum

Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhu : "Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat :

"Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]

Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?

Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur'an adapun hukum kedua dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : "Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya".

Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu : "Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kalian berpuasa ...." [Al-Baqarah : 183]

Kemudian Allah menurunkan ayat.

"Artinya : Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur'an ...." [Al-Baqarah : 185]

Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya ...." [Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya 507, Al-Baihaqi dalam Sunannya 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanadnya Shahih]

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya.[Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 2/288]

[5]. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad ?

Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadts marfu' yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur'an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global, dan jawabannya sebagai berikut.

[a]. Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur'an, mengabarkan ayat Al-Qur'an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits musnad, [Lihat Tadribur Rawi 1/192-193 karya Suyuhthi, 'Ulumul Hadits hal.24 karya Ibnu Shalah]

[b]. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, dari mana beliau mengambil hukum ini ? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.

Dari Malik dari Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : "Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin" [Al-Baihaqi dalam As-Sunan 4/230 dari jalan Imam Syafi'i, sanadnya Shahih]

Daruquthni meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata : "Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha". Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : "Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha" sanadnya jayyid, dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

[c]. Tidak ada Shahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma. [Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/21]

[6]. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya

Keterangan ini menjelaskan makna : "Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui" yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi "Kalau mengkhwatirkan diri dan anaknya" dia bayar fidyah tidak mengqadha.

[7]. Musafir Gugur Puasanya dan Wajib Mengqadha'

Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha', perkataan ini tertolak karena Al-Qur'an menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir.

"Artinya : Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagimu berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 184]

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya.

"Artinya : Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]

Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk mereka.


[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]

HUKUM HUKUM I'TIKAF (BERDIAM DIRI) DALAM MASJID
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

[1]. Hikmahnya.

Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata : "Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta'ala tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta'ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta'ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya.

Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta'ala, dan disyariatkannya (i'tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.

Dan disyariatkannya i'tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta'ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i'tikaf yang agung itu" [Zaadul Ma'ad 2/86-87]

[2]. Makna I'tikaf

Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu'takif dan 'Akif. [Al-Mishbahul Munir 3/424 oleh Al-Fayumi, dan Lisanul Arab 9/252 oleh Ibnu Mandhur]


[3]. Disyari'atkannya I'tikaf

Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan Syawwal[1] Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram'. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu".

Maka ia (Umar Radhiyallahu 'anhu) pun beritikaf pada malam harinya. [Riwayat Bukhari 4/237 dan Muslim 1656]

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. [Riwayat Bukhari 4/245]

Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. [Riwayat Bukhari 4/266 dan Muslim 1173 dari Aisyah]

[4]. Syarat-Syarat I'tikaf

[a] Tidak disyari'atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu[2] sedangkan kamu beritikaf di dalam masjid" [Al-Baqarah : 187]

[b] Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulai (yaitu) sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidak ada I'tikaf kecuali pada tiga masjid (saja). [3]

Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radhiyallahu 'anha yang telah disebutkan. [4]

[5]. Perkara-Perkara Yang Boleh Dilakukan

[a] Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata.

"Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain : aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau (ada) sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid) dan adalah Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I'tikaf" [5]

[b] Orang yang sedang Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan" [Dikeluarkan oleh Ahmad 5/364 dengan sanad yang shahih]

[c] Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I'tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri'tikaf, karena Aisyah Radhiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri'tikaf[6] dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Sebagaimana dalam Shahih Muslim 1173]

[d] Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jika i'tikaf dihamparkan untuk kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At-Taubah.[7]

[6]. I'tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid

[a] Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i'tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu 'anha berkata.

"Artinya : Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (tatkala beliau sedang) i'tikaf [pada sepuluh (hari) terkahir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjungi pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata : jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri besamaku untuk mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda : "Tenanglah[8], ini adalah Shafiyah binti Huyaiy", kemudian keduanya berkata : 'Subhanahallah (Maha Suci Allah) ya Rasullullah". Beliaupun bersabda : "Sesungguhnya syaitan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata sesuatu"[9]

[b] Seorang wanita boleh i'tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau i'tikaf setelah itu".[Telah lewat takhrijnya]

Berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah, -pent) :"Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita i'tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah.

"Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat"


[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Riwayat Bukhari 4/226 dan Muslim 1173
[2]. Yakni "Janganlah kami mejimai mereka" pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zaadul Masir 1/193 oleh Ibnul Jauzi
[3]. Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan hal ini pada kitab yang berjudul Al-Inshaf fi Ahkamil I'tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid
[4]. Dikeluarkan oleh Abdur Razak di dalam Al-Mushannaf 8037 dan riwayat 8033 dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
[5]. Hadits Riwayat Bukhari 1/342 dan Muslim 297 dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no. 167 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah dan Jami'ul Ushul 1/3452 oleh Ibnu Asir
[6]. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari 4/226
[7]. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 642-zawaidnya dan Al-Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bushiri dari dua jalan. Dan sanadnya Hasan
[8]. Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci.
[9]. Dikeluarkan oleh Bukhari 4/240 dan Muslim 2157 dan tambahan yang terkahir ada pada Abu Dawud 7/142-143 di dalam Aunul Ma'bud

SHAUM DAN BERBUKA MENGIKUTI NEGERI TEMPAT TINGGAL SESEORANG
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya berasal dari Timur Asia, bulan Hijriyah di tempat kami terlambat satu hari dari Arab Saudi. Kami adalah mahasiswa yang akan melakukan safar di bulan Ramadhan tahun ini, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shaumlah karena melihat hilal (masuk bulan), dan berbukalah karena melihat hilal..” dan seterusnya. Kami telah memulai shaum di Saudi, kemudian safar di bulan Ramadhan hingga penghabisan bulan, sehingga kami shaum selama tiga puluh satu hari. Pertanyaan saya, bagaimana hukum shiyam kami tersebut dan berapa hari mestinya kami harus shaum ?

Jawaban
Jika anda shaum di Saudi atau yang lain kemudian anda shaum di negeri anda maka berbukalah bersama penduduk di sana, meskipun jumlahnya lebih dari tiga puluh hari. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Shaum adalah hari dimana kalian shaum dan waktu berbuka adalah hari kalian berbuka”

Akan tetapi jika shaum kalian belum genap dua puluh sembilan hari, maka hendaknya menyempurnakan (menambahnya), karena tidak ada bulan yang kurang dari dua puluh sembilan hari. Wallahu waliyut Taufiq


PESAWAT AKAN NAIK SATU JAM SEBELUM TERBENAM MATAHARI, NAMUN SUDAH BERLALU SATU JAM, MATAHARI BELUM TERBENAM, APAKAH BOLEH KAMI BERBUKA KETIKA ITU ATAUKAH KAMI MENUNGGU HINGGA MATAHARI TERBENAM?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami akan terbang dengan pesawat atas ijin Allah dari Riyadh pada bulan Ramadhan kira-kita satu jam sebelum adzan maghrib. Maka adzan akan berkumandang di saat saya berada di atas udara Su’udiyah. Apakah kami boleh berbuka. Dan jika kami bisa melihat matahari ketika di udara dan begitulah biasanya, maka apakah kami tetap melanjutkan shaum ataukah berbuka di negeri kami, atau berbuka dengan patokan adzan di Arab Saudi ?

Jawaban
Jika pesawat terbang dari Riyadh misalnya, sebelum matahari terbenam menuju arah barat, maka anda tetap shaum hingga matahari terbenam, sedangkan anda masih di udara, atau ketika anda turun di suatu negeri di saat matahari telah tenggelam, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika malam telah datang dari arah sini dan waktu siang telah berlalu dari sini serta matahari telah tenggelam maka itulah saatnya orang yang shaum boleh berbuka” [Muttafaq ‘alaih]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan – Solo]



========================================================================

HUKUM PUASA SUNNAH BAGI WANITA BERSUAMI
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?
Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"

Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.


=========================================================================
APAKAH SUAMI BERHAK UNTUK MELARANG ISTRINYA BERPUASA SYAWAL
Oleh
Syaikh Abduillah bin Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin sauminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah Fakhruddin}

HUKUM MENGQADHA ENAM HARI PUASA SYAWAL
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : ..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"

Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

MENGQADHA ENAM HARI PUASA RAMADHAN DI BULAN SYAWAL, APAKAH MENDAPAT PAHALA PUASA SYAWAL ENAM HARI
Oleh
Syaikh Abduillah bin Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"

Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan.

"Artinya : Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan"

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah Fakhruddin]

BAGAIMANA MENJALANKAN PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL ?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa cara yang paling baik dalam menjalankan puasa enam hari bulan Syawal ?

Jawaban
Cara yang paling utama adalah berpuasa pada enam hari awal bulan syawal sesudah hari Idul Fithri secara langsung, berturut-turut sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama, karena cara itu lebih maksimal dalam mewujudkan pengikutan seperti yang dituturkan dalam hadits, “Kemudian mengikutinya”, dan karena cara itu termasuk bersegera menuju kebajikan yang diperintahkan oleh dalil-dalil yang menganjurkannya dan memuji orang yang mengerjakannya, juga hal itu termasuk keteguhan hati yang merupakan bagian dari kesempurnaan seorang hamba Allah, sebab kesempatan tidak selayaknya dibiarkan lewat percuma ; karena seseorang tidak tahu apa yang dihadapkan kepadanya di kesempatan yang kedua atau akhir perkara.

Inilah yang saya maksudkan dengan bersegera dalam beramal dan cepat-cepat mengambil kesempatan, sebaiknya seseorang menjalankannya dalam segala urusannya di kala kebenaran telah jelas nampak padanya.


========================================================================
PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL BAGI ORANG YANG PUNYA HUTANG PUASA WAJIB.

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pendapat anda tentang puasa enam hari bulan Syawal bagi orang yang berkewajiban membayar hutang puasa wajib ?

Jawaban
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, seolah-olah dia berpuasa sepanjang masa”[1]

Adapun jika seseorang masih menanggung hutang puasa lalu dia puasa enam hari, apakah dia boleh mengerjakannya sebelum pelunasan hutang Ramadhan ataukah harus sesudahnya ?

Misalnya : Seorang laki-laki berpuasa Ramadhan sebanyak dua puluh empat hari, masih terhutang atasnya enam hari, apabila dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum mengerjakan enam hari puasa pengganti Ramadhan, maka tidak bisa dikatakan : Sesungguhnya dia berpuasa Ramadhan, dan dia mengikutinya dengan enam hari bulan Syawal ; sebab dia tidak dianggap berpuasa Ramadhan kecuali bila dia menyempurnakannya, atas dasar ini maka tidak ditetapkan pahala puasa enam hari bulan Syawal bagi orang yang mengerjakannya padahal dia masih punya tanggungan hutang puasa Ramadhan.

Masalah ini bukanlah termasuk hal diperselisihkan ulama tentang bolehnya puasa nafilah (sunah) bagi orang yang masih memiliki tanggungan puasa wajib, karena perselisihan itu terjadi pada puasa selain enam hari tersebut, sedangkan tentang enam hari yang mengikuti Ramadhan tidak mungkin ditetapkan pahalanya kecuali bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan.


[Disalin dari kitab Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab Shiyam, Bab Disukainya puasa enam hari bulan Syawal (1164)


========================================================================

TANDA SUBUH ADALAH TERBITNYA FAJAR, APA HUKUM MAKAN DAN MINUM KETIKA MUADZIN ADZAN.
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum makan dan minum ketika muadzin mengumandangkan adzan atau sesaat setelah adzan, terutama bila terbitnya fajar tidak diketahui dengan pasti ?

Jawaban
Batas yang menghalangi seseorang yang berpuasa dari makan dan minum adalah terbitnya fajar, berdasarkan firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah ; 187]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangakan adzan”

Perawi hadits ini menyebutkan, “Ibnu Ummi Maktum adalah seorang laki-laki buta, ia tidak mengumandangkan adzan kecuali diberitahukan kepadanya, ‘Engkau telah masuk waktu subuh, engkau telah masuk waktu subuh” [1]

Jadi, tandanya adalah terbitnya fajar. Jika muadzinnya seorang yang tepat waktu dan dikenal tidak pernah mengumandangkan adzan kecuali setelah terbitnya fajar, apabila ia adzan maka yang mendengarnya wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan patokan mendengar adzannya. Jika muadzinnya memang biasa mengumandangkan adzan berdasarkan perkiraan, maka sebaiknya orang menghentikan kegiatan makannya ketika mendengarnya, kecuali orang yang sedang di dataran dan dapat menyaksikan fajar, maka ia tidak perlu berhenti hanya karena mendengar adzannya sampai ia betul-betul melihat terbitnya fajar jika tidak ada sesuatu yang menghalanginya, karena Allah telah menetapkan hukum ini dengan ketentuan bergantinya malam ke siang yang ditandai dengan terbitnya fajar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengatakan tentang adzannya Ibnu Ummu Maktum, “Ia tidak adzan kecuali setelah terbitnya fajar” [2]

Perlu saya ingatkan di sini tentang masalah yang dilakukan oleh sebagian muadzin, yaitu mereka mengumandangkan adzan sebelum fajar, yaitu sekitar lima atau empat menit dengan alas an untuk kehati-hatian bagi yang hendak berpuasa.

Sikap kehati-hatian semacam ini termasuk berlebih-lebihan, bukan kehati-hatian yang syar’i, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “

“Artinya : Binasalah orang yang berlebih-lebihan” [3]

Yaitu kehati-hatian yang tidak benar, karena mereka memberikan sinyal kehati-hatian untuk puasa tapi malah menimbulkan keburukan dalam perkara shalat. Banyak orang yang langsung mengerjakan shalat subuh begitu mendengar adzan. Ini berarti orang-orang tersebut shalat subuh karena mendengar adzan yang sebenarnya dikumandangkan sebelum waktunya, padahal mengerjakan shalat sebelum waktunya tidak sah. Dengan demikian berarti telah menimbulkan petaka bagi orang-orang yang shalat.

Lain dari itu, hal ini pun berarti keburukan bagi yang hendak berpuasa, karena adanya adzan tersebut telah menghalangi seseorang yang hendak berpuasa dari makan dan minum, padahal saat tersebut termasuk saat yang masih dibolehkan oleh Allah. Dengan demikian berarti terlah berbuat dosa terhadap orang-orang yang hendak berpuasa, karena ia mencegah mereka dari apa yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka, dan berarti pula berdosa terhadap orang-orang yang shalat karena mereka mengerjakan shalat sebelum waktunya, yang mana hal ini membatalkan shalat mereka.

Maka seorang muadzin hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menempuh cara kehati-hatian yang benar berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.

[Kitab Ad-Da’wah (5), Ibnu Utsaimin, (2/146-148)]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-1, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari, Kitab Al-Adzan (617), Muslim, Kitab Ash-Shiyam (1092)
[2]. Hadits Riwayat Al-Bukhari, Kitab Ash-Shaum (1919), Muslim, Kitab Ash-Shiyam (1092)
[3]. Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-‘Ilm (2670)

PUASANYA ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT, BERPUASA TAPI TIDAK SHALAT
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian ulama kaum muslimin mencela orang yang berpuasa tai tidak shalat, karena shalat itu tidak termasuk puasa. Saya ingin berpuasa agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang masuk surga melalui pintu Ar-Rayyan. Dan sebagaimana diketahui, bahwa antara Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya. Saya mohon penjelasanya. Semoga Allah menunjukki anda.

Jawaban
Orang-orang yang mencela anda karena anda puasa tapi tidak shalat, mereka benar dalam mencela anda, karena shalat itu tianggnya agama Islam, dan Islam itu tidak akan tegak kecuali dengan shalat. Orang yang meninggalkan shalat berarti kafir, keluar dari agama Islam, dan orang kafir itu, Allah tidak akan menerima puasanya, shadaqahnya, hajinya dan amal-amal shalih lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan” [At-Taubah : 54]

Karena itu, jika anda berpuasa tapi tidak shalat, maka kami katakana bahwa puasa anda batal, tidaj sah dan tidak berguna di hadapan Allah serta tidak mendekatkan anda kepadaNya. Sedangkan apa yang anda sebutkan, bahwa antara Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya adalah menghapus dosa-dosa di antara keduanya, kami sampaikan kepada anda, bahwa anda tidak tahu hadits tentang hal tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Shalat-shalat yang lima dan Jum’at ke Jum’at serta Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa di antara itu apabila dosa-dosa besar dijauhi” [Dikeluarkan oleh Muslim, kitab Ath-Thaharah (233)]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam terlah mensyaratkan untuk penghapuasn dosa-dosa antara satu Ramadhan degan Ramadhan berikutnya dengan syarat dosa-dosa besar dijauhi. Sementara anda, anda malah tidak shalat, anda puasa tapi tidak menjauhi dosa-dosa besar. Dosa apa yang lebih besar dari meninggalkan shalat. Bahkan meninggalkan shalat itu adalah kufur. Bagaimana puasa anda bisa menghapus dosa-dosa anda sementara meninggalkan shalat itu suatu kekufuran, dan puasa anda tidak diterima. Hendaklah anda bertaubat kepada Allah dan melaksanakan shalat yang telah diwajibkan Allah atas diri anda, setetah itu anda berpuasa. Karena itulah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau bersaba.

“Artinya : Maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka mematuhimu maka beritahukanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan lima shalat dalam sehari semalam” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, kitab Az-Zakah (1393), Muslim, kitab Al-Iman (1)]

Beliau memulai perintah dengan shalat, lalu zakat setetah dua kalimah syahadat

[Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Ash-Shiyam, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, hal. 34]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-1, Darul Haq]

MAKAN DAN MINUM KETIKA MENDENGAR ADZAN SUBUH PADA BULAN RAMADHAN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada orang yang mendengar adzan Subuh tapi dia tetap makan dan minum. Bagaimana hukum puasanya ?

Jawaban
Seorang mukmin wajib menahan dirinya dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum dan lain-lain) apabila fajar benar-benar telah terbit. Terutama apabila puasa tersebut hukumnya wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa kifarat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Makan dan minumlah kalian sampai terlihat jelas oleh kalian garis putih dari garis hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai malan (maghrib)” [Al-Baqarah : 187]

Apabila seseorang mendengar adzan dan dia yakin adzannya tersebut berpatokan terbitnya fajar (masuk waktu), maka dia wajib menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa. Tapi apabila adzan tersebut dikumandangkan sebelum terbit fajar, kita masih boleh makan dan minum sampai fajar benar-benar terbit.

Apabila kita tidak tahu apakah itu adzan sebelum terbit fajar atau setelahnya, maka lebih baik kita berhati-hati dan menahan diri dari makan dan minum. Tidak mengapa kalau menghabiskan makan dan minum ketika sudah terdengar adzan, karena dia tidak tahu terbitnya fajar.

Sebagaimana kita ketahui bahwa apabila kita tinggal di dalam kota yang penuh dengan cahaya lampu listrik, kita tidak bisa melihat terbitnya fajar dengan mata kita. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dengan cara memperhatikan adzan dan melihat kalender yang disitu terdapat jadwal waktu terbit fajar. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu dan kerjakanlah sesuatu yang tidak meragukan” [Hadits Riwayat Tirmidzi 2442 dan An-Nasaa’i 5615]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang menjauhi perkara syubhat (yang meragukan), berarti dia telah memelihara agama dan kehormatannya” [Hadits Riwayat Bukhari 50]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan – Solo]

MALAM LAILATUL QADAR
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur'an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.

[1]. Keutamaan Malam Lailatul Qadar

Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur'an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar" [Al-Qadar : 1-5]

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.

"Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui" [Ad-Dukhan : 3-6]

[2]. Waktunya

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan Ramadhan. [1]

Imam Syafi'i berkata : "Menurut pemahamanku. wallahu 'alam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : "Apakah kami mencarinya di malam ini?", beliau menjawab : "Carilah di malam tersebut" [Sebagaimana dinukil Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/386]

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda.

"Artinya : Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169]

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/221 dan Muslim 1165]

Ini menafsirkan sabdanya.

"Artinya : Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir" [Lihat Maraji' tadi]

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda.

"Artinya : Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)" [Hadits Riwayat Bukhari 4/232]

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.

Kesimpulannya.
Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25,27 dan 29. Wallahu 'alam

[3]. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar.?

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Hadits Riwayat Bukhari 4/217 dan Muslim 759]

Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia) berkata : "Aku bertanya, "Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?" Beliau menjawab, "Ucapkanlah :
"Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul afwa fa'fu'annii"
"Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku" [2]

Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya[3] menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/233 dan Muslim 1174]

Juga dari Aisyah, (dia berkata) :

"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya" [Hadits Riwayat Muslim 1174]

[4]. Tanda-Tandanya

Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.

Dari 'Ubay Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi" [Hadits Riwayat Muslim 762]

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda.

"Artinya : Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah" [4]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan" [Tahayalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan]


[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-neda, Imam Al-Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr Bidzikri Lailatul Qadar, membawakan perkataan para ulama dalam masalah ini, lihatlah...
[2]. Hadits Riwayat Tirmidzi 3760, Ibnu Majah 3850 dari Aisyah, sanadnya Shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan hal. 55-57 karya Ibnu Rajab Al-Hambali.
[3]. Menjauhi wanita (yaitu istri-istrinya) karena ibadah, menyingisngkan badan untuk mencarinya
[4]. Muslim 1170. Perkataan : "Syiqi jafnah" syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al-Qadhi 'Iyadh berkata : "Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan".

ZAKAT FITHRI
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

[1]. Hukumnya

Zakat Fithri ini (hukumnya) wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia]" [Hadits Riwayat Bukhari 3/291 dan Muslim 984 dan tambahannya pada Muslim]

Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri" [Riwayat Abu Dawud 1622 dan An-Nasa'i 5/50, padanya ada Al-Hasan yang ber-'an'anah. Dan hadits sebelumnya sebagai syahid]

Sebagian Ahul ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah mansukh oleh hadits Qais bin Sa'ad bin Ubadah, berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum diturunkan (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkan (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakannya (mengeluarkan zakat fithri)".

Al-Hafidz Rahimahullah menjawab sangkaan tersebut dengan perkataannya 3/368 : "Bahwa pada sanadnya ada seorang rawi yang tidak dikenal[1] dan kalaupun dianggap shahih tidak ada dalil yang menunjukkan atas naskh (dihapusnya) hadits Qais yang menunjukkan wajibnya zakat fithri, mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya suatu kewajiban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain".

Imam Al-Kahthabiy Rahimahullah berkata dalam Ma'alimus Sunnan 2/214 : "Ini tidak menunjukkan hilangnya kewajiban zakat fithri, tetapi hanya menunjukkan tambahan dalam jenis ibadah, tidak mengharuskan dimansukhnya hukum sebelumnya, kedudukan zakat harta (sebagaimana) kedudukan zakat fithri (yaitu) berkaitan dengan riqab (orang-perorang)"

[2]. Siapa Yang Wajib Zakat ?

Zakat fithri atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun hamba. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu gantang kurma, atau satu gantang gandum atas hamba dan orang yang merdeka, kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin" [Hadits Riwayat Bukhari 3/291 dan Muslim 984]

Sebagian ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang kafir karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithri" [Hadits Riwayat Muslim 982]

Hadits ini umum sedang hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi penentu hadits umum. Yang lain berkata. "Tidak wajib atas orang yang puasa karena hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, pensuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi) makanan bagi orang miskin" [Telah Lewat Takhrijnya]

Imam Al-Khathabiy dalam Ma'alimus Sunan 3/214 menegaskan : "Zakat fithri wajib atas orang yang puasa yang kaya atau orang fakir yang mendapatkan makanan dari dia, jika illat diwajibkannya karena pensucian, maka seluruh orang yang puasa butuh akan hal itu, jika berserikat dalam 'illat berserikat pula dalam hukum".

Al-Hafidz menjawab 3/369 : "Pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, zakat fithri diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa seperti diketahui keshahihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari".

Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithri wajib juga atas janin, tetapi kami tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai anak kecil atau besar, baik menurut masyarakat maupun istilah.

[3]. Macam Zakat Fithri

Zakat dikeluarkan berupa satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu, satu gantang anggur kering atau salt, karena hadits Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Kami mengeluarkan zakat (pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) satu gantang makanan, satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu kering, satu gantang anggur kering" [Hadits Riwayat Bukhari 3/294 dan Muslim 985]

Dan hadits Ibnu Umar Radhiyallalhu 'anhuma :

"Artinya : Rasulullah mewajibkan satu gantang gandum, satu gantang korma dan satu gantang salt" [Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 4/80 dan Al-Hakim 1/409-410]

Telah ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Said Al-Khudri ada yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang selain itu, namun yang paling kuat (yang membuat hati ini tenang) lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk hinthah dan jenis lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat Ramadhan satu gantang makanan dari anak kecil, besar, budak dan orang yang merdeka. Barangsiapa yang memberi salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) akan diterima, kau mengira beliau berkata, "Barangsiapa yang mengeluarkan berupa tepung akan diterima, barangsiapa yang menerima berupa adonan diterima" [Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah 4/180, dan sanadnya Hasan]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Zakat Fithri satu gantang makanan, barangsiapa yang membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt (gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering diterima, aku mengira beliau berkata : "Yang membawa adonan diterima" [Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah 4/180, dan sanadnya Hasan]

Adapun hadits-hadits yang menafikan adanya hinthah (gandum) atau bahwasanya Muawiyah Radhiyallahu 'anhua berpendapat untuk mengeluarkan dua mud dari samara (gandum) Syam, dan bahwa satu mud hinthah sebanding, ini dimungkinkan karena jarangnya dan banyaknya jenis lain, atau karena jenis-jenis hinthah itu melebihi yang ada di sini. Ini dikuatkan oleh perkataan Abu Sa'id : "Dulu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu yang dikeringkan dan korma" [Telah lewat takhrijnya]

Yang membantah seluruh dalil orang yang menyelisihi kita adalah satu pembahasan yang akan datang ketika menjelaskan takaran zakat fithri, menurut hadits-hadits shahih yang menegaskan adanya hinthah bahwa dua mud hinthah sama dengan satu gantang anggur, agar kaum muslimin yang mendudukan sahabat sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa pendapat Mu'awiyah bukanlah ijtihad hasil pikiran sendiri, tetapi berdasarkan hadist marfu' sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[4]. Ukuran Zakat Fithri

Seorang muslim diperbolehkan zakat fithri sesuai dengan jenis yang disebutkan tadi, mereka ikhtilaf tentang hinthah, ada yang mengatakan setengah gantang ini yang rajih, dan yang paling shahih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Tunaikanlah satu gantang gandum atau korma, untuk dua orang satu gantang dari gandum atas orang merdeka, hamba, anak kecil atau besar" [Dikeluarkan oleh Ahmad 5/432 dari Tsa'labah bin Shuair, sanad rawinya seluruhnya tasiqah, ada hadits oleh Daruquthni 2/151 dari Jabir dengan sanad Shahih]

Gantang yang teranggap adalah gantang-nya penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.

"Timbangan yang teranggap adalah timbangannya Ahlu Mekah, dan kiloan yang teranggap adalah kiloan-nya orang Madinah" [Riwayat Abu Dawud 2340, Nasa'i 7/281, Al-Baihaqi 6/31 dari Ibnu Umar dengan sanad Shahih]

[5]. Siapakah Yang Harus Dibayar Zakatnya ?

Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang dibawah tanggungannya, baik anak kecil ataupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma : "Kami diperintah oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (mengeluarkan) shadaqah fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan hamba dari orang-orang yang membekalinya" [1]

[6]. Kemana Disalurkannya

Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin"[2] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam di dalam Majmu' Fatawa 2/71-78 serta murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya yang bagus Zaadul Ma'ad 2/44.

Sebagian Ahlul ilmi berpedapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membantahnya pada kitab yang telah disebutkan baru saja, maka lihatlah ia, karena hal tersebut sangat penting.

Termasuk amalan sunnah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak, -pent). Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewakilkan kepada Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah mengkhabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan" [Dikeluarkan oleh Bukhari 4/396]

Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar radhiyallahu 'anuma mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintah, -pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum Idul fithri, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 4/83 dari jalan Abdul Warits dari Ayyub, aku katakan : "Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu gantang ?" Berkata Ayyub : "Apabila petugas telah duduk (bertugas)". Aku katakan : 'Kapankah petugas itu mulai bertugas?" Beliau menjawab : "Satu hari atau dua hari sebelum Idul Fithri".

[7]. Waktu Penunaian Zakat

Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju shalat 'Id[3] dan tidak boleh diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya, kecuali satu atau dua hari (sebelum Id) berdasarkan riwayat perbuatan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berdasarkan kaidah rawi hadits diketahui dengan makna riwayat dan apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma : " ... Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan suatu shadaqah dari beberapa shadaqah (yang ada)" [Telah lewat Takhrijnya]

[8]. Hikmah Zakat

Allah Ta'ala mewajibkan zakat sebagai penscucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma yang telah lalu.


[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Dikeluarkan oleh Daruquthni 2/14 dan Al-Baihaqi 4/161 dari Ibnu Umar dengan sanad dhoif (lemah). Dan dikeluarkan Al-baihaqi 4/16 dari jalan yang lain dari Ali, dan sanadnya terputus. Dan padanya ada jalan yang mauquf dari Ibnu Umar pada Ibnu Asi Syaibah dalam Al-Mushannaf 4/37 dengan sanad shahih. Maka -dengan jalan-jalan ini maka haditsnya menjadi hasan-
[2]. Telah lewat takhrijnya
[3]. Lihat pada kitab Ahkamul 'Idain fis Sunnah Al-Muthahharah karya Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cet. Maktabah Al-Islamiyah


========================================================================

MEMAKNAI QIYAM RAMADHAN

Seputar Hukum dan Kaifiyat Qiyam Ramadlan
Selasa, 11 Oktober 05

Mukaddimah

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia dan memiliki keistimewaan tersendiri, berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Bulan Ramadhan secara khusus adalah milik Alllah karena Dia lah Yang berjanji akan mengganjar orang-orang yang beribadah kepada-Nya.

Salah satu kekhususan bulan Ramadhan itu adalah dengan adanya Qiyam Ramadhan di mana pahalanya tidak tanggung-tanggung diberikan kepada seorang hamba.

Apakah sebenarnya Qiyam Ramadhan itu? bagaimana cara menghidupkannya? Apa pahala yang besar itu? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat meraihnya? Silahkan simak uraiannya!


Teks Hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنّ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, niscaya akan diampuni baginya dosa-dosa terdahulu.” (Muttafaqun ‘Alaih)


Seputar Qiyam Ramadhan

Yang dimaksud di sini adalah shalat yang mendapatkan janji untuk diampuni. Penamaan shalat tersebut dengan ‘Qiyaam’ diambil dari sisi sebagian rukun-rukunnya sebagaimana ia juga dinamakan dengan ruku’. Allah Ta’ala berfirman, “Dan ruku’lah (shalatlah secara berejama’ah) beserta orang-orang yang ruku’.” (Qs.al-Baqarah:43). Ia juga dinamakan dengan sujud seperti firman Allah SWT, “Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Qs.al-Qalam:43)

Rasulullah SAW bersabda, “Bantulah aku atas dirimu dengan memperbanyak sujud.”

Barangkali penamaan tersebut diberikan agar sesuai dengan keistimewaan yang dimilikinya berupa aktifitas memperbanyak bacaan al-Qur’an dan memperlama berdiri (Qiyaam).

Keutamaan Qiyamullail

Allah Ta’ala berfirman, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” (Qs.adz-Dzaariyaat:17). Dan firman-Nya, ”Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs.as-Sajdah:16)

Dalam kitab ash-Shahihain, dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si fulan yang dulu pernah melakukan qiyamullail (shalat tahajjud) lalu meninggalkannya.”

Di dalam sunan at-Turmudzy dengan sanad yang sahih, dari Abdullah bin Sallam bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah tali rahim dan shalatlah di malam hari saat manusia sedang terlelap tidur; pasti kalian masuk surga dengan penuh kedamaian.”

Demikian juga, di dalam kitab as-Sunan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya dalam satu malam itu terdapat waktu yang tidaklah seorang hamba Muslim mendapatkan taufiq padanya dengan memohon kebaikan dari perkara dunia dan akhirat kepada Allah melainkan Dia akan memberikan kepadanya.”

Di dalam Musnad Ahmad, sunan at-Turmudzy, al-Mustadrak karya al-Hakim dan kitab lainnya, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Hendaklah kalian melakukan qiyamullail, sebab ia adalah tradisi orang-orang shalih sebelum kamu, pendekatan diri kepada Rabb kamu, penebus dosa-dosa (kecil) dan pencegah dari melakukan dosa.”

Dan banyak lagi ayat-ayat, hadits-hadits serta atsar-atsar yang menunjukkan keutamaan Qiyamullail dan anjuran untuk melakukannya, segala puji bagi Allah.

Qiyam Ramadhan

Yang dimaksud dengan Qiyam di sini adalah shalat tarawih. Hal ini seperti hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dari ‘Asyah RA, ia berkata, “Suatu malam di bulan Ramadhan, Nabi SAW melakukan shalat di masjid bersama beberapa orang. Kemudian beliau melakukannya lagi di malam kedua lalu berkumpullah orang dalam jumlah yang lebih banyak dari malam pertama. Maka tatkala pada malam ketiga dan keempatnya, penuhlah masjid oleh manusia hingga menjadi sesak. Karena itu, beliau tidak jadi keluar menemui mereka. Orang-orang memanggil beliau, lalu beliau berkata, “Ketahuilah, perkara yang kalian lakukan itu tidaklah tersembunyi bagiku (pahala, sisi positifnya), akan tetapi aku khawatir akan dicatat sebagai kewajiban bagi kalian nantinya.” Di dalam riwayat al-Bukhari terdapat tambahan, “Lalu Rasulullah SAW pun wafat dan kondisinya tetap seperti itu (tidak dilakukan secara berjema’ah di masjid-red).”

Imam an-Nasa’i mengeluarkan dari jalur Yunus bin Yazid, dari az-Zuhri dengan redaksi “Jazm” (pasti) bahwa malam di mana Rasulullah SAW tidak keluar tersebut adalah malam keempat.”

Imam at-Turmudzy meriwayatkan dengan sanad yang sahih, dari Abu Dzar, ia berkata, “Di kala kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah SAW, beliau tidak melakukan Qiyamullail bersama kami dari bulan itu hingga tersisa tujuh hari lagi, lalu ia melakukannya bersama kami hingga melewati sepertiga malam. Pada malam kelimanya, ia melakukannya lagi bersama kami hingga melewati separuh malam. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulllah, andai dengan sukarela engkau melakukan Qiyamullail bersama kami malam ini.’ Beliau menjawab, ‘Bila seseorang shalat bersama imam hingga ia keluar (berlalu), maka telah dihitung baginya Qiyam semalam penuh.’ Maka tatkala pada malam ketiganya, beliau mengumpulkan keluarganya dan orang-orang, lantas melakukan qiyamullail bersama kami hingga kami khawatir ketinggalan sahur. Kemudian pada sisa hari bulan itu beliau tidak lagi melakukannya bersama kami.”

Ibn ‘Abdil Barr berkata, “Ini semua menunjukkan bahwa pelaksanaan Qiyam Ramadhan boleh dinisbatkan kepada Nabi SAW sebab beliaulah yang menganjurkan dan mengamalkannya. Sedangkan yang dilakukan ‘Umar hanyalah upaya menghidupkan kembali apa yang telah menjadi sunnah Rasulullah SAW.”

Al-‘Iraqi berkata di dalam kitabnya Tharh at-Tatsrib, “Hadits ‘Aisyah dapat dijadikan dalil bahwa Qiyam Ramadhan lebih utama dilakukan di masjid secara berjema’ah karena Rasulullah SAW melakukannya. Beliau meninggalkan hal itu karena takut ia menjadi suatu kewajiban nantinya sementara setelah beliau wafat, maka sudah dapat terhindar dari jatuhnya hal tersebut sebagai kewajiban.”

Inilah pendapat jumhur ulama kaum Muslimin, di antaranya tiga imam madzhab; Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad. Hal ini kemudian telah menjadi syiar yang nampak (ditonjolkan).

Bilangan Raka’atnya

Al-‘Iraqi berkata, “Dalam hadits di atas, tidak dijelaskan bilangan raka’at yang dikerjakan Rasulullah SAW pada beberapa malam tersebut di masjid. ‘Aisyah RA telah mengatakan, ‘Baik di bulan Ramadhan mau pun lainnya, Nabi SAW tidak menambah lebih dari 11 raka’at.’ Secara implisit, bahwa demikian pulalah yang dilakukan beliau di tempat tersebut (ketika malam itu). Akan tetapi ketika ‘Umar mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat tarawih di bulan Ramadhan dengan mengikuti Ubay bin Ka’b, maka ia melakukannya bersama mereka sebanyak 20 raka’at selain witir, yaitu 3 raka’at. Pendapat seperti ini dipegang oleh imam-imam madzhab seperti Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad. Juga diambl oleh imam ats-Tsauri dan jumhur ulama.”

Ibn ‘Abdil Barr berkata, “Ini adalah pendapat jumhur ulama dan pendapat yang kami pilih. Mereka menilai apa yang terjadi pada masa ‘Umar itu sebagai ijma’ (konsensus).”

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Nabi SAW belum pernah menentukan bilangan tertentu terhadap Qiyam Ramadhan itu sendiri. Malahan, beliau melakukan tidak lebih dari 13 raka’at namun memperpanjang (memperlama) raka’at-raka’atnya. Tatkala ‘Umar mengumpulkan umat dengan mengikuti Ubay bin Ka’ab (sebagai imam), ia melakukan shalat itu sebanyak 20 raka’at, kemudian witir 3 raka’at, meringankan bacaan seukuran tambahan raka’atnya karena hal itu lebih ringan bagi para makmum daripada memperpanjang (memperlama) per-raka’atnya. Artinya, seseorang boleh melakukannya sebanyak 20 raka’at sebagaimana pendapat yang masyhur dari Ahmad dan asy-Syafi’i. Ia juga boleh melakukannya dengan 36 raka’at seperti pendapat imam Malik dan ia juga boleh melakukannya sebanyak 11 raka’at. Dengan demikian, memperbanyak raka’at atau menguranginya tergantung kepada panjang-pendeknya Qiyam itu. Sebaiknya, disesuaikan dengan perbedaan kondisi jema’ah shalat; jika di antara mereka ada yang mampu untuk memperpanjang Qiyam dengan 10 raka’at plus 3 raka’at setelahnya; maka ini lebih baik dan jika tidak mampu, maka qiyam dengan 20 raka’at tersebut lebih baik. Inilah yang dilakukan kebanyakan kaum Muslimin dan tidak dibenci sesuatu pun darinya.”

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh (mantan Mufti Arab Saudi-red) berkata, “Kebanyakan ulama seperti imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa shalat tarawih adalah 20 raka’at sebab ketika ‘Umar mengumpulkan umat dengan mengikuti Ubay bin Ka’b, ia melakukan shalat tersebut bersama mereka sebanyak 20 raka’at. Ini dilakukan di tengah kehadiran para shahabat yang lain sehingga menjadi ijma’. Karenanya, umat pun mengamalkan hal itu. Jadi, tidak semestinya mereka yang melakukan hal itu diingkari tetapi biarkan mereka melakukan seperti itu.” Wallahul Muwaffiq

INTISARI HADITS

1. Makna Qiyam Ramadhan adalah menghidupkan malam itu dengan ibadah dan shalat. Hadits di atas (yang kita kaji ini) menunjukkan disyari’atkannya shalat malam di bulan Ramadhan. Shalat tersebut secara valid telah dilakukan Rasulullah SAW di masjid, lalu pada masa ‘Umar para shahabat telah bersepakat atasnya, untuk selanjutnya dilaksanakan oleh seluruh kaum Muslimin setelah itu. Mereka mendirikan shalat tarawih.

2. Balasan Qiyam Ramadhan adalah ampunan dosa dan penghapusan dosa-dosa kecil. Tetapi ini dikaitkan dengan pengampunan dosa-dosa kecil yang berhubungan dengan hak Allah. Penyebutan dengan kata ‘Zanb’ (dosa) mencakup dosa besar dan kecil akan tetapi Imam al-Haramain telah memastikan bahwa hal itu hanya khusus dengan dosa-dosa kecil saja. Al-Qadhi ‘Iyadh menisbatkan pendapatkan ini kepada Ahlussunnah. Imam an-Nawawi berkata, “Bila tidak ada dosa kecil, maka diharapkan dosa-dosa besarnya diringankan.”

3. Diterimanya shalat malam itu dan diraihnya penghapusan dosa-dosa kecil bisa terealisasi bila terpenuhi dua persyaratan: Pertama, bila yang mendorong seseorang melakukan Qiyamullail itu adalah iman dan pembenaran akan pahala Allah SWT. Kedua, mengharap pahala amalan tersebut di sisi Alllah, ikhlas karena Allah. Bila suatu amalan kehilangan dua syarat penting ini, lalu disusupi oleh riya’ dan sikap berbangga-bangga; maka ia menjadi batal dan tertolak atas pelakunya, bahkan karenanya ia akan mendapatkan celaan dan siksa.

4. al-Karmani meriwayatkan adanya kesepakatan ulama bahwa yang dimaksud dengan Qiyamullail itu adalah shalat tarawih dan keutamaan ini didapat dengan apa pun bentuk qiyam (berdiri untuk shalat).

5. Hadits tersebut menunjukkan keutamaan Qiyam Ramadhan, bahwa ia sangat dianjurkan sekali, demikian pula dengan shalat tarawih secara berjema’ah di masjid. Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dan ulama lainnya mengatakan, dulu di masa Nabi SAW, para shahabat melakukannya di masjid secara terpisah-pisah, dalam beberapa kelompok/jema’ah yang berbeda dan hal itu dilakukan atas sepengetahuan beliau SAW dan atas persetujuannya. Berdasarkan banyak hadits, shalat tarawih lebih baik dikerjakan secara berjema’ah daripada secara sendirian dan hal itu merupakan ijma’ para shahabat dan seluruh penduduk negeri Islam. Itu juga adalah pendapat jumhur ulama.

6. Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Shalat yang tidak disunnahkan dilakukan dengan berjema’ah secara tetap adalah seperti qiyamullail (tahajjud), sunnah-sunnah rawatib, shalat dhuha, tahiyyatul masjid dan lainnya. Tapi, boleh dilakukan berjema’ah untuk kadang waktu (tidak dirutinkan). Ada pun menjadikannya sebagai sunnah yang ratib/tetap (secara rutin) maka termasuk bid’ah yang dibenci.

(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Syarh Buluugh al-Maraam karya Syaikh Abdullah al-Bassam, Jld.III, hal.215-219)

KEUTAMAAN TASBIH
Senin, 12 April 04

Mukaddimah

Secara bahasa, kata Tasbîh berasal dari kata kerja Sabbaha Yusabbihu yang maknanya menyucikan. Dan secara istilah, kata Tasbîh adalah ucapan سُبْحَانَ اللهِ . Ucapan ini merupakan dzikir kepada Allah yang merupakan ibadah yang agung.

Dalam hal ini, terdapat banyak kaidah di dalamnya dimana secara global dapat dikatakan bahwa setiap kaidah yang digunakan untuk menolak perbuatan bid’ah dan berbuat sesuatu yang baru di dalam agama, maka ia adalah kaidah yang cocok untuk diterapkan pula pada beberapa parsial (bagian) penyimpangan di dalam berdzikir dan berdoa, karena dzikir, demikian juga doa, adalah murni masalah ‘ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Sedangkan kaidah dari semua kaidah di dalam hal tersebut adalah bahwa semua ‘ibadah bersifat tawqîfiyyah, yang diformat dalam ungkapan, “Melakukan ibadah hanya sebatas nash dan sumbernya.”

Kalimat tersebut direduksi dari nash-nash yang beragam, diantaranya hadits shahih yang menyatakan bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang baru di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak.”

Dan hadits shahih yang lainnya bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Setiap sesuatu yang baru (diada-adakan) maka ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan (tempat pelakunya) adalah di neraka.”

Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati di dalam melakukan suatu bentuk ibadah dan harus selalu mengacu kepada dalil-dalil yang jelas dan shahih serta kuat yang terkait dengannya sebab bila tidak, maka dikhawatirkan amal yang dilakukan tersebut justeru menjerumuskan pelakunya ke dalam hal yang disebut dengan Bid’ah tersebut sekalipun dalam anggapannya hal tersebut adalah baik.

Tentunya, di dalam kita melakukan apapun bentuk ibadah, termasuk dalam hal ini, dzikir, harus mengikuti (mutaba’ah) kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sehingga kita tidak menyimpang dari manhaj yang telah digariskannya.

Perlu diketahui bahwa mutâba’ah tersebut tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:

Pertama, sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak).
Contoh: ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam (dinaikkkan ke atas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah namun sebenarnya adalah bid’ah.

Kedua, jenis
Artinya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh: seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu onta, sapi dan kambing.

Ketiga, kadar (bilangan)
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan raka’atnya.
Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak shah.

Keempat, kaifiyyah (cara)
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhu’nya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syar’ait.

Kelima, waktu
Apabila ada orang menyembelih binatang qurban pada hari pertama bulan dzul hijjah, maka tidak shah karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Misalnya, ada orang yang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai qurban, denda haji dan ‘aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam idul Adhha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.

Keenam, tempat
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak shah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushallla di rumahnya, maka tidak shah I’tikafnya karena empat melakukannnya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at.

Contoh lainnya: seseorang yang melakukan thawaf di luar masjid haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak shah karena tempat melakukan thawaf adalah dalam baitullah tersebut, Allah berfiman: “dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. (Q.S. al-Hajj: 26).

Terkait dengan kajian hadits kali ini, tema yang kami angkat adalah masalah keutamaan Tasbih, yaitu ucapan seperti yang disebutkan dalam hadits di bawah ini, dan lafazh semisalnya yang terdapat di dalam hadits-hadits yang lain.
Lafazh Tasbih dalam hadits kita kali ini, bukanlah satu-satunya lafazh yang memiliki nilai amal yang tinggi, ada lagi lafazh-lafazh yang lainnya yang bisa di dapat di dalam buku-buku tentang dzikir atau bab-bab tentang dzikir dalam kitab-kitab hadits.

Dzikir kita kali ini adalah dzikir yang terdapat di dalam hadits yang shahih dan telah disebutkan kapan waktunya, yaitu bisa dilakukan setiap hari namun tidak disebutkan lebih lanjut kapan tepatnya, sehingga dapat dikategorikan mengenai waktu yang tepatnya ini ke dalam dzikir yang mutlak alias kapan saja, di luar dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktunya.

Semoga kita dapat memaknai, menghayati dan mengamalkannya sehingga tidak luput dari pahala yang sedemikian besar ini. Amin.

Naskah Hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ ِمائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ .

Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Subhânallâhi Wa Bihamdihi’ di dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya akan dihapus semua dosa-dosa (kecil)-nya sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR.al-Bukhariy)

Faedah Hadits

  • Hadits diatas menyatakan keutamaan dzikir سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ (Subhânallâhi wa bihamdihi) yang mengandung makna Tasbih (penyucian) terhadap Allah Ta’ala dan penyucian terhadap-Nya pula dari hal-hal yang tidak layak dan pantas bagi-Nya, seperti memiliki kekurangan-kekurangan, cacat-cela dan menyerupai semua makhluk-Nya.
  • Hadits tersebut juga mengandung penetapan segala pujian hanya kepada-Nya baik di dalam Asma` maupun shifat-Nya. Dia-lah Yang Maha Hidup sesempurna hidup; kehidupan yang tiada didahului ketiadaan (yakni bukan dalam arti; sebelumnya tidak ada kehidupan lalu kemudian ada) dan tiada pula kehidupan itu akan pernah hilang/sirna.
  • Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah dan memuji-Nya sebanyak seratus kali di dalam sehari semalam, maka dia akan mendapatkan pahala yang maha besar ini. Yaitu, semua dosa-dosa (kecil)-nya dihapuskan dengan mendapatkan ma’af dan ampunan-Nya, sekalipun dosa-dosa tersebut sebanyak buih di lautan. Tentunya, ini merupakan anugerah dan pemberian yang demikian besar dari-Nya.
  • Para ulama mengaitkan hal ini dan semisalnya sebatas dosa-dosa kecil saja sedangkan dosa-dosa besar tidak ada yang dapat menghapus dan menebusnya selain Taubat Nashuh (taubat dengan sebenar-benarnya).
  • Imam an-Nawawiy berkata, “Sesungguhnya bila dia tidak memiliki dosa-dosa kecil, maka semoga diharapkan dapat meringankan dosa-dosa besarnya.”

Rujukan:

  • Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Jld.VI, Hal.409)
  • Tashhîh ad-Du’â’ karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal. 39
  • Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah

DZIKIR DAN MACAM_MACAMNYA

Jumat, 19 Maret 04

Allah Ta'ala berfirman : Hai Orang-orang yang beriman, sebutlah Allah (berdzikirlah) dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. ( Al-Ahzab : 41 ).

Berzikir yang terus-menerus merupakan syarat untuk mendapatkan kecintaan dari Allah yang langgeng pula. Allah yang paling berhak untuk dicintai secara menyeluruh , diibadahi, diagungkan dan dimuliakan.

Pekerjaan yang termasuk paling bermanfaat bagi seorang hamba adalah berzikir yang banyak. Zikir bagi hati itu laksana air bagi ladang pertanian, bahkan seperti air bagi ikan, ia takkan hidup tanpa air.

Zikir itu bermacam-macam :

  • Berzikir dengan menyebut asma Allah dan sifat-sifat-Nya, serta memujinya dengan menyebut asma dan sifat-Nya.
  • Tasbih ( mensucikan Allah dengan mengucapkan : Subhanallah ), tahmid ( memuji Allah dengan mengucapkan : Al-hamdu lillah ), takbir ( mengagungkan Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar), Tahlil (mengucapkan la ilaha illallah yang artinya tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah) serta memuliakan Allah. Ini merupakan lafal zikir yang paling banyak diucapkan oelh kalangan orang-orang yang belakangan atau pada dewasa ini.
  • Berzikir dengan hukum-hukum Allah, perintah-perintah-Nya serta laranganan-larangan-Nya dan ini merupakan zikir ahli ilmu. Bahkan ketiga zikir ini merupakan zikir mereka kepada Rabb-nya.
  • Berzikir dengan firman-Nya yaitu dengan Al-Qur'an. Ini termasuk zikir yang paling utama. Allah berfirman :
    Dan barangsiapa yang berpaling dari zikir-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. 20:124)
    Yang dimaksud dengan zikir-Ku adalah kalam Allah yang telah diturunkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu al-Qur'an.
    Allah berfirman :
    orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)
  • Berdzikir dengan berdo'a kepada Allah, beristighfar (mohon ampunan) dan merendahkan diri di hadapan Allah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita untuk mengikuti cara berdzikir beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Kelima macam cara berdzikir di atas merupakan cara berdzikir Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Berdzikir kepada Allah harus sesuai dengan yang telah disyari'atkan oleh Allah dan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, bukan bid'ah seperti yang dikerjakan oleh kaum sufi. Mereka berdzikir dengan dzikir yang dibuat-buat dan diada-adakan. Contohnya mereka menyebut : hu… hu… yang menurut mereka lafadz itu termasuk asma Allah. Dzikir semacam ini tidak dibenarkan sama sekali. Begitu juga mengenai bacaan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam harus sesuai dengan yang terdapat dalam sunnah seperti shalawat Ibrahimiyyah ( yang dibaca pada tahiyyat dalam shalat ) dan lainnya yang sesuai dengan sunnah.

( dari buku : kaifa nafhamu al-Qur'an Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, edisi Indonesia hal : 191 )

HAK ISTRI ATAS SUAMI
Jumat, 19 Maret 04

Allah berfirman : Dan bergaullah dengan mereka ( Istri-istrimu ) secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. 4:19)

§ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Ya Allah sungguh saya menimpakan kesusahan ( dosa ) kepada orang yang menyia-nyiakan hak dua macam manusia yang lemah yaitu : anak yatim dan wanita ) HR. Nasa'i.

§ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena dia diciptakan dari tulang rusuk, dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas, kalau kamu meluruskannya maka kamu telah mematahkannya.. Muttafaq 'alaihi.

§ Dari Hakim bin Mu'awiyah dari bapaknya bahwa bapaknya berkata : wahai Rasulullah ! apakah hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suaminya ? maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : kamu memberi makan kepadanya jika kamu makan, dan kamu memberinya pakaian jika kamu berpakaian dan engakau tidak memukul mukanya, tidak menjelek-jelekkannya ( tidak berkata : semoga Allah memburukkan wajahmu ) dan tidak meninggalkannya kecuali dalam rumah. HRm Abu Daud.

§ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : ( janganlah seorang mu'min membenci wanita mu'minah, karena jika ia membenci suatu sifatnya, maka dia akan ridha yang lainnya darinya. ) HR. Muslim.

§ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya dan orang-orang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik kepada istri-istrinya. HR. Tirmidzi.

§ Dari 'Amr bin Ahwash radhiyallahu 'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada waktu hajji wada' : ingatlah ( saya berwasiat kepada kamu agar berbuat baik pada kaum wanita, maka terimalah wasiatku ini terhadap mereka ) dan berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena sesungguhnya mereka pada sisi kalian bagaikan tawanan, dan kamu tidak memiliki dari mereka selain itu. HR. Tirmidzi.

Keterangan singkat :

Sebagaimana kaum lelaki mempunyai hak atas istri-istri mereka, demikian pula kaum wanita mempunyai hak atas suami-suami mereka, dan tidak akan berlanjut kehidupan suami istri di atas keadilan yang diperintahkan oleh Allah kecuali jika setiap suami dan istri memenuhi hak-hak di antara mereka.

Kesimpulan :

§ Istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suaminya.

§ Wajib berbuat baik kepada kaum wanita.

§ Bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar selalu bersabar terhadap wanita dan berlemah-lembut kepadanya.

§ Bahwa wanita pada suaminya bagaikan tawanan yang lemah, oleh karenanya dia harus dikasihani, dibimbing, dilindungi dan diberikan hak-haknya.

§ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membebankan dosa kepada mereka yang menyia-nyiakan hak wanita yang berada di bawah tanggungannya.

§ Bahwa orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang terbaik bagi istri-istrinya.

======================================================================

HAK SUAMI ATAS ISTRI
Jumat, 19 Maret 04

Allah berfirman : Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. 4:1)

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai saru tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:228)

§ Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya : wanita yang bagaimanakah yang paling baik ? maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : yang menyenangkannya (suaminya) jika ia memandangnya, taat kepadanya jika dia memerintahkan, dan dia tidak menyelisihinya dalam dirinya dan hartanya dengan sesuatu yang dibencinya. HR. Nasa'i.

§ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu dia tidak datang kepadanya, kemudian suaminya bermalam dalam keadaan marah, maka malaikat melaknatnya sampai pagi. Muttafaq 'alaih.

§ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : tidak halal bagi seorang wanita untuk puasa sedang suami berada padanya kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh dia memberikan izin di rumahnya kecuali dengan seizing suaminya pula. Muttafaq 'alaihi.

Keterangan :

Kaum lelaki mempunyai hak yang agung atas kaum wanita, karena kaum lelaki memperhatikan, memelihara dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap mereka dan sebagai balasan atas kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah atas kaum lelaki yang dapat merealisasikan kebaikan bagi pasangan suami istri dan keluarga secara utuh.

Kandungan ayat dan hadits di atas :

§ Besarnya hak kaum lelaki atas kaum wanita.

Kewajiban kaum wanita (istri) untuk taat kepada suami dalam hal kebajikan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah, dan bahwa hal tersebut adalah sebab masuk surga bagi kaum wanita.

========================================================================

Seputar Ta'addud (poligami) :
MERELAKAN GILIRAN KEPADA MADU

Senin, 12 April 04

Mukaddimah

Islam telah mensyari’atkan Ta’addud (polygami) sebagai salah satu pemecahan bagi problematika rumah tangga, khususnya manakala sebuah rumah tangga sudah diambang kehancuran.

Bila sebuah rumah tangga sudah tidak lagi harmonis dan hubungan suami-isteri selalu diwarnai oleh pertengkaran bahkan pengkhianatan (baca: perselingkuhan), maka kehancurannya hanya tinggal menunggu waktu. Secara logika, dalam kondisi yang sudah sampai ke taraf demikian itu, sangat sulit untuk memulihkan kembali hubungan tersebut seperti semula dan kalaupun bisa, maka akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka, jalan satu-satunya – bila masih menghendaki tetap utuhnya rumah tangga dan tidak menghendaki kehancuran itu – adalah dengan cara berdamai dan mengalah tetapi halal.

Dalam hal ini, kita mendapatkan keteladanan dari salah seorang Ummul Mukminin, yaitu Saudah binti Zam’ah.

Dia memiliki sikap yang perlu di tiru oleh setiap wanita shalihah, sikap yang menampilkan sosok seorang isteri shalihah, seorang Ummul Mukminin yang menyadari bahwa dirinya harus menjadi suriteladan yang baik bagi kaum Mukminat di dalam mempertahankan keutuhan sebuah rumah tangga.

Singkatnya, bahwa Rasulullah sebagai manusia biasa memiliki perasaan suka dan tidak suka secara alami. adalah Saudah wanita pertama yang dinikahinya setelah wafatnya, Khadijah. Dia seorang janda dan sudah berusia, namun karena ketabahan dan keimanannya-lah, beliau Shallallâhu 'alaihi wa sallam kemudian menikahinya dan memuliakannya sebagai Ummul Mukminin.

Setelah beberapa lama berumah tangga, dan Rasulullah juga setelah itu sudah memiliki isteri-isteri yang lain, tampak ada perubahan sikap dari diri beliau terhadapnya seakan-akan sudah tidak menginginkan serumah lagi dengannya alias ingin menceraikannya. Sikap ini ditangkap dengan baik oleh Saudah dan gelagat yang tidak menguntungkan dirinya ini dia manfa’atkan momennya, yaitu dengan suka rela dia mau berdamai dan mengalah, demi keutuhan rumah tangga dan mempertahankan martabatnya yang telah dimuliakan sebagai Ummul Mukminin. Artinya, dia dengan rela dan ikhlash memberikan jatah gilirnya kepada isteri Rasulullah yang lain, yaitu ‘Aisyah radliyallâhu 'anha.

Menyadari akan maraknya fenomena yang tidak mendidik bahkan menyesatkan, khususnya, tayangan-tayangan dalam media elektronik seperti sinetron-sinetron yang berusaha merusak tatanan rumah tangga kaum Muslimin dan sengaja memprovokasi kaum ibu agar melawan ‘pengungkungan’ terhadap hak wanita – dalam anggapan mereka – dengan memilih ‘cerai’ ketimbang ‘dimadu’, dan sebagainya; maka kami memandang perlunya mengangkat tema ini, paling tidak, guna menggugah kaum wanita secara keseluruhan dan para isteri-isteri shalihah secara khusus. Semoga bermanfa’at dan dapat dijadikan bahan renungan dan pertimbangan oleh setiap kaum wanita. Wallahu a’lam. (red.)

Naskah Hadits

عَنْ عَائِشَةَ «أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ, وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقسِمُ لِعَائِشَةَ بِيَوْمِهَا وَيَوْمِ سَوْدَةَ». متفق عليه

“Dari ‘Aisyah –radliallâhu 'anha- bahwasanya Saudah binti Zam’ah – radliallâhu 'anha - telah memberikan jatah gilirnya kepada ‘Aisyah, dan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah menggilir ‘Aisyah (pada jatah gilirnya) plus jatah gilir Saudah”. (Muttafaqun ‘alaih)

Takhrij Hadits Secara Global

Di dalam kitab Bulûghul Marâm karya Syaikh Ibn Hajar al-‘Asqalâny menyebutkan bahwa hadits diatas, diriwayatkan secara sepakat oleh Imam Bukhari dan Muslim. Namun, kami tidak mendapatkan riwayat dari Imam Muslim yang sama seperti lafazh tersebut.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.

Beberapa Pelajaran Dari Hadits

Saudah binti Zam’ah al-Qurasyiyyah al-‘آmiriyyah adalah isteri kedua dari Rasulullah disamping isteri-isteri yang lain. Beliau menikahinya setelah Khadijah wafat. Saat telah berumah tangga dengan beliau, usianya sudah tua dan kondisinya semakin lemah. Karenanya, dia khawatir, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam akan menceraikannya sehingga dirinya akan kehilangan martabat yang mulia dan nikmat yang agung sebagai salah seorang isteri Rasulullah. Dari itu, dia dengan ikhlas merelakan jatah gilirnya kepada ‘Aisyah asalkan dapat tetap menjadi isteri beliau. Beliau-pun menerima cara yang dia lakukan ini. Dan tatkala Rasulullah wafat, dia masih tetap berpredikat sebagai salah seorang dari Ummahâtul Mukminîn.

Abu Dâwud ath-Thayâlisy meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, dia berkata: “Saudah khawatir dithalaq oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, lalu dia berkata kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah! Janganlah engkau menthalaqku dan jadikanlah jatah gilirku untuk ‘Aisyah!’. Beliau pun setuju melakukan itu sehingga turunlah ayat ini:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ

“Dan jika seorang wanita (isteri) khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”.(Q.,s.an-Nisâ`/04:128)

Dan di dalam kitab ‘ash-Shahîhain’ (Shahîh Bukhâry dan Muslim) dari ‘Aisyah, dia berkata: “Tatkala usia Saudah sudah senja (tua), maka dia memberikan (secara sukarela) jatah gilirnya kepada ‘Aisyah. Lalu, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam membagikan jatah gilirnya tersebut untuk ‘Aisyah”.

Hadits diatas mengindikasikan kebolehan berdamai antara suami-isteri. Hal ini bisa dilakukan ketika si isteri merasa suaminya sudah mulai menjauhi atau berpaling darinya sementara dia sendiri takut untuk diceraikan seperti bilamana terputus seluruh haknya atau sebagiannya dari pembagian nafkah, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya yang semula adalah bagian dai kewajiban suami terhadapnya. Sedangkan suami, boleh menerima hal itu darinya dan si isteri tidak berdosa dengan memberikan jatah gilirnya. Demikian pula, dia tidak berdosa bila menerimanya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: “maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”. Artinya, bahwa perdamaian itu lebih baik daripada berpisah dan bercerai.

Tindakan yang dilakukan oleh Ummul Mukminin, Saudah radliallâhu 'anha adalah tindakan yang bijaksana sekali. Karenanya, berdasarkan riwayat yang shahih, ‘Aisyah pernah mengomentarinya: “Tidak ada orang yang aku lebih suka menjadi selumur (kulit luar selongsong ular) baginya (selain) dari Saudah”. Hal itu diucapkannya karena sedemikian kagumnya dia terhadap sikap Saudah. Saudah wafat pada akhir masa kekhalifahan ‘Umar radliallâhu 'anhu.

Para ulama berkata: “Bila seorang isteri memberikan jatah gilir hari dan malamnya untuk salah seorang isteri yang lain (madu) dari suaminya, maka hal itu tidak menjadi keniscayaan bagi hak sang suami dan tidak berpengaruh besar. Jadi, dia boleh saja mendatangi si pemberi jatah gilirnya ini atau tidak rela bersamanya karena sudah cukup dengan isteri yang lainnya. Tetapi jika dia (suami) rela maka hal itu boleh”.

Jika si suami memiliki banyak isteri (tiga orang atau empat orang), lalu isteri yang merelakan jatah gilirnya ini menentukan kepada salah seorang diantara madu-madunya tersebut, maka hal itu dianggap berlaku secara hukum sebagaimana dengan kisah Saudah terhadap ‘Aisyah diatas. Tetapi, jika dia membiarkan jatahnya itu tanpa menentukan kepada siapa diantara madu-madunya itu yang dia beri, maka hendaknya si suami menyamakan jatah yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, tidak memasukkan lagi jatah gilir si pemberi tersebut.

Isteri yang telah memberikan jatah gilirnya kepada madunya boleh saja menarik kembali pemberiannya itu dari suaminya kapanpun dia menghendaki sebab hukum asal semua pemberian (Hibah) adalah dibolehkan menarik/mengambilnya kembali selama belum dipegang (disepakati perjanjiannya) baik untuk yang sekarang maupun untuk yang akan datangnya. Wallahu a’lam.

(Diambil dari Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh ‘Abdullah آli Bassam, Jld. IV, Hal. 519-520, No. 921).

=============================================================

HUKUM THALAQ TIGA SEKALI LAFAZH (Talak Tiga Sekaligus)
Selasa, 16 Agustus 05

MUKADDIMAH

Fenomena perceraian sangat marak dewasa ini dan amat memprihatinkan. Kata Talak (cerai) dengan mudah diucapkan dan keluar dari mulut sang suami bahkan dari sang isteri padahal sebenarnya menurut syari’at bukan menjadi ‘hak’-nya, apalagi bila dikaitkan dengan kehidupan kalangan tertentu yang menjadikan kasus-kasus seperti ini yang terjadi pada diri mereka sebagai bahan ‘komersil.’

Selaku umat Islam, kita sangat terpukul karena ini menandakan bahwa sangat sedikit sekali kalangan umat ini yang memahami benar arti sebuah pernikahan dan makna ‘talak’ itu sendiri.

Terkait dengan masalah talak ini, kita sering mendengar ucapan ‘talak tiga’ dengan begitu ringan keluar dari mulut sang suami apalagi bila dalam kondisi emosi. Ucapan ini keluar tanpa mempertimbangkan syari’at dan implikasinya di mana salah satu pihak yang pasti akan menderita adalah anak (bila telah dikaruniai anak). Manakala sang isteri yang diceraikan bisa saja akan mendapatkan ‘pengganti’ setelah itu, tetapi akankah anak demikian.? Inilah yang perlu dipertimbangkan dengan matang dan secara seksama agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Benar, bahwa talak itu merupakan tindakan terakhir yang disediakan syari’at dalam mengatasi lika-liku rumah tangga apabila memang tidak ada lagi kecocokan, tetapi hendaknya tidak menyerah dengan dalih seperti itu. Perlu ada upaya-upaya dan langkah-langkah guna menjadikan rumah tangga tetap harmonis dan terhindar dari keretakan.

Pada masa akhir khalifah ‘Umar, tindakan ‘main’ talak tiga begitu trendi sehingga membuat ‘Umar menjalankan ijtihad sekaligus memberikan pelajaran kepada mereka yang dengan seenaknya mengeluarkan ucapan yang berbahaya itu.

Nah, dalam kajian kali ini, diketengahkan seputar permasalahan tersebut, semoga bermanfa’at.

NASKAH HADITS

Hadits Pertama:

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قَالَ: كَانَ الطّلاَقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ, طَلاَقُ الثّلاَثِ وَاحِدَةً، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطّابِ: إِنّ النّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أنَاةٌ, فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ. (رواه مسلم)

Dari Ibn ‘Abbas, dia berkata, Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan 2 tahun pertama masa kekhilafahan ‘Umar talak tiga (sekaligus dengan satu lafazh) terhitung satu kali talak. Maka berkatalah ‘Umar bin al-Khaththab, “Orang-orang terlalu terburu-buru dalam urusan (menalak tiga sekaligus dalam satu lafazh) mereka yang dulu masih ada tempo waktunya. Andaikatan kami jalankan apa yang mereka lakukan dengan terburu-buru itu (bahwa talak tiga dalam satu kata (lafazh) itu jatuh talak tiga) niscaya hal itu dapat mencegah dilakukannya talak secara berturut-turut (seperti yang mereka lakukan itu).” Lalu ia memberlakukan hal itu terhadap mereka. (HR.Muslim)

Hadits Ke-dua:

عَنْ مَحْمُود بْنَ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَجُلٍ طَلّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاَثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعا فَقَامَ غَضْبَانا ثُمّ قَالَ: «أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟» حَتّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَلاَ أَقْتلُهُ. (رواه النسائي ورواته موثقون)

Dari Mahmud bin Labid, ia berkata, saat Rasulullah SAW diberitahu mengenai seorang laki-laki yang menalak isterinya dengan talak tiga sekaligus, maka berdirilah ia dalam kondisi marah, kemudian berkata, “Apakah ia ingin bermain-main dengan Kitabullah padahal aku masih ada di tengah kalian.?” Ketika itu ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya.?” (HR.an-Nasa’iy, dan para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat)

Kualitas hadits kedua ini adalah shahih.

Hadits Ke-tiga:

عن ابنِ عَبّاسٍ قال: طَلّقَ أبُو رُكَانَةَ أُمّ رُكَانَةَ فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : رَاجِع امْرَأَتَكَ، فقال: إِنّي طَلّقْتُهَا ثَلاَثاً، قال: قَدْ عَلِمْتُ رَاجِعْها. رواه أبو داود

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, Abu Rukanah telah menalak Ummu Rukanah, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Rujuklah isterimu itu.” Lalu ia menjawab, “Sudah aku talak tiga ia.” Beliau berkata, “Aku sudah tahu, rujuklah ia.” (HR.Abu Daud)

Dalam riwayat Ahmad terdapat teks:

“Abu Rukanah menalak isterinya dengan talak tiga dalam satu majlis (sekaligus), maka ia pun menyesali kejadian itu (bersedih atasnya), maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ia hanya (terhitung) satu kali.”
Tetapi dalam sanad ini terdapat Ibn Ishaq yang perlu diberi catatan.

Abu Daud meriwayatkan dari jalur lainnya dengan riwayat yang lebih baik:

“Bahwa Abu Rukanah telah menalak isterinya, Suhaimah dengan pasti (sekaligus dan langsung talak tiga-red), lalu ia memberitahu Nabi SAW mengenai hal itu, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?” Maka, Rasululullah SAW mengembalikan isterinya kepadanya.

Kualitas Hadits

Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits ini; ada yang menilainya shahih dan menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menilainya lemah (Dla’if) dan berhujjah dengan hadits yang bertentangan dengannya. Dari perbedaan ini timbul perbedaan para ulama mengenai hukum masalah yang ada di dalam hadits ini.

Bagi para ulama yang menilainya shahih, mereka berargumentasi: Abu Daud berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dari hadits Ibn Juraij yang didalamnya berbunyi, ‘Sesungguhnya Rukanah telah menalak isterinya dengan talak tiga (sekaligus).’”

Ibn Majah berkata, “Aku mendengar ath-Thanaafisi berkata, ‘Alangkah mulianya hadits ini.’ Ini menjelaskan betapa sanadnya begitu mulia dan banyak faedahnya.”

Sementara para ulama yang menilainya lemah, termasuk di antaranya Ibn al-Qayyim berargumentasi: hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad. Syaikh kami (maksudnya, Ibn Taimiyyah-red) berkata, ‘Para ulama tokoh dan besar yang sangat mengenali ‘illat-‘illat hadits seperti Imam Ahmad, al-Bukhary, Ibn ‘Uyainah dan ulama lainnya menilai lemah hadits Rukanah tersebut. Demikian juga, Ibn Hazm. Mereka mengetakan, ‘Para periwayatnya adalah sekelompok orang yang masih anonim (tidak diketahui), tidak dikenal keadilan dan kekuatan hafalan mereka. Imam Ahmad berkata, ‘Hadits Rukanah tidak valid.’”

Imam at-Turmudzy berkata, “Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur ini saja. Aku pernah menanyakan kepada al-Bukhari mengenainya, maka ia berkata, ‘Itu hadits Muththarib.’ (bagian dari hadits Dla’if/lemah-red).

Syaikh al-Albani berkata, “Alhasil, hadits tersebut Dla’if sedangkan hadits Ibn ‘Abbas lainnya yang bertentangan dengan makna hadits tersebut lebih kuat darinya, wallahu a’lam.”

Tarjamah (Biografi) Singkat Abu Rukanah Dan Ummu Rukanah

Sesuai dengan yang dikenal dalam buku-buku Taraajum, buku hadits dan lainnya, bahwa Abu Rukanah adalah Rukanah bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin la-Muththalib, al-Qurasyi al-Muththalibi.

Syaikh al-Bassam, pengarang buku syarah Bulughul Maram yang kita bahas ini mengomentari: “Demikian tertera namanya (Abu Rukanah) seperti yang saya dapatkan di dalam kitab Bulughul Maram…Saya juga merujuk beberapa kitab induk, termasuk di antaranya kitab al-Ishabah karya pengarang sendiri (yakni pengarang bulugh al-Maram, Ibn Hajar-red), saya hanya menemukan kata ‘Rukanah’ (tanpa Abu-red). Menurut saya adanya tambahan “Abu” ini hanya kerjaan Nussaakh (para penyalin tulisan dari teks asli ke buku berikutnya, dalam istilah sekarang: tukang Copy –red)

Sedangkan Suhaimah adalah Suhaimah binti ‘Umair al-Muzainah dari Bani Muzainah, sebuah kabilah Mudlar, sekarang bersekutu dengan kabilah Harb dan mendiami bagian barat kawasan al-Qashim (Arab Saudi-red).

PESAN-PESAN HADITS

1. Hadits pertama menginformasikan bahwa tiga kali talak dengan satu kalimat (lafazh) tidak dihitung (dinilai) selain sebagai satu kali talak saja; jika ia bukan merupakan talak yang ketiga (terakhir), maka masih boleh rujuk. Hadits ini merupakan rujukan inti bagi pendapat yang mengatakan demikian.

2. Hadits ke-dua menunjukkan bahwa tiga kali talak yang tidak diiringi rujuk dan nikah (langsung talak tiga sekaligus-red), maka ia merupakan talak bid’ah yang diharamkan.

3. Bahwa bermain-main dengan hukum-hukum Allah dan melanggar aturan-Nya termasuk dosa besar sebab Nabi SAW tidak marah kecuali terhadap kemaksiatan yang besar.

4. Bermain-main dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya adalah haram sekali pun dilakukan sepeninggal Rasulullah SAW. Beliau mengucapkan kata-kata seperti itu tidak lain karena merasa aneh dengan sangat cepatnya perubahan yang melanda berbagai perkara.

5. Indikasi dua riwayat Abu Daud dan Ahmad pada hadits ketiga adalah sama dengan hadits pertama dari sisi penilaian bahwa tiga kali talak itu terhitung satu kali talak saja dan bahwa seorang suami yang menalak isterinya boleh rujuk kepada isterinya selama talak itu bukan merupakan akhir dari angka talak yang masih dimilikinya (talak ini bukan terhitung yang ketiga kalinya dari talak yang pernah dilakukannya).

6. Sementara riwayat kedua dari Abu Daud di atas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus berlaku sesuai dengan niat orang yang menalak; jika ia meniatkan tiga, maka ia jadi tiga dan jika ia meniatkan hanya satu, maka ia jadi satu, yang memungkinkan untuk rujuk.

7. Riwayat talak tiga sekaligus dalam hadits Rukanah merupakan dalil Jumhur bahwa tiga talak itu merupakan ucapan talak Ba’in Bainuunah Kubro yang tidak bisa lagi dirujuk kecuali setelah si isteri yang ditalak itu menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai lagi-red.).

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang menalak dengan talak tiga sekaligus atau mengucapkannya dengan tanpa diselingi rujuk dan nikah.
Artinya, apakah talak tiga itu harus dikomitmeninya sehingga isterinya menjadi tidak halal lagi baginya kecuali setelah ia menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai) dan menjalani masa ‘iddah darinya? Atau kah ia hanya terhitung satu kali talak saja sehingga ia boleh rujuk dengan isterinya selama masih dalam ‘iddah, lalu setelah ‘iddah ia melakukan ‘aqad baru sekali pun isterinya tersebut belum lagi menikah dengan laki-laki lain.?

Masalah ini menjadi ajang perdebatan panjang para ulama, bahkan gara-gara mengatakan boleh rujuk (dengan talak tiga sekaligus karena mengganggapnya terhitung satu kali talak-red) ada beberapa ulama yang disiksa, di antaranya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.

Ringkasan Dari Perselisihan Dan Perdebatan Panjang Itu Adalah:

1. Jumhur Ulama, di antaranya empat imam madzhab, jumhur shahabat dan tabi’in berpendapat bahwa tiga talak dengan satu kata (lafazh) adalah berlaku bila seorang suami berkata, “Kamu saya talak (tiga kali)!” dan semisalnya atau dengan beberapa kata (kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak) sekali pun sebelumnya belum terjadi rujuk dan nikah.

Dalil

a. Hadits Rukanah bin ‘Abdullah bahwasanya ia telah menalak isterinya secara pasti (talak tiga sekaligus), lalu ia memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?”

Hadits ini dikeluarkan oleh asy-Syafi’i, Abu Daud, at-Turmudzy, Ibn Hibban (dia menilainya shahih) dan al-Hakim.

Sisi Pendalilan

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah meminta kepada suami yang menceraikan itu agar bersumpah bahwa ia tidak menginginkan dari ucapannya “putus” (talak tiga) tersebut kecuali hanya satu kali saja. Ini menandakan bahwa seandainya ia (suami) menghendaki lebih banyak dari itu (lebih dari satu kali) niscaya terjadilah apa yang diinginkannya.

b. Amalan para shahabat, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab RA yang menilai talak tiga dalam satu kata (lafazh) berlaku tiga seperti yang diucapkan suami yang menalak. Tentunya, mereka cukup sebagai panutan.

Selain dalil di atas, masih banyak lagi dalil yang dikemukakan pendapat ini namun apa yang kami sebutkan tersebut merupakan dalil yang lebih jelas dan secara terang-terangan.

2. Sekelompok ulama berpendapat tiga talak dalam satu kata (lafazh), atau tiga talak dalam beberapa kata yang tidak diiringi rujuk dan nikah, tidak jatuh kecuali hanya satu kali saja (satu talak). Pendapat ini didukung oleh riwayat dari beberapa shahabat, tabi’in dan para tokoh madzhab. Dari kalangan shahabat terdapat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu ‘Abbas, Ibn Mas’ud, ‘Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan az-Zubair bin al-‘Awwam. Dari kalangan tabi’in terdapat Thawus, ‘Atha’, Jabir bin Zaid dan mayoritas pengikut Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Musa dan Muhammad bin Ishaq. Dan dari kalangan para tokoh madzhab terdapat Daud azh-Zhahiri dan kebanyakan sahabatnya, sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian sahabat Imam Malik, sebagian sahabat Imam Ahmad seperti al-Majd bin ‘Abdussalam bin Taimiyyah yang memfatwakan hal itu secara sembunyi-sembunyi dan cucunya, Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah yang memfatwakannya secara terang-terangan dengan memfatwakannya di majlis-majlisnya serta kebanyakan pengikutnya, di antaranya Ibn al-Qayyim yang membela mati-matian pendapat ini di dalam kitabnya al-Hadyu dan Ighaatsah al-Lahafaan. Di dalam kedua kitabnya tersebut, beliau memaparkannya secara panjang lebar, menukil berbagai nash-nash dan membantah pendapat para penentangnya dengan bantahan yang cukup dan memuaskan.

Dalil

Dalil pendapat ini terdiri dari nash-nash dan qiyas.
Dari nash, di antaranya:

Hadits yang diriwayatkan Muslim, bahwasanya Abu ash-Shahba’ berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Tahukah kamu bahwa yang tiga itu dulu dijadikan satu talak saja pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan permulaan masa ‘Umar.? Ia menjawab, “Ya.” Di dalam lafazh yang lain, “dikembalikan kepada satu talak.?”, ia mejawab, “Ya.”
Ini merupakan nash yang shahih dan sangat jelas sekali, tidak bisa ditakwil-takwil atau pun dirubah.

Sedangkan dari Qiyas:

Mengumpulkan tiga sekaligus adalah diharamkan dan merupakan bid’ah sebab Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang bukan berasal dari kami, maka ia tertolak.” Jadi, menjatuhkan (talak) tiga sekaligus bukan termasuk perkara yang berasal dari Rasulullah SAW sehingga ia tertolak.

Bantahan Terhadap Pendapat Pertama

Pendapat ke-dua ini membantah dalil-dalil pendapat pertama sbb:
Mengenai hadits Rukanah; di dalam sebagian lafazhnya terdapat, “Ia menalaknya tiga kali.” Dan di dalam lafazh yang lain, “Satu kali.” Sementara di dalam riwayat lain lagi terdapat lafazh, “al-Battah.” (putus). Oleh karena itu, al-Bukhari berkata mengenainya, “Ia hadits Muththarib.” (merupakan jenis hadits Dla’if/lemah-red)

Imam Ahmad mengatakan, “semua jalur periwayatannya lemah. Sebagian mereka (ulama) mengatakan, di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak dikenal (majhul), di dalamnya terdapat orang yang lemah dan ditinggalkan (periwayatannya tidak digubris).”

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, “Kualitas hadits Rukanah menurut para imam hadits, lemah. Dinilai lemah oleh Ahmad, al-Bukhari, Abu ‘Ubaid dan Ibn Hazm sebab para periwayatnya bukanlah orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang yang adil dan kuat hafalannya (Dhabith).”

Sedangkan hadits ‘Aisyah RHA tidak tepat untuk dijadikan dasar berdalil sebab bisa jadi yang dimaksud dengan tiga tersebut adalah urutan terakhir bagi seorang suami yang manalak, dari tiga talak yang dimilikinya. Manakala ada kemungkinan seperti itu, maka berdalil dengannya pun menjadi batal. Hadits itu masih bersifat global (mujmal) sehingga dapat diarahkan kepada hadits Ibn ‘Abbas yang sudah dijelaskan (mubayyan) sebagaimana yang berlaku dalam ilmu ushul fiqih.

Adapun berdalil dengan amalan para shahabat, maka perlu dipertanyakan; siapa di antara mereka yang patut dan lebih utama untuk diikuti?


Kami katakan: bahwa jumlah mereka itu (para shahabat) lebih dari ratusan ribu. Bilangan orang yang banyak ini di mana orang nomor satu mereka adalah nabi mereka sendiri, yakni Rasulullah SAW menilai tiga talak tersebut sebagai jatuh satu kali. Hingga akhir hayat Rasulullah, kondisinya tetap seperti itu; khalifah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq RA memberlakukan hal itu hingga wafat, lalu ia digantikan khalifah ‘Umar RA. Di awal pemerintahannya, kondisi tersebut pun masih berlaku sebagai yang berlaku pada masa Rasulullah SAW. Setelah itu lah baru tiga talak itu dijadikan tiga seperti angkanya sebagaimana telah kami jelaskan sebabnya.

Jadi, mayoritas shahabat yang wafat sebelum kekhalifahan ‘Umar tetap menjalankan dan memberlakukan tiga talak itu dianggap satu kali saja.

Dengan begitu, kita ketahui bahwa berdalil dengan amalan para shahabat RA telah dibatalkan dengan semi ijma’ mereka (para shahabat) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq RA.

Tentunya, ‘Umar bin al-Khaththab amat jauh dari melakukan suatu amalan yang bertentangan dengan amalan yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Yang ia lakukan, bahwa ia melihat banyak orang yang terburu-buru dan sering sekali melakukan talak tiga padahal ini merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan. Karena itu, ia melihat perlunya memberikan pelajaran atas ucapan mereka tersebut sekaligus sebagai sanksi atas dosa yang mereka lakukan. Demikian pula, atas tindakan mereka yang sengaja ingin menyulitkan diri sendiri padahal sudah mendapat kelapangan dan toleransi yang tinggi. Apa yang dilakukan ‘Umar ini semata adalah sebuah ijtihad layaknya ijtihad yang dilakukan para ulama tokoh di mana bisa berbeda seiring dengan perbedaan zaman dan tidak akan tetap sebagai sebuah produk syari’at yang mengikat, yang tidak dapat berubah. Yang tetap dan mengikat itu hanya syari’at pokok dari masalah ini (masalah talak-red).

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah RAH berkata, “Jika ia (suami) menalaknya (isterinya) dengan talak tiga dalam masa suci baik satu kata atau beberapa kata seperti ‘Kamu ditalak, kamu ditalak, kamu ditalak’ atau ‘kamu ditalak’ kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, menurut para ulama baik Salaf mau pun khalaf terdapat tiga pendapat dalam hal ini, baik wanita yang ditalak itu sudah disetubuhi mau pun belum:
Pertama, Bahwa hal itu merupakan talak yang dibolehkan dan mengikat; ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat lamanya (dipilih oleh al-Kharqy)

Ke-dua, Bahwa hal itu merupakan talak yang diharamkan dan mengikat; ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah dan Ahmad (yang dipilih oleh kebanyakan sahabatnya). Pendapat ini juga dinukil dari kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat dan Tabi’in.

Ke-tiga, Bahwa ia merupakan talak yang diharamkan dan hanya berlaku satu kali talak saja; ini pendapat yang dinukil dari sekelompok ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat. Pendapat ini juga diambil kebanyakan Tabi’in dan generasi setelah mereka. Juga, merupakan pendapat sebagian sahabat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.

Tarjih

Pendapat ke-tiga inilah yang didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Di dalam Kitabullah atau pun as-Sunnah tidak terdapat hal yang mengharuskan berlakunya talak tiga bagi orang yang menjatuhkannya sekaligus baik dalam satu kata atau beberapa kata tanpa diiringi dengan rujuk atau pun akad.

Bahkan, di dalam Kitabullah dan as-Sunnah keharusan itu hanya berlaku bagi suami yang menalak hal yang dibolehkan Allah dan Rasul-Nya. Ini didukung oleh Qiyas dan penilaian dengan seluruh prinsip-prinsip syari’at.

Tidak terjadi pertentangan di kalangan kaum Muslimin bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang terjaga dari kesalahan (ma’shum) dalam apa yang disampaikannya dari Allah (wahyu). Beliau ma’shum dalam hal yang disyari’atkannya kepada umatnya menurut ijma’ kaum Muslimin. Demikian pula, umat Islam terjaga dari berkumpul di dalam kesesatan.

Ada pun masalah ‘bersumpah dengan talak’, Ibn Taimiyyah berkata, “Perbedaan antara talak dan bersumpah dengannya amat kentara, juga antara nadzar dan bersumpah dengan nadzar. Bila seseorang meminta hajat kepada Allah seraya berkata, ‘Jika Allah menyembuhkan penyakitku, melunasi hutangku atau menyelamatkanku dari kesulitan ini, maka aku bersumpah demi Allah akan bersedekah sebanyak seribu dirham, atau berpuasa selama sebulan atau membebaskan budak.’ Ini adalah mengaitkan nadzar (mensyaratkannya) di mana wajib menepatinya berdasarkan Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’.

Bila seseorang mengaitkan (mensyaratkan) nadzar dalam redaksi sumpah, dengan tujuan untuk menganjurkan atau melarang, seperti “Jika aku bepergian bersama kalian, atau jika aku mengawini si fulan, maka aku akan berhaji, atau hartaku akan aku sedekahkan’; kondisi orang tersebut menurut para shahabat dan jumhur ulama adalah sebagai seorang yang bersumpah dengan nadzar bukan hanya sebagai orang yang bernadzar. Bila ia tidak menepati apa yang telah dikomitmeninya, maka boleh ia menggantikannya dengan kafarat (tebusan) sumpah. WALLAHU A’LAM

KEPUTUSAN
MAJELIS KIBAR ULAMA
(DEWAN ULAMA-ULAMA BESAR)
Mengenai Masalah Talak Tiga Sekaligus (Dengan satu lafazh)
No.18, tanggal 12-11-1393 H



Majelis Hai’ah Kibar ulama mengatakan: Pembahasan masalah talak tiga dengan satu lafazh. Setelah melakukan pengkajian, urun rembug dan pemaparan pendapat-pendapat yang berbicara tentang hal itu serta mendiskusikan setiap pendapat tersebut; dengan mayoritas suara, majelis memilih pendapat yang menyatakan jatuhnya talak tiga dengan satu lafazh sebagai talak tiga. Ada pun para anggota yang berbeda pendapat mengenai hal ini ada 5 orang, yaitu:
1. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
2. Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
3. Syaikh ‘Abdullah Khayyath
4. Syaikh Rasyid bin Hanin
5. Syaikh Muhammad bin Jubair
Mereka berlima memiliki pandangan lain, redaksinya sebagai berikut:
Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Rasul-Nya dan keluarga besarnya, wa ba’du:
Kami memandang bahwa talak tiga dengan satu lafazh berlaku hanya satu kali talak saja.


(masing-masing dari kedua belah pihak ini mengemukakan dalil-dalil yang mendukung pandangan-pandangan mereka)


(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.V, hal.14-21)

========================================================================

LARANGAN MENIKAH TANPA WALI
Senin, 12 April 04

Mukaddimah

Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ dimana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat, kenalannya dan sebagainya.

Ini tentunya sebuah masalah pelik yang perlu dicarikan akar permasalahan dan solusinya secara tuntas, sehingga tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi sehingga norma-norma agama diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.

Tidak luput pula dalam hal ini, tayangan-tayangan di berbagai media televisi yang seakan mengamini tindakan tersebut dan dengan tanpa kritikan dan sorotan menyuguhkan adegan-adegan seperti itu di hadapan jutaan pemirsa yang notabenenya adalah kaum Muslimin.
Hal ini menunjukkan betapa umat membutuhkan pembelajaran yang konfrehensif dan serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya mengingat tidak sedikit tradisi di sebagian daerah (untuk tidak mengatakan seluruhnya) yang bertolak belakang dengan ajaran agama dan mentolerir pernikahan tanpa wali tersebut bilamana dalam kondisi tertentu seperti tradisi ‘kawin lari’. Dengan melakukan tindakan ini dengan cara misalnya, menyelipkan sejumlah uang di bawah tempat tidur si wanita, seakan kedua mempelai yang telah melakukan hubungan tidak shah tersebut -karena tanpa wali yang shah- menganggap sudah tidak ada masalah lagi dengan pernikahannya sekembalinya dari melakukan pernikahan ala tersebut.

Sebagai dimaklumi, bahwa tradisi tidak dianggap berlaku bilamana bertabrakan dengan syari’at Islam.
Mengingat demikian urgen dan maraknya masalah ini, sekalipun sudah menjadi polemik di kalangan ulama fiqih terdahulu, maka kami memandang perlu mengangkatnya lagi dalam koridor kajian hadits, semoga saja bermanfa’at bagi kita semua dan yang telah terlanjur melakukannya menjadi tersadar, untuk selanjutnya kembali ke jalan yang benar.

Naskah Hadits

1. عَنْ أَبِي بُرْدَةَ, عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيْهِ -رضي الله عنهما- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لاَ نِكَاحَ إِلاّ بِوَلِيٍّ ."

Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu 'anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”

2. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْن مَرْفُوْعًا: لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ

Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.”

3. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَِّ لَهُ. "

Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu 'anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”

Takhrij Hadits Secara Global

Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).

Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulâshah berkata, “Sesungguhnya Imam al-Bukhariy telah menilainya shahîh dan juga dijadikan argumentasi oleh Ibn Hazm.” Al-Hâkim berkata, “Riwayat mengenainya telah shahih berasal dari ketiga isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam; ‘Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.” Kemudian dia menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya.

Syaikh al-Albaniy berkata, “Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas Shahîh sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih oleh banyak ulama. Jika, digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi matan (Tâbi’) dan sebagian riwayat pendukung dari sisi sanad (Syâhid) yang kualitasnya tidak lemah sekali, maka hati kita menjadi tenang untuk menerimanya.”

Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.

Hadits ini dinilai shahih oleh Ibn Ma’in, Abu ‘Awânah dan Ibn Hibban. Al-Hâkim berkata, “Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikhân (al-Bukhariy dan Muslim), diperkuat oleh Ibn ‘Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits ini juga dinilai Shahîh oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa terdapat ‘illat, yaitu al-Irsâl akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits ini kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a’lam.”

Beberapa Pelajaran dari Hadits-Hadits Tersebut

  • Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad nikah. Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
    Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi (artinya), “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
    Al-Munawiy berkata di dalam kitab Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, “Hadits tersebut hadits Mutawatir.” Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hâkim dari 30 sumber. Sedangkan hadits ‘Aisyah diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali menyatakan pernikahan itu batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya), “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil (tiga kali).”
  • ‘Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan ‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.
  • Seorang wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki, mengetahui manfa’at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini, maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu ‘aqad nikah.
  • Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita; sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya tersebut adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian anaknya ke bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara kandungnya, kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut mereka di dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang ditimbulkannya.
  • Bila seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita padahal ada wali yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini diperselisihkan para ulama:
    Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan tersebut Mafsûkh (batal).
    Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu boleh.
    Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki hubungan lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh (membatalkan) nya.
    Sebab Timbulnya Perbedaan
    Sebab timbulnya perbedaan tersebut adalah:
    “Apakah tingkatan perwalian yang paling dekat dalam suatu pernikahan merupakan Hukum Syar’iy yang murni dan mutlak hak yang terkait dengan Allah sehingga pernikahan tidak dianggap terlaksana karenanya dan wajib difasakh (dibatalkan)”,
    Ataukah “ia merupakan Hukum Syar’iy namun juga termasuk hak yang dilimpahkan kepada wali sehingga pernikahan itu dianggap terlaksana bilamana mendapatkan persetujuan si wali tersebut; bila dia membolehkan (mengizinkan), maka boleh hukumnya dan bila dia tidak mengizinkan, maka pernikahan itu batal (fasakh).”
  • Perbedaan Para Ulama
    Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa adanya seorang wali merupakan syarat shah suatu akad nikah. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya Tiga Imam Madzhab.
    Sementara Imam Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa hal itu bukanlah merupakan syarat.
    Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat terakhir ini banyak sekali namun masih dalam koridor permasalahan khilafiyyah yang amat panjang.
    Diantara dalil mereka tersebut adalah mengqiyaskan (menganalogkan) nikah dengan jual beli. Dalam hal ini, sebagaimana seorang wanita berhak untuk memanfa’atkan dan menjual apa saja yang dia maui dari hartanya, demikian pula dia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Namun para ulama mengatakan bahwa ini adalah Qiyâs Fâsid (Qiyas yang rusak alias tidak sesuai dengan ketentuan) karena tiga faktor:
    Pertama, karena ia merupakan Qiyas yang bertentangan dengan Nash sehingga menurut kaidah ushul, Qiyas seperti ini tidak boleh dan tidak berlaku.
    Kedua, Dalam Qiyas itu harus ada kesamaan antara dua hukum dari kedua hal yang diqiyaskan tersebut, sementara disini tidak ada. Dalam hal ini, nikah merupakan hal yang serius, perlu pandangan yang tajam dan kejelian terhadap konsekuensi-konsekuensinya, namun berbeda halnya dengan jual beli yang dilakukan dengan apa adanya, ringan dan kecil permasalahannya .
    Ketiga, bahwa akad terhadap sebagian suami bisa menjadi ‘aib dan cela bagi seluruh keluarga, bukan hanya terhadap isterinya semata. Jadi, para walinya ikut andil di dalam proses persemendaan (perbesanan), baik ataupun buruknya.

    Dalam hal ini, Abu Hanifah membantah hadits ini dengan beragam jawaban:
    Pertama, Terkadang beliau mengeritik sanad (jalur transmisi) hadits yang menurutnya terdapat cacat, yaitu adanya perkataan Imam az-Zuhriy kepada Sulaiman bin Musa, “Saya tidak mengenal hadits ini.”
    Kedua, mereka mengatakan bahwa lafazh “Bâthil” di dalam teks hadits tersebut dapat dita’wil dan maksudnya adalah “Bishodadil Buthlân wa mashîruhu ilaihi.” (Maka pernikahannya akan menuju kebatilan dan berakibat seperti itu).
    Ketiga, mereka berkata bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan wanita (Mar`ah) di dalam teks hadits tersebut adalah wanita yang gila atau masih kecil (di bawah umur)…
    Dan bantahan-bantahan lainnya yang tidak kuat dan sangat jauh dimana para ulama juga menanggapinya satu per-satu.

    Tanggapan Terhadap Bantahan Tersebut

    Terhadap Bantahan Pertama, bahwa sebenarnya hadits tersebut memiliki banyak jalur yang berasal dari para Imam-Imam Besar Hadits dan periwayat, bukan seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah melalui perkataan Imam az-Zuhriy tersebut.
    Terhadap Bantahan Kedua, bahwa ta’wil tersebut tidak tepat dan amat jauh dari sasaran.
    Terhadap Bantahan Ketiga dan seterusnya, bahwa nash-nash tentang hal itu amat jelas sehingga tidak membutuhkan ta’wil-ta’wil semacam itu. wallahu a’lam.

    Dalil-Dalil Pensyaratan Wali

    Diantara dalilnya adalah hadits yang telah dipaparkan diatas, dan mengenainya:
    a. ‘Aliy al-Madiniy berkata, “Shahîh”. Pensyarah berkata, “Ia dinilai Shahîh oleh al-Baihaqiy dan para Huffâzh .”
    Adl-Dliyâ` berkata, “Sanad para periwayatnya semua adalah Tsiqât.”
    b. Hadits tersebut juga telah dikeluarkan oleh al-Hâkim dan bersumber dari 30 orang shahabat.
    c. Imam al-Munawiy berkata, “Ia merupakan hadits Mutawatir.”

    Dalil lainnya:
    - Bagi siapa yang merenungi kondisi ‘aqad nikah dan hal-hal yang dibutuhkan padanya seperti perhatian serius, upaya mencari mashlahat dan menjauhi dampak negatif dari pergaulan suami-isteri, kondisi suami dan ada tidaknya kafâ`ah (kesetaraan), pendeknya pandangan dan dangkalnya cara berfikir wanita serta mudahnya ia tergiur oleh penampilan, demikian pula bagi siapa yang mengetahui kegigihan para walinya dan keinginan mereka untuk membahagiakannya serta pandangan kaum lelaki yang biasanya jauh ke depan….barangsiapa yang merenungi hal itu semua, maka tahulah kita akan kebutuhan terhadap apa yang disebut Wali itu.
  • Manakala kita mengetahui bahwa pernikahan tanpa wali hukumnya Fâsid (rusak), lalu jika ia terjadi juga, maka ia tidak dianggap sebagai pernikahan yang sesuai dengan syari’at dan wajib difasakh (dibatalkan) melalui hakim ataupun thalaq/cerai oleh sang suami.
    Sebab, pernikahan yang diperselisihkan hukumnya perlu kepada proses Fasakh atau Thalaq, berbeda dengan pernikahan Bâthil yang tidak membutuhkan hal itu.

    Perbedaan Antara Pernikahan Bâthil Dan Fâsid

    - Bahwa terhadap pernikahan Bâthil, para ulama telah bersepakat hukumnya tidak shah, seperti menikah dengan isteri ke-lima bagi suami yang sudah memiliki empat orang isteri, atau menikah dengan saudara wanita kandung dari isteri (padahal saudaranya itu masih shah sebagai isteri)…Pernikahan seperti ini semua disepakati oleh para ulama kebatilannya sehingga tidak perlu proses Fasakh.
    - Sedangkan pernikahan Fâsid adalah pernikahan yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai shah nya seperti pernikahan tanpa wali atau tanpa para saksi ; Ini semua harus melalui proses Fasakh (pembatalan) oleh pihak Hakim atau proses Thalaq oleh sang suami.
  • Bila seorang suami mencampuri isterinya melalui Thalaq Bâthil atau Fâsid, maka dia berhak untuk mendapatkan mahar utuh (sesuai yang disebutkan dalam aqad nikah, tidak boleh kurang) sebagai konsekuensi dari telah dicampurinya tersebut (dihalalkan farjinya).
  • Bila seorang wanita tidak memiliki wali dari kaum kerabatnya, atau mantan budak wanita tidak mendapatkan mantan majikannya sebagai wali; maka yang bertindak menjadi walinya ketika itu adalah sang Imam (penguasa) atau wakilnya, sebab Sultan (penguasa) adalah bertindak sebagai wali orang yang tidak memiliki wali.
  • Perselisihan Para Ulama Mengenai Pensyaratan Keadilan Wali
    Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama:
    1. Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya berpendapat bahwa seorang wali harus seorang yang adil secara zhahirnya, sebab hal ini merupakan Wilâyah Nazhoriyyah (perwalian yang memerlukan sudut pandang) sehingga si wanita ini tidak dizhalimi oleh wali yang fasiq.
    2. Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa keadilan itu bukan merupakan syarat bagi seorang wali bahkan perwalian orang yang fasiq boleh hukumnya karena dia boleh menjadi wali bagi pernikahan dirinya sendiri sehingga perwaliannya atas orang selainnya shah hukumnya.
    Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat pilihan pengarang kitab al-Mughniy (Ibn Qudamah), pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Sedangkan dari ulama kontemporer, pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’diy.
    Pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr berkata, “Dalil yang shahih dan yang banyak diamalkan adalah bahwa ayahnya-lah yang memiliki wanita tersebut sekalipun kondisinya tidak baik selama dia bukan kafir. Saya tegaskan, berdasarkan pendapat inilah kaum Muslimin mengamalkannya.”

Rujukan
- CD al-Mawsû’ah al-Hadîtsiyyah
- Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, Tawdlîh al-Ahkâm, (Mekkah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Haditsah, 1414 H), Cet. 2
- ath-Thahhân, Mahmud, Taysîr Mushtholah al-Hadîts, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), Cet.IX

=========================================================================

SEPUTAR HUKUM PERNIKAHAN DALAM KEADAAN HAMIL

Oleh: Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi

Pertanyaan
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?

2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?

3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-'Alim Al-Hakim sebagai berikut :
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini –Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.

Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :

Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235).

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini :
Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah.
Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.

Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-'Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para 'ulama.

Secara global para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.

Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah.

Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla :

Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin. (QS. An-Nur : 3).

Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata :

Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : Maka saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu saya berkata : Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?. Martsad berkata : Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : Jangan kamu nikahi dia.

(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :

Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Catatan :
Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?.

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A'lam.

Syarat Kedua : Telah lepas 'iddah. Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :
Pertama : Wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin 'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

Tarjih

Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos :

Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.
(HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).

2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda :

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.
(HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).

3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :

Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A'lam.

Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah 'Azza Wa Jalla :

Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :

Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). (QS. Al-Baqarah : 228).

Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. etentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah sebagai berikut :
kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan.
kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.

3. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.

Kalau ada yang bertanya : Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa 'iddah?.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama. Jumhur (kebanyakan) 'ulama berpendapat : Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan hal tersebut.
pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas 'iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).

4. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :

Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.
(HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu Ya'la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu 'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala :

Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan (QS. An-Nisa` : 4).

Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.(QS.An-Nisa` : 24)

Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.
Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma'ad 5/104-105.

Referensi: Dari: Majalah An-Nashihah Volume 05 Th.1/1424 H/2004 M Rubrik: Masalah Anda, Diasuh oleh Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi; hal.2-6

========================================================================

HUKUM DUA ORANG WANITA YANG SALING MENYUSUKAN ANAK MEREKA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada dua orang wanita, yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki, yang kedua mempunyai anak perempuan,
mereka saling menyusukan anak yang lain. Siapa di antara saudara-saudara mereka yang boleh dinikahi oleh yang lain ?.

Jawaban.
Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak kecil di bawah umur dua tahun lima kali susuan atau lebih, maka anak tersebut menjadi anaknya dan anak suaminya yang memiliki susu itu. Dan seluruh anak dari wanita tersebut dengan suaminya itu atau dengan suami terdahulunya menjadi saudara bagi anak susuan itu. Seluruh anak suami wanita yang menyusui baik dari wanita itu ataupun dari istri yang lain adalah saudara anak susuannya. Seluruh saudara wanita yang menyusui dan saudara suaminya adalah paman bagi anak susuannya.

Demikian pula Bapak wanita yang menyusui dari Bapak suaminya adalah kakek dia dan ibu wanita yang menyusui serta ibu suaminya adalah nenek.

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara kalian yang sesusu" [An-Nisa' : 23]

Serta sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesuatu diharamkan dengan sebab penyusuan sebagaimana apa-apa yang diharamkan oleh sebab nasab".

"Artinya : Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali dalam masa dua tahun".

Dan berdasarkan hadits dalam Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah
Radhiyallahu 'anha, ia berkata : "Adalah yang disyariatkan dalam Al-Qur'an dahulu sepuluh kali susuan yang jelas, menyebabkan ikatan kekerabatan.

Kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan masalah tersebut tetap dengan keputusannya (lima kali susuan)". Hadits ini diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi degan lafazh sedemikian, sedangkan asalnya terdapat dalam Shahih Muslim.

[Fatawa Da'wah, Syaikh Bin Baz Juz 1 hal. 206]


[Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indoneisa Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 2, hal 272-273 dan 279-280 Darul Haq]

HUKUM DARAH YANG MENYERTAI KEGUGURAN PREMATUR SEBELUM SEMPURNANYA BENTUK JANIN DAN SETELAH SEMPURNANYA JANIN.
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Di antara para wanita hamil terkadang ada yang mengalami keguguran, ada yang janinnya telah sempurna bentuknya dan ada pula yang belum berbentuk, saya harap Anda dapat menerangkan tentang shalat pada kedua kondisi ini ?

Jawaban.
Jika seorang wanita melahirkan janin yang telah berbentuk manusia, yaitu ada tangannya, kakinya dan kepalanya, maka dia itu dalam keadaan nifas, berlaku baginya ketetapan-ketetapan hukum nifas, yaitu tidak berpuasa, tidak melakukan shalat dan tidak dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhinya hingga ia menjadi suci atau mencapai empat puluh hari, dan jika ia telah mendapatkan kesuciannya dengan tidak mengeluarkan darah sebelum mencapai empat puluh hari maka wajib baginya untuk mandi kemudian shalat dan berpuasa jika di bulan Ramadhan dan bagi suaminya dibolehkan untuk menyetubuhinya, tidak ada batasan minimal pada masa nifas seorang wanita, jika seorang wanita telah suci dengan tidak mengeluarkan darah setelah sepuluh hari dari kelahiran atau kurang dari sepuluh hari atau lebih dari sepuluh hari, maka wajib baginya untuk mandi kemudian setelah itu ia dikenakan ketetapan hukum sebagaimana wanita suci lainnya sebagaimana disebutkan diatas, dan darah yang keluar setelah empat puluh hari ini adalah darah rusak (darah penyakit), jadi ia tetap diwajibkan untuk berpuasa, sebab darah yang dikelurkan itu termasuk ke dalam katagori darah istihadhah, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy, yang mana saat itu ia 'mustahadhah' (mengeluarkan darah istihadhah) : "Berwudhulah engkau setiap kali waktu shalat". Dan jika terhentinya darah nifas itu diteruskan oleh mengalirnya darah haidh setelah empat puluh hari, maka wanita itu dikenakan hukum haidh, yaitu tidak dibolehkan baginya berpuasa, melaksanakan shalat hingga habis masa haidh itu, dan diharamkan bagi suaminya menyetubuhinya pada masa itu.

Sedangkan jika yang dilahirkan wanita itu janin yang belum berbentuk manusia melainkan segumpal daging saja yang tidak memiliki bentuk atau hanya segumpal darah saja, maka pada saat itu wanita tersebut dikenakan hukum mustahadhah, yaitu hukum wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, bukan hukum wanita yang sedang nifas dan juga bukan hukum wanita haidh. Untuk itu wajib baginya melaksanakan shalat serta berpuasa di bulan Ramadhan dan dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhinya, dan hendaknya ia berwudhu setiap akan melaksanakan shalat serta mewaspadainya keluarnya darah dengan menggunakan kapas atau sejenisnya sebagaimana layaknya yang dilakukan wanita yang msutahadhah, dan dibolehkan baginya untuk menjama' dua shalat, yaitu Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya'. Dan disyariatkan pula baginya mandi untuk kedua gabungan shalat dan shalat Shubuh berdasarkan hadits Hammah bintu Zahsy yang menetapkan hal itu, karena wanita yang seperti ini dikenakan hukum mustahadhah menurut para ulama.

Kitab Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/75]

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH (1)
Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Pernikahan dengan Ahlul Bid’ah terlarang secara global menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena akan memberi dampak negatif yang besar, dan bertentangan dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu: tidak ber-wala’ (loyalitas), tidak mencintai mereka (Ahlul Bid’ah), wajib mengisolir mereka, dan menjauhi mereka (Penguraian masalah ini akan dijelaskan dengan membawakan riwayat-riwayat yang menunjukan hal itu, yaitu ucapan-ucapan para Salaf dan contoh-contoh sebagian kerusakan yang ditimbulkan karena pernikahan dengan Ahlul Bid’ah.)

Hukumnya haram mengadakan pernikahan dengan mereka dan menikahi wanita-wanita mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya akad-akad pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya mereka terhadap agama. Oleh karena itu hukum terhadap mubtadi’ (Ahlul Bid’ah, yaitu orang yang mengada-adakan atau menambahi dalam perkara agama yang tidak ada contoh dari Rasulullah, ed.) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan karena kebid’ahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebid’ahannya belum sampai ke derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan Ahlus Sunnah dengan para wanita mereka di sebagian keadaan.

Berikut ini perincian hukum tentang masalah di atas menurut keadaan yang disebutkan tadi:

Adapun hukum pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran adalah haram secara mutlak. Ini disebabkan kekufuran dan kemurtadan mereka dari agama. Oleh karena itu Ahlus Sunnah tidak halal menikahi wanita-wanita mereka. Demikian juga sebaliknya, mereka haram menikahi para wanita Ahlus Sunnah. Hal ini dijelaskan dalam banyak dalil, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ (sepakat) tentang keharaman menikah dengan orang-orang kafir dan kaum musyrikin selain Ahlul Kitab dengan dua keadaan tadi (yaitu: menikah dengan mereka dan dinikahi mereka).

Adapun keharaman seorang laki-laki muslim menikahi wanita kafir lagi musyrik adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu." [QS. Al-Baqarah: 221]

Juga firman Allah:
"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir." [QS. Al-Mumtahanah: 10]

Dua ayat di atas menunjukkan keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah secara umum bagi kaum muslimin. Dan, yang dikecualikan Allah hanya wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya:

"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu." [QS. Al-Maidah: 5]

Sehingga, hal-hal yang Allah beri keringanan padanya, seperti (laki-laki dari Ahlus Sunnah) menikahi para wanita Ahlul Kitab, adalah boleh. Adapun selain mereka seperti wanita-wanita musyrik, maka hukum keharamannya tetap berlaku secara umum, seperti wanita-wanita penyembah patung dan berhala, atau bintang-bintang dan api. Sehingga, wanita-wanita Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, hukum (pernikahan)-nya sama dengan wanita-wanita tadi, walau mereka (wanita-wanita Ahlul Bid’ah itu) mengaku sebagai muslimah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar dalam tafsir-nya ayat pertama tadi [2: 221], "Ini adalah pengharaman dari Allah yang dibebankan kepada kaum mukminin, agar mereka tidak menikahi para wanita musyrikah dari (golongan) penyembah berhala. Walaupun secara umum tampaknya wanita-wanita musyrikah dari Ahlul Kitab tergolong kepadanya, tetapi ada pengecualian berupa kebolehan menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya: "(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya." [Al-Maidah: 5](Tafsir Ibnu Katsir 1/257).

Banyak ulama yang menukil ijma’ para ulama yang mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrikah selain wanita-wanita Ahlul Kitab.

Ibnu Qudamah berkata, "Dan semua orang-kafir selain Ahlul Kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dia anggap baik dari berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka." [Al-Mughni 9/548]

Syikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kandungan pembicaraannya tentang Qadariyah (kelompok yang menolak takdir, ed.) dan hukum-hukum tentang mereka, "Dan adapun kaum musyrikin, maka umat ini telah sepakat terhadap keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan makanan mereka." [Majmu’ Fatawa 8/100]

Dr. Wahbah Az-Zahaili berkata tentang kesimpulan masalah ini dalam pembahasannya, "Telah sepakat tidak halal untuk menikahi wanita yang tidak memiliki kitab, seperti para penyembah berhala dan penyembah api (Majusi), karena tidak ada satu kitab pun ditangan para pengikutnya sekarang dan kita tidak yakin kalau mereka memilikinya sebelumnya, maka kita harus berhati-hati." (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuha, Dr. Wahbah Az-Zahaili 7/152).

Dengan ini, tegaslah keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah selain Ahlul Kitab, menurut keterangan dua ayat tadi dan ijma’ para ulama terhadap hukum itu.

Sudah pasti termasuk ke dalam keharaman itu, keharaman menikahi para wanita Ahlul Bid’ah yang musyrikah seperti wanita-wanita Jahmiyah, Qadariyah, dan Rafidlah. Sebab, firqah-firqah (kelompok) ini telah dihukumi sebagai firqah yang kufur dan murtad. Yang lebih keras dari keharaman itu adalah keharaman menikahi wanita-wanita dari firqah Bathiniyah seperti Daruliz, Nushairiyah, dan lain-lain yang tergolong kelompok zindiq, seperti Hululiyah dan Tanasukhiyah, karena para pengikut kolompok-kelompok ini adalah orang-orang musyrik lagi telah keluar dari Islam (sudah murtad). Tidak halal menikahi wanita-wanita mereka sama sekali, menurut keterangan yang telah saya sampaikan, (ini ucapan Dr. Ibrahim Ruhaili, ed.) berupa ucapan-ucapan para ulama yang khusus berbicara tentang mereka, dengan menambahkan masuknya keharaman menikahi para wanita mereka. Hal itu, di bawah keumuman dalil yang berisikan kepastian haramnya menikahi wanita-wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahlul Kitab, yang telah disebutkan di atas.

Inilah sebagian ucapan-ucapan para ulama tentang hal itu:
Ibnu Baththah meriwayatkan dari Thalhah bin Musharaf (Thalhah bin Musharraf bin ‘Amr bin Ka’b Al-Yami Al-Kufi, dia seorang Tsiqah (dipercaya), Qari lagi terhormat. Wafat tahun 112 H. Lihat At-Taqrib hal. 283) rahimahullah, bahwa dia berkata, "Tidak boleh menikahi para wanita dari Rafidlah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad." [Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 161]

Dari Sahl bin Abdillah, dia pernah ditanya tentang hukum shalat di belakang Mu’tazilah dan menikah dengan mereka, maka dia berkata, "Tidak. Tidak ada kemuliaan bagi mereka, mereka adalah orang-orang kafir." [Tafsir Al-Qurthubi, 7/141]

Al-Baghawi menukil di akhir kitabnya, Al-Farqu Bainal Firaq, beberapa ucapan para Imam Islam, dari para tokoh empat madzhab terhadap sebagian hukum-hukum firqah-firqah tadi.

Maka beliau menyebutkan, "Kelompok ekstrim dari kalangan Rafidlah As-Siba’iyah, Bayaniyah, Muniriyah, Mansyuriyah, Janahiyah, Khithabiyah, Hululiyah, Bathiniyah, dan Yazidiyah dari kalangan Khawarij dan Maimunah." Kemudian berkata, "Hukum terhadap kelompok-kelompok yang kita sebutkan tadi, terhadap mereka diperlakukan hukum orang-orang yang murtad dari agama. Tidak halal memakan sembelihan-sembelihan mereka, dan tidak halal menikahi para wanita mereka." [Al-Farqu Bainal Firaq hal. 357]

Abul Hamid Al-Ghazali berkata ketika membicarakan hukum-hukum terhadap kelompok Bathiniyah setelah menukil madzhab mereka dengan rinci dalam kitab Fadla’ilul Bathiniyah, "Adapun menikahi para wanita mereka haram hukumnya, sebagaimana tidak bolehnya menikahi wanita yang murtad. Tidak halal menikahi wanita Bathiniyah -secara keyakinan- disebabkan kekafiran mereka yang telah kita sebutkan sebabnya, seperti pendapat-pendapat (mereka yang, ed.) menjijikkan yang telah kita rinci. Kalau wanita itu seorang yang baik agamanya kemudian menelan madzhab mereka, maka gugurlah nikah di waktu itu juga." [Fadla’ilul bathiniyah hal. 157]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di awal pembicaraannya tentang kelompok Rafidlah ekstrim dan kelompok ekstrim lainnya (yang ekstrim, ed.) terhadap Ali radliallahu ‘anhu, seperti Nushairiyah dan Ismailiyah, "Semua mereka ini adalah orang-orang kafir yang lebih kufur dari Yahudi dan Nashara. Jika tidak tampak hal itu dari salah seorang mereka, maka dia termasuk orang-orang munafik yang mereka berada dikerak neraka. Siapa yang menampakkan hal itu, maka dia lebih keras kekafirannya dari orang kafir, maka dia tidak boleh tinggal di antara kaum muslimin, tidak dengan jizyah (pajak atau denda) dan tidak dengan dzimmah (orang kafir yang dilindungi di negeri muslim, ed.), dan tidak halal menikahi para wanita mereka, tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad, bahkan termasuk orang-orang murtad yang sangat jahat." [Maj’mu Fatawa 28/474-475]

Beliau berkata tentang kelompok Nushairiyah, "Para ulama Islam telah sepakat bahwa tidak boleh menikahi mereka, dan tidak boleh seorang lelaki menikahkan para maula-nya (baca: budaknya, ed.) (yang wanita) dengan mereka, dan jangan seorang wanita menikah dengan mereka, dan tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka." [Majmu’ Fatawa 35/154]

Adapun keharaman menikahnya seorang wanita muslimah dengan pria musyrik yang sama saja apakah dia seorang mubtadi’ atau selainnya, maka hujjah dalam hal itu jelas dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan ijma’ umat Islam.

Allah Ta’ala berfirman:
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman." [Al-Baqarah: 221]

Juga firman Allah: "Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka." [Al-Mumtahanah: 10]

Dua ayat ini menjelaskan keharaman menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir dan musyrik secara mutlak, sama saja apakah dia (sang pria) seorang Ahlul Kitab, atau penyembah berhala yang tidak memiliki kitab. Di atas itu terjadilah ijma’ umat ini, sebagaimana yang dinukil Al-Qurthubi dalam ucapannya, "Dan umat ini telah ijma’ bahwa seorang pria musyrik tidak boleh menikahi seorang wanita mukminah sama sekali, karena itu akan menimbulkan kerendahan Islam." [Tafsir Al-Qurthubi 3/72]

[Diambil dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida’ " cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388]

[Hukum Perkawinan Dengan Ahli Bid'ah, Penulis Syaikh Dr Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba' Press, hal. 1-13]

=======================================================================

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH (2)
Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

Ijma’ tersebut juga dinukil oleh Syaikh Muhammad ‘Ulaisy (Dia Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, ‘Ulaisy Ath-Tharablisi Ad-Daarul Mishri, dia seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Dia banyak melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Dia banyak memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang mayoritasnya telah dicetak. Wafatnya tahun 1299 H di Mesir. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385) dari kalangan para ulama Malikiyah dalam Taqrirat-nya terhadap Hasyiyah Ad-Dasuqi (Lihat Taqriqat, Al-‘Allamah Muhammad ‘Ulaisy terhadap Hasyiyah Ad-Dasuki yang dicetak dengan catatan kaki Ad-Dasuki 2/249. ) dan Doktor Az-Zahaili dalam Al-Fiqhul Islami. [Lihat Al-Fiqhul Islami ‘ala Adillatuhu 7/152]

Secara umum, keharaman menikahnya wanita muslimah dengan pria kafir termasuk masalah yang masyhur dan jelas di kalangan para ulama. Hingga, sebagian mereka mewajibkan dijatuhkannya hukuman kepada si pria kafir dan si wanita muslimah bila terjadi akad antara keduanya dengan menikahkan setelah dibatalkan. Mereka juga menghukumi setiap orang yang ikut andil dalam akad itu. Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Hamman Al-Hanafi (Dia Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid bin Abdul Hamid bin Mas’ud As-Siausi yang terkenal dengan Ibnul Hamman Al-Hanafi, seorang Imam lagi sangat cerdas. Dia juga seorang peneliti yang cemerlang. Wafat tahun 361 H. Lihat Syudzuratudz Dzahab 7/29) dalam Syarh Fathul Qadir yang mana beliau berkata, "Tidak sah menikahnya pria kafir dengan wanita muslimah. Kalau sampai terjadi, keduanya dihukum, jika si wanita mengetahui status pria. Dan juga orang yang ikut andil, pria atau wanita." [Syarh Fathul Qadir 2/506]

Yang dimaksudkan di sini adalah keharaman menikahnya pria mubtadi’ kafir akibat bid’ahnya, dengan wanita muslimah dari Ahlus Sunnah, menurut nash-nash Al-Kitab dan ijma’ umat ini berupa keharaman dinikahinya wanita muslimah oleh pria kafir dan masuknya mubtadi’ kafir ke dalam sifat kufur yang ada hukum-hukum tentangnya.

Hal ini masih ditambah dengan riwayat-riwayat yang mutawatir dari para salafush shalih berupa atsar-atsar yang terang tentang keharaman menikahkan wanita Ahlus Sunnah kepada orang yang telah divonis kafir dari Ahlul Bid’ah, dan rusaknya serta batalnya pernikahan tersebut.

Di antara atsar-atsar tersebut:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dan selainnya dari Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya tentang pernikahan pria Qadari, maka beliau membaca ayat:
"Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musrik walaupun dia menarik hatimu." [Al-Baqarah: 221]. [As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim hal. 88, dan Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 151, dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalikai 2/731].

Dari beliau juga, bahwa beliau pernah ditanya tentang Qadariyah, manakah yang lebih baik, tidak berbicara dengan mereka atau memusuhi mereka? Beliau berkata, "Ya, jika dia memang paham terhadap apa yang dia yakini ….. " Dan beliau berkata, "Dan saya berpendapat mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah)." [Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah Ash-Shughra hal. 150]

Dari Sufyan Ats-Tsauri, dia pernah ditanya oleh seseorang, "Saya memiliki famili yang Qadari, apakah saya boleh menikahinya?" Beliau berkata, "Tidak. Tidak ada kehormatan baginya." [Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/735]

Dari Abdurrahman bin Malik, ia berkata, "Tidak ada Ahlul Bid’ah yang lebih jahat dari teman-teman Jahm, mereka berkeliling-keliling sambil mengatakan, "Di langit tidak ada apapun." Saya berpendapat, "Demi Allah, mereka tidak boleh menikahi dan mendapatkan waris." [Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam Kitabus Sunnah 1/157]

Dari Muhammad bin Yahya (Muhammad bin Yahya bin Abi Umar Al-‘Adani, dia tinggal di Makkah. Dia seorang yang sangat jujur lagi mengarang Musnad. Dia terus belajar kepada Ibnu ‘Uyainah, tetapi Abu Hatim berkata, "Padanya ada kelalaian." Wafat 243 H. ), ia berkata, "Siapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk, dia kafir. Siapa abstain, dia lebih jahat dari yang mengatakan makhluk. Tidak boleh shalat di belakang mereka dan mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah) …" [Al-Lalikai dalam Syarhus Sunnah 2/325]

Riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Salaf menunjukkan keharaman menikahkan Ahlul Bid’ah yang kebid’ahan-kebid’ahannya sampai ke batas kekafiran, seperti Jahmiyah dan Qadariyah serta Ahlul Bid’ah yang sama hukumnya dengan mereka yang telah pasti dihukumi dengan kekafiran menurut Ahlus Sunnah. Menikahnya mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah adalah tidak boleh dengan sebab kekafiran mereka. Jika itu terjadi, wajib membatalkannya dengan langsung, sebagaimana ditunjukkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang menegaskan madzhab Salaf dalam hal itu.
Diriwayatkan dari Syaikh Abul Qasim As-Sialari (Dia Abul Qasim Abdul Haq bin Abdul Harits, penutup ulama Afrika. Dia seorang yang terhormat, peneliti, zuhud, lagi ahli sastra. Sebagian ulama benyak belajar kepadanya. Dia berumur panjang. Wafat tahun 460 H. Lihat Ad-Dibaj Al-Madzhab, Ibnu Farihan 2/22.) rahimahullah, beliau ditanya tentang suatu kaum dari Ibadhiyah yang berpegang dengan madzhab Wahbiyah dari Rafidlah dan tinggal di antara kaum muslimin, serta mereka menikahi para wanita Ahlus Sunnah agar bertambah kekuatan mereka dengan hubungan periparan dengan Ahlus Sunnah, maka apakah boleh Ahlus Sunnah membatalkan pernikahan-pernikahan mereka itu dan memukul mereka hingga mereka bisa kembali meninggalkan madzhab mereka?

Maka beliau berkata, "… Pernikahan yang mereka lakukan dengan para wanita kita (wanita Ahlus Sunnah), maka segera dibatalkan, penjara dan pukul mereka jika mereka belum bertaubat, yaitu kepada urusan yang benar, dan kembalikan kepada madzhab Ahlus Sunnah. Dan siapa yang mampu untuk melakukan apa yang telah kita sebutkan, maka dia wajib melakukannya." [Tabshuratul Hukkam, Ibnu Farihan yang dicetak dengan footnote Fathul ‘Aliyil Malik 1/425].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam jawaban terhadap pertanyaan tentang hukum menikahkan seorang pria Rafidlah (dengan wanita Ahlus Sunnah) dan orang yang mengatakan tidak wajib melakukan shalat yang lima, "Tidak boleh seorang pun menikahkan budaknya/maulanya yang wanita dengan pria Rafidlah dan orang yang meninggalkan shalat. Jika ketika mereka menikahkannya dia seorang Sunni dan shalat, kemudian muncul/tampak bahwa dia sebenarnya seorang Rafidli yang tidak shalat, atau dia kembali kepada madzhab Rafidlah dan meninggalkan shalat, maka mereka harus membatalkan nikahnya." [Majmu’ Fatawa 32/61].

Setelah pemaparan yang rinci tentang nash-nash yang syar’i dan ucapan-ucapan para Salaf, menjadi jelaslah hukum syari’at dan sikap Ahlus Sunnah tentang pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, bahwa pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tidak halal sama sekali, sama saja apakah mereka pria atau wanita. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pria Ahlus Sunnah untuk menikahkan wanita yang dalam tanggung jawabnya dengan pria Ahlul Bid’ah yang kafir, sebagaimana juga tidak boleh baginya untuk menikahi wanita dari mereka. Hal itu merupakan ijma’ Ahlus Sunnah. Wallahu A’lam.

Adapun jika si mubtadi’ tidak kafir, maka yang menjadi masalah dalam pernikahannya dengan wanita Ahlus Sunnah yaitu berkaitan dengan masalah ‘sekufu’ dalam pernikahan’. Hal itu teranggap berkaitan dalam sahnya pernikahan atau tidak? Tempat pembahasan hal ini dengan luas ada dalam kitab-kitab fiqih. Saya di sini hanya menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang masalah ini menurut bentuk yang global, agar semakin terang dalam hukum pernikahan mubtadi’ tadi.

Global pendapat dalam masalah ini adalah bahwa para ulama berselisih tentang persyaratan "kufu’" dalam pernikahan. Sebagian mereka berpendapat bahwa persyaratan kufu’ bukan syarat kesahan pernikahan dan juga bukan keharusan pernikahan. Itu diriwayatkan oleh Al-Hasan Basyri dan Sufyan Ats-Tsauri, dan demikian juga pendapat Al-Khurkhi dari kalangan Hanafiyah.
Dan jumhur para ulama, di antaranya tokoh empat madzhab, berpendapat bahwa kufu’ adalah syarat keharusan pernikahan dan syarat kesahan pernikahan. Bila seorang wanita menikah tanpa sekufu’, maka akad tersebut benar. Para walinya memiliki hak untuk menolak sang pria dan menuntut fasakh-nya untuk menolak bahaya-bahaya yang memalukan dari diri-diri mereka. Jika mereka menggugurkan hak mereka dalam menolak, maka itu boleh. Demikian juga kalau sang wali menikahkan maula wanitanya tanpa sekufu’, maka wanita tersebut memiliki hak untuk menolak dan membatalkan akad, kecuali kalau dia (si wanita) tidak mau menggunakan haknya, maka boleh.

Masalah sekufu’ dalam pernikahan adalah hak bagi sang wanita dan walinya. Hakini tetap berlaku bagi keduanya menurut persetujuan, yakni kalau salah satunyamenggugurkan haknya, tidak bisa yang lain ikut gugur kecuali bila dia juga menggugurkan. Kalau keduanya sepakat untuk menggugurkan hak ini, akad bisa dilaksanakan.Ini berbeda bila kufu’ adalah syarat dalam kesahan akad, maka akad pernikahan tanpa sekufu’ tidak sah, hingga kalau para wali dan sang wanita menggugurkan hak mereka untuk menolak. Sebab, syarat sah tidak bisa gugur dengan digugurkan oleh pemiliknya. Inilah perbedaan antara syarat yang mesti dan syarat sah. [Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul Hamman 2/417, Syarh Al-Kabir, Ahmad Ad-Darrudir dengan Hasyiyah Ad-Dasiki 2/249, Mughnil Muhtaj, Muhammad Asy-Syarbini 3/249, Raudlatuth Thalibin, An-Nawawi 7/84, Kasyful Qana’, Al-Bahuti 5/72 dan Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Az-Zuhaili 7/234]

Kemudian -setelah mereka sepakat untuk menganggap kufu’ adalah syarat keharusan nikah- jumhur berselisih dalam keberbilangan bagian yang dianggap dalam kekufu’an. Kita bukan merinci perbedaan mereka dalam hal itu karena tidak ada keterkaitannya dengan tema kita. Yang kita maukan di sini adalah menganggap "keagamaan" termasuk bagian kufu’ dalam pernikahan. Inilah yang menjadi tempat ijma’ mayoritas fuqaha’ yang telah disampaikan tadi, kecuali Muhammad bin Al-Hasan (Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul hamman 2/422, Taqrirat) dari Hanafiyah, karena beliau tidak menganggap kekufu’an dalam masalah agama. Beliau berkata, "Karena ini masalah akhirat sedangkan kufu’ termasuk hukum-hukum dunia." [Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320, Syarh Fathul Qadir, Ibnu Hamman 2/423]

Perlu diperingatkan, yang dimaksud dengan "keagamaan" di sini adalah sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dengan "takwa dan wara", yaitu sang pria bukan seorang yang fasik dan mubtadi’ (Syaikh Ma’a ‘Ulaisy terhadap Asy-Syarhul Kabir yang dicetak dengan footnote Ad-Dasuqi 2.249.). Bukanlah yang dimaksudkan dengan "keagamaan" adalah beragama Islam, karena agama Islam syarat kesahan akad menurut ijma’, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi, sebagaimana telah lalu keterangannya di awal pasal.
Inilah ucapan-ucapan para fuqaha’ dalam menganggap permasalahan kufu’ dalam keagamaan, sebagaimana dinukil oleh para peneliti empat madzhab:

Dari Madzhab Hanafi:

Penulis kitab Bada’iush Shana’i berkata di bawah judul "Hal yang dianggap termasuk kekufu’an": "Di antaranya: Agama. Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, hingga kalau seorang wanita yang termasuk anak-anak para orang shalih bila menikahkan dirinya kepada seorang pria fasik, maka para walinya berhak untuk menolak, sebab membanggakan diri dengan agama lebih pantas daripada berbangga dengan keturunan, status orang merdeka dan harta. Penjelekan akibat kefasikan lebih jelek dari berbagai kejelekan-kejelekan yang ada." [Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320]

Itu juga dinukil dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf Burhanuddin Al-Marghinani,( Dia adalah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil Al-Farghani Al-Marghinani, pengarang Al-Hidayah. Dia seorang Imam, faqih, hafidz, muhaddits (ahli hadits), ahli tafsir lagi pengumpul ilmu. Wafat tahun 593 H. Lihat Al-Fawa’id Al-Bahiyyah dalam Tarajimul Hanafiyah, Al-Kinani hal. 141). pengarang Al-Hidayah, dia berkata, "Dan itu benar (Al-Hidayah dengan Syarh Fathul Qadir 2/422.) yaitu: Termasuk madzhab keduanya menurut yang diterangkan Ibnu Hamman dalam Syarh Fathul Qadir." [Syarh Fathul Qadir 2/422]

Sebagaimana masing-masing, tiga para peneliti menyetujui pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf dalam konteks ucapan mereka.


[Diambil dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida’ " cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388]

[Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah, Penulis Syaikh DR Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba' Press, hal 13-25]

========================================================================

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH (3)
Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]

Dari Madzhab Malik:
Ahmad Ad-Darudir, (Dia Abul Barakat Ahmad bin Asy-Syaikh Ash-Shalih Muhammad Al-‘Adawi, Al-Anshari, Al-Khalwati yang terkenal dengan Ad-Darudir, Syaikh penduduk Mesir di masanya. Beliau seorang yang beramar ma’ruf dan nahi munkar. Wafat 1201 H. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah 1/359.) penulis Asy-Syarhul Kabir, "Kekufu’an adalah agama dan keadaan, dan baginya dan wali boleh meninggalkannya."( Asy-Syarhul Kabir dengan Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/249.) Ad-Dasuqi (Dia Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah Ad-Dasuqi Al-Maliki, dari daerah Dasuq, Mesir. Beliau termasuk pengajar di Al-Azhar. Dia belajar dan tinggal serta wafat di Kairo. Wafat tahun 1230 H. Lihat Al-A’lam Az-Zarkali 6/17.) menyetujui itu dalam Hasyiyah-nya terhadap Asy-Syarh [Lihat Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249). Dan demikian Syaikh Muhammad ‘Ulaisy dalam Taqrirat-nya [Lihat Taqriqat Muhammad ‘Ulaisy ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249]

Dari Madzhab Syafi’i:
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syirazi,( Dia Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syirazi, Al-Fairuz Abadi, orang yang diberi julukan Jamaluddin, tinggal di Baghdad dan ber-tafaqquh (mendalami) sekelompok orang tertentu. Menulis beberapa tulisan yang berguna dari kitab Muhadzdzab, Tanbih, Luma’ dan lain-lain. Lihat Fawayantul A’yan 1/29). pengarang Muhadzdzab, "Kekufu’an adalah pria fasik tidak dianggap sekufu’ dengan wanita yang terhormat." (Juz 2/50).
Imam An-Nawawi berkata ketika memaparkan jumlah bagian masalah kufu’, "Dan juga ‘iffah (kehormatan), maka seorang yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang ‘afifah (terhormat)." [Al-Minhaj ma’a Mughnil Muhtaj 3/166]

Muhammad Asy-Syarbini (Dia Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri, Asy-Syafii, Al-Khatib Al-Imam Al-‘Allamah. Ijma’ orang-orang Mesir atas keshalihannya dan ahli-ahli ilmu mensifati beliau orang yang berilmu dan beramal, zuhud dan wara’. Dia men-syarah kitab Al-Minhaj dan Tanbih dengan dua syarh yang besar. Wafat tahun 977 H. Lihat Syadzaratul Dzahab 8/384) berkata, "Keempat: Al-‘Iffah. Yaitu agama, keshalihan,dan mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak dihalalkan. Maka, seorang pria yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang memiliki ‘iffah, karena adanya dalil yang menunjukkan tidak samanya … Beliau berkata, "(Pernikahan) seorang pria mubtadi’ dengan wanita Sunni sama seperti (pernikahan) pria fasik dengan wanita yang memiliki ‘iffah." [Mughnil Muhtaj 3/166]

Dari Madzhab Hambali:
Ibnu Qudamah berkata dalam Syarh-nya terhadap ucapan Al-Khurqi,22 "Dan kekufu’an: Yang memiliki kebaikan agama dan kedudukan
" Riwayat tentang pendapat Imam Ahmad tentang syarat kekufu’an berbeda-beda. Beliau memiliki dua syarat: kebaikan agama dan kedudukan. Itu saja. Dan, juga ada yang meriwayatkan dari beliau lima hal, dua di antaranya yang tadi, ditambah dengan status sebagai orang merdeka, pekerjaan dan harta. Beliau berkata tentang dianggapnya agama sebagai kekufu’an adalah berdalil dengan ayat:

"Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama." [As-Sajdah: 18]

Seorang fasik itu terhina, tertolak kesaksiannya dan ceritanya, tidak bisa dipercaya mengurus orang dan harta, gugur kewaliannya, rendah di sisi Allah dan di sisi makhluk-Nya, serta miskin di dunia dan akhirat. Maka, dia tidak boleh sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Pria itu tidak sama dengannya, tapi sekufu’ dengan wanita sejenisnya." (Al-Mughni 9/391).
Dengan pemaparan pendapat-pendapat para ulama tentang masalah kekufu’an dalam pernikahan maka tetaplah, bahwa: kekufu’an dalam pernikahan merupakan syarat keharusan pernikahan, sebagaimana disepakati jumhur para ulama dari tokoh empat madzhab. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal itu kecuali Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Khurkhi yang tidak mensyaratkan ke-kufu’-an sebagai dasar dalam pernikahan. Dan, Muhammad bin Al-Hasan yang tidak menganggap kebaikan dalam kekufu’an.

Berdasarkan hal tadi, maka hukum pernikahan pria mubtadi’ -yang bid’ahnya tidak membawanya kepada kekafiran- dengan wanita Ahlus Sunnah, boleh jika telah terjadi. Tetapi akadnya tidak mesti diterima, kecuali dengan persetujuan dari setiap wanita dan para walinya untuk melakukannya. Ini disebabkan karena sang mubtadi’ tidak sekufu’ dengan wanita Sunni tersebut, sebagaimana seorang pria fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Kekufu’an adalah hak bagi sang wanita dan hak para walinya. Masing-masing dari keduanya memiliki hak tolak untuk menikahkan sang mubtadi’ dan untuk menggugurkan akad karena tidak sekufu’. Keduanya juga memiliki hak untuk menggugurkan haknya dalam hal itu dan melaksanakan pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah. Wallahu a’lam.

Adapun menikahnya seorang pria dari Ahlus Sunnah dengan seorang wanita yang bid’ahnya tidak sampai ke batas kekufuran, maka pernikahannya dengan sang wanita itu sah. Alasannya, karena kekufu’an hanya disyaratkan pada pihak sang pria yaitu syarat sekufu’ dengan sang wanita, dan tidak disyaratkan kekufu’an bagi sang wanita untuk sekufu’ dengan sang pria. Inilah yang diyakini jumhur ulama. Mereka berkata: Karena hal tersebut, maka sang pria tidak bisa dicela disebabkan sang istri lebih rendah darinya, dan dia tidak akan mendapat bahaya dengan sebab tersebut. Berbeda dengan wanita, dia akan dicela dengan memiliki suami yang lebih rendah dari dia, dan wanita tersebut akan terganggu dengan hal itu karena sang pria bisa saja men-thalaq (cerai)-nya di setiap waktu. Dia (sang pria) bisa berlaku leluasa terhadap dirinya, berbeda dengan wanita tersebut. [Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 9/397, Hasyiyah, Ibnu ‘Abidin 3/85, Al-Fiqhul Islami, Dr. Wahbah Az-Zuhaili 7/239, Al-Fiqh ‘Alal Mazahibil Arba’ah, Abdurrahman Al-Jazairi 4/57, dan Az-Zuwaj wa Ath-Thalaq fil Islam, Badran Abul ‘Ainain hal. 162]

Dan Di Sini Perlu Diberi Peringatan Penting, Yaitu Permasalahan Sahnya Pernikahan Seorang Pria Mubtadi’ Dengan Wanita Sunni.

Secara syari’at, kesepakatan sang wanita dan para walinya dan sahnya pernikahan seorang pria Ahlus Sunnah dengan wanita Ahlul Bid’ah, tidaklah menunjukkan ditekankannya (atau dibolehkannya tanpa ada bahaya, ed.) pernikahan Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid’ah. Hukum sahnya pernikahan mereka setelah terpenuhinya syarat-syarat kesahannya merupakan suatu masalah, dan keridlaan terhadap pernikahan mereka adalah suatu masalah lain lagi. Bahkan, telah jelas larangan keras menikahnya pria-pria Ahlul Bid’ah dengan wanita-wanita Sunni menurut Ahlus Sunnah, disebabkan karena sangat besarnya bahaya-bahaya yang dapat terjadi akibat pernikahan para pria Ahlul Bid’ah dengan para wanita Ahlus Sunnah.

Syari’at memberi keterangan bahwa sahnya akad mereka itu bisa memberikan kerugian kepada masing-masing pihak, seperti kepada sang wanita dan para walinya. Inilah yang dimaukan akal sehat, yakni mereka menolak pernikahan itu karena akan timbul bahaya-bahaya akibat mereka menikahkannya dengan sang pria Ahlul Bid’ah. Jika mereka setuju, berarti masing-masing pihak telah menyia-nyiakan hak dirinya dan hak lainnya akibat pernikahan ini.

Seorang pria Ahlus Sunnah bila dia menikahi wanita Ahlul Bid’ah, dia telah dianggap berlaku jelek dalam pilihan tersebut. Dia berarti telah menyia-nyiakan hak dirinya dengan menikahi wanita tersebut, karena pernikahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana juga, dia telah menyia-nyiakan hak anak-anaknya dengan memilihkan untuk mereka seorang ibu yang tidak shalih. Sang ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya dalam akidah dan akhlak, juga bisa menyimpangkan mereka dari agama yang lurus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam dan suci). Maka orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sehat (Yakni bersih dari aib-aib yang terkumpul padanya anggota badan yang sempurna (sehat) maka tidak ada kecacatan da kay (ditusuk dengan besi panas). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/296). apakah kalian melihat padanya ada kecacatan (Yakni terputus ujungnya atau dari salah satu darinya (anggota badan itu). An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/247)." (HR. Bukhari Kitabul Janaiz Bab Idza Aslama Shabiyyu Hal Yushalla ‘Alaih, Fathul Bari 3219 no. 1358. Muslim Kitabul Qadr Bab Makna Kullu Mauludin Yuladu ‘Alal Fitrah 4/2047 no. 2658). Selain ini, juga cercaan yang didapat sang anak karena memiliki ibu yang Ahlul Bid’ah.
Demikian juga sang wanita, bila dia ridla dengan dinikahi sang mubtadi’, berarti dia sedang menuntun bahaya menuju keluarganya secara umum akibat adanya hubungan pernikahan dengan sang mubtadi’ tersebut. Ikatan mushaharah (hubungan karena pernikahan) dan berkumpul dengan sang mubtadi’ ini dapat memberikan efek negatif kepada rumah tersebut. Sebagaimana hal ini (wali) bisa menyakiti wanita yang dia tanggung khususnya, karena dia menikahkannya dengan sang mubtadi’ tersebut yang dia tidak bisa memilih dengan baik. Dan wanita tersebut (perlu selalu, ed.) dinasihati untuk bersikap (benar sesuai syari’at, ed.) terhadap sang pria karena dikhawatirkan dia (sang wanita) dengan keberaniannya menikah -akan membuatnya menyimpang dari akidah yang benar dan mengikuti akidah sang suami- karena wanita bisa dikuasai, lemah, dan sedikit kesabarannya. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, "Siapa yang menikahkan saudara wanitanya dengan sang pria mubtadi’, berarti dia telah memutus hubungan kekeluargaannya dengan sang wanita." [Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah hal. 60, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/733, Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 19, dan As-Suyuthi dalam Al-Amru bi Ittiba’ hal. 81]

Yang lebih parah dari itu dalam pernikahan dengan pria Ahlul Bid’ah -jika dia termasuk yang mendakwahkan bid’ahnya- berarti mereka (sang wanita dan para walinya, ed.) tidak menyikapinya dengan benar, seperti mengisolirnya, membentaknya agar dia bertaubat dari bid’ahnya, dan hal-hal yang bisa memberikan kebaikan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan sebelum itu, dalam pernikahan tersebut mereka menyia-nyiakan hak Allah yang harus ditunaikan dengan mereka ber-wala’ (loyalitas) kepada musuh-musuh-Nya, mencintai mereka, mendekati mereka, tidak membenci serta menjauhi mereka karena Allah.

Ringkasnya, pernikahan dengan Ahlul Bid’ah yang masih dianggap termasuk muslimin, baik pria maupun wanita, adalah makruh (dibenci) menurut Ahlus Sunnah dengan kebencian yang keras, karena akan menimbulkan efek-efek negatif, menyia-nyiakan hak dan kebaikan-kabaikan. Oleh karena itu, para Salaf melarangnya untuk menjaga hal tersebut.

Imam Malik berkata, "Ahlul Bid’ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan iringi jenazah-jenazah mereka." [Al-Mudawanah 1/84]

Imam Ahmad berkata, "Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya." [Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/45].

Dengan ini saya tutup pasal ini setelah menerangkan sikap Ahlus Sunnah dalam hal pernikahan dengan Ahlul Bid’ah, apakah mereka Ahlul Bid’ah yang kafir atau muslim, sama saja, pria atau wanita, menurut nash-nash yang sesuai dengan syari’at dan riwayat-riwayat para Salaf dalam hal tersebut. Alhamdulillah dengan karunia dan taufik-Nya.

[Diambil dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida’ " cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388]

[Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah, Penulis Syaikh DR Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba' Press hal 25-36]

=========================================================================

HUKUM SEPUTAR KELUARGA BERENCANA [KB] (1)
Oeh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Baz ditanya : Apa hukum KB ?

Jawaban.
Ini adalah permasalahan yang muncul sekarang, dan banyak pertanyaan muncul berkaitan dengan hal ini. Permasalahan ini telah dipelajari oleh Haiah Kibaril Ulama (Lembaga di Saudi Arabia yang beranggotakan para ulama) di dalam sebuah pertemuan yang telah lewat dan telah ditetapkan keputusan yang ringkasnya adalah tidak boleh mengkonsumsi pil-pil untuk mencegah kehamilan.

Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan untuk hamba-Nya sebab-sebab untuk mendapatkan keuturunan dan memperbanyak jumlah umat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)". [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]

Karena umat itu membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, melindungi kaum muslimin -dengan ijin Allah-, dan Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka.

Maka wajib untuk meninggalkan perkara ini (membatasi kelahiran), tidak membolehkannya dan tidak menggunakannya kecuali darurat. Jika dalam keadaan darurat maka tidak mengapa, seperti :

[a]. Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.

[b]. Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.

Adapun jika penggunaannya dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh".

[Fatawa Mar'ah, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, Darul Wathan, cetakan pertama 1412H]



HUKUM SEPUTAR KELUARGA BERENCANA [KB]
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : "Ada seorang wanita berusia kurang lebih 29 tahun, telah memiliki 10 orang anak. Ketika ia telah melahirkan anak terakhir ia harus melakukan operasi dan ia meminta ijin kepada suaminya sebelum operasi untuk melaksanakan tubektomi (mengikat rahim) supaya tidak bisa melahirkan lagi, dan disamping itu juga disebabkan masalah kesehatan, yaitu jika ia memakai pil-pil pencegah kehamilan akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Dan suaminya telah mengijinkan untuk melakukan operasi tersebut. maka apakah si istri dan suami mendapatkan dosa karena hal itu ?"

Jawaban.
Tidak mengapa ia melakukan operasi/pembedahan jika para dokter (terpercaya) menyatakan bahwa jika melahirkan lagi bisa membahayakannya, setelah mendapatkan ijin dari suaminya.


[Fatawa Mar'ah Muslimah Juz 2 hal. 978, Maktabah Aadh-Waus Salaf, cet ke 2. 1416H]


[Disalin ulang dari Majalah As-Sunnah edisi 01/Tahun V/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo, Solo 57183]

=======================================================================

SEPUTAR HUKUM KELUARGA BERENCANA [KB] (2)
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang ikhwan bertanya hukum KB tanpa udzur, dan adakah Udzur yang membolehkannya?"

Jawaban.
Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari'atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israil.

"Artinya : Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar" [Al-Isra : 6]

"Artinya : Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu' [Al-A'raf : 86]

Kenyataanpun mennguatkan pernyataan di atas, karena umat yang banyak tidak membutuhkan umat yang lain, serta memiliki kekuasaan dan kehebatan di depan musuh-musuhnya. Maka seseorang tidak boleh melakukan sebab/usaha yang memutuskan keturunan sama sekali. Allahumma, kecuali dikarenakan darurat, seperti :

[a] Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.

[b] Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa.

[Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah Juz 2 hal. 974-975]

========================================================================
SEPUTAR HUKUM KELUARGA BERENCANA [KB]
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan seorang wanita diperbolehkan memakai pil-pil pencegah kehamilan, dan kapan hal itu diharamkan ? Adakah nash yang tegas atau pendapat di dalam fiqih dalam masalah KB? Dan bolehkah seorang muslim melakukan azal kerika berjima tanpa sebab?"

Jawaban.
Seyogyanya bagi kaum msulimin untuk memperbanyak keturunan sebanyak mungkin, karena hal itu adalah perkara yang diarahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya.

"Artinya : Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan berlomba dalam banyak jumlahnya umat" [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]

Dan karena banyaknya umat menyebabkan (cepat bertambahnya) banyaknya umat, dan banyaknya umat merupakan salah satu sebab kemuliaan umat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani Israil.

"Artinya : Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar" [Al-Isra' : 6]

"Artinya : Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu" [Al-A'raf : 86]

Dan tidak ada seorangpun mengingkari bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemuliaan dan kekuatan suatu umat, tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang memiliki prasangka yang jelek, (yang mereka) menganggap bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemiskinan dan kelaparan. Jika suatu umat jumlahnya banyak dan mereka bersandar dan beriman dengan janji Allah dan firman-Nya.

"Artinya : Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya" [Hud : 6]

Maka Allah pasti akan mempermudah umat tersebut dan mencukupi umat tersebut dengan karunia-Nya.

Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, maka tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali dengan dua syarat.

[a] Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.

[b] Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah mmakaiannya membahayakan atau tidak.

Jika dua syarat di atas dipenuhi maka tidak mengapa mengkonsumsi pil-pil ini, akan tetapi hal ini tidak boleh dilakukan terus menerus, dengan cara mengkonsumsi pil pencegah kehamilan selamanya misalnya, karena hal ini berarti memutus keturunan.

Adapun point kedua dari pertanyaan di atas maka jawabannya adalah sebagai berikut : Pembatasan keturunan adalah perkara yang tidak mungkin ada dalam kenyataan karena masalah hamil dan tidak, seluruhnya di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika seseorang membatasi jumlah anak dengan jumlah tertentu, maka mungkin saja seluruhnya mati dalam jangka waktu satu tahun, sehingga orang tersebut tidak lagi memiliki anak dan keturunan. Masalah pembatas keturunan adalah perkara yang tidak terdapat dalam syari'at Islam, namun pencegahan kehamilan secara tegas dihukumi sebagaimana keterangan di atas.

Adapun pertanyaan ketiga yang berkaitan dengan 'azal ketika berjima' tanpa adanya sebab, maka pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena hadits dari Jabir Radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Kami melakukan 'azal sedangkan Al-Qur'an masih turun (yakni dimasa nabi Shallallahu 'alihi wa sallam)" [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320 ; Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu nu'aim dalam Al-hilyah 3/61-62]

Seandainya perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarangnya. Akan tetapi para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber'azal terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinya, yakni seorang suami tidak boleh ber'azal terhadap istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan ber'azal tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami.
Berdasarkan keterangan ini maka 'azal tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami menysaratkan adanya ijin dari sang istri".
[Fatawa Syaikh ibnu Utsaimin Juj 2 hal. 764 dinukil dari Fatawa Li'umumil Ummah]

[Disalin ulang dari Majalah As-Sunnah edisi 01/Tahun V/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo, Solo 57183]

IBUKU MENYUSUI SAUDARA (PEREMPUAN) SEPUPUNYA, APAKAH IBUKU BOLEH MEMBUKA HIJAB ?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Ibuku menyusui sepupu perempuannya. Apakah boleh dia membuka hijab di depan saudara laki sepupunya sedangkan saudara laki-laki sepupunya ini dari istri paman yang lain ?

Jawaban.
Seorang ibu menyusui sepupu perempuannya, maka dia menjadi saudara bagi anak laki-laki ibu tersebut karena disebabkan susuan itu.

Kita harus mengetahui kaidah dalam hal susuan, yaitu bahwa pengaruh susuan hanya terjadi kepada orang yang menyusu beserta keturunannya. Seorang wanita menyusui anak kecil maka berarti dia telah menjadi ibu dari anak tersebut.

Sehubungan dengan masalah anak kecil ini, apakah hubungan mahram berlaku pula atas ayah atau ibunya ? Jawabannya adalah tidak, karena kemahraman itu hanya terjadi kepada anak yang menyusu beserta keturunannya. Adapun orang tua atau saudarannya maka tidak berlaku kemahraman ini. Kita ambil contoh untuk menjelaskan maksudnya.

Seorang perempuan menyusui anak perempuan kecil. Bagaimana kedudukan anak perempuan tersebut ? Dia menjadi anak bagi ibu yang menyusuinya itu. Adapun anak-anak ibu tersebut telah menjadi saudara bagi anak susuannya itu, saudara atau saudari ibu susuan menjadi paman atau bibi anak itu, ibunyu ibu susuan menjadi nenek, serta ayah ibu susuan menjadi kakek dan begitu pula seterusnya.

Akan tetapi dari pihak keluarga anak perempuan yang menyusu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan mereka karena susuan itu, kecuali pada
keturunannya. Jika si anak susuan mempunyai ayah, ibu atau saudara, apakah mereka berlaku hukum dalam masalah susuan ? Jawabannya tidak. Susuan hanya berpengaruh kepada keturunan, sehingga keturunan anak susuan menjadi keturunan dari ibu susuannya juga.

[Durus wa Fatawal Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz 3 hal.272]


[Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indoneisa Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 2, hal 272-273 dan 279-280 Darul Haq]

Senin, 05 Juli 2003 - 08:30:59, Penulis : Al Ustadzah Ummu Ishak Al Atsariyyah & Al Ustadzah Ummu Affan Nafisah bintu Abi

DI BALIK KELEMBUTAN SUARAMU

Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah

Ukhti Muslimah….
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu.

Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda :
“Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).

Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434)

Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Ucapan tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”. (HR. Al Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)

Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras.

Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah u berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491).

Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.

Suara wanita di radio
dan telepon

Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.”

Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.

Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya.

Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah Al Muslimah, 1/433-434).

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah, 1/435)

Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya

Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini?

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab:” Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang pinangannya (khitbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ?

(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin
oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim).

========================================================================